HomeHeadlineMK Bisa Hanya Diskualifikasi Gibran, Tapi Sahkan Prabowo?

MK Bisa Hanya Diskualifikasi Gibran, Tapi Sahkan Prabowo?

Dengarkan artikel berikut:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Pendapat menarik diungkapkan oleh Denny Indrayana yang menyebut Mahkamah Konstitusi (MK) bisa saja hanya mendiskualifikasi Gibran dan tetap mensahkan kemenangan Prabowo sebagai presiden. Alasannya, pencalonan Gibran cacat prosedur, sedangkan Prabowo tidak. Dengan demikian, Pilpres tak perlu diulang dan menghemat waktu, tenaga dan uang negara. Namun, menilik efek psikologis dan sosial-politik yang bisa ditimbulkan, akankah MK berani mengambil opsi ini?


PinterPolitik.com

Pandangan Pakar Hukum sekaligus Senior Partner di Integrity Law Firm, Denny Indrayana, memang membuat hitung-hitungan peluang hasil sidang MK menjadi sangat menarik. Ulasan itu dibuat Denny di kolom Opini yang diterbitkan Harian Kompas pada 4 April 2024 lalu.

Denny menyebutkan bahwa kondisi saat ini menghadapkan MK pada 2 status: yakni pertama sebagai Mahkamah Konstitusi yang mengadili jika terjadi hal-hal yang sifatnya inkonstitusional dalam konteks penyelenggaraan Pemilu, dan kedua sebagai “Mahkamah Kalkulator” – demikian disebut Denny – yang tentu saja berhubungan dengan status MK sebagai pengadil sengketa dan hitung-hitungan hasil Pemilu itu sendiri.

Pada posisi tersebut, MK diharapkan dapat menjaga tegaknya prinsip dan asas Pemilu yang diamanatkan Konstitusi. Pemilu harus diselamatkan dari kekurangan dan kecurangan.

Terkait hal itu, MK kemudian dihadapkan pada pilihan-pilihan yang bisa saja menjadi hasil akhir dari putusan yang diambil. Jika memang terbukti terjadi kecurangan Pemilu – mulai dari cawe-cawe Presiden Jokowi, hingga pelanggaran dalam pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo Subianto – maka opsi pertama adalah MK secara tegas mendiskualifikasikan pasangan calon nomor 02 itu. Kemudian akan dilakukan Pemilu ulang dengan Prabowo menggandeng cawapres baru.

Pilihan pertama ini berpotensi melahirkan konflik di level elite dan para pemilih yang sudah memenangkan pasangan nomor 02 ini. Selain itu, ada persoalan waktu, tenaga dan dana yang harus dihabiskan untuk mengulang Pilpres.

Sedangkan pilihan kedua adalah MK hanya mendiskualifikasi pencalonan Gibran saja, sedangkan kemenangan Prabowo tetap dianggap sah. Prabowo kemudian bisa dilantik pada Oktober mendatang, dan kemudian menggunakan Pasal 8 Ayat 2 UUD 1945 yang mengatur soal kekosongan kekuasaan wakil presiden. Disebutkan dalam ketentuan itu, jika ada kekosongan kekuasaan wapres, maka presiden bisa mengusulkan 2 nama yang kemudian dalam jangka waktu 60 hari akan dipilih dan diputuskan oleh MPR untuk menjadi wapres.

Dari dua opsi itu, memang terkesan pilihan kedua cenderung lebih rasional. MK tidak mengabaikan suara sah yang mendukung Prabowo, namun pada saat yang sama juga tidak mengabaikan pelanggaran etika dalam pencalonan Gibran.

Pertanyaannya adalah apakah opsi ini berani diambil oleh MK?

Baca juga :  Jokowi's Secret Painting?
whatsapp image 2024 04 09 at 10.17.36

Pilihan Rasional dan Paling Baik?

Jelas bahwa dalam kasus hukum seperti sengketa Pilpres dan secara spesifik soal pencalonan Gibran, obyektivitas dan rasionalitas dalam memandang kasus hukumnya menjadi sebuah keharusan. Hukum yang tidak menutup mata pada rasionalitas, fakta, dan kebenaran merupakan landasan fundamental dalam sistem hukum yang adil dan berkeadilan. Hukum yang baik memang sudah seharusnya bersandar pada prinsip-prinsip objektivitas dan keadilan, yang memerlukan pemahaman yang cermat terhadap rasionalitas, fakta yang ada, dan pencarian kebenaran.

Ahli hukum terkemuka, Oliver Wendell Holmes Jr., secara jelas menegaskan pandangan ini melalui konsep “penemuan hukum” (legal realism). Menurut Holmes, hukum tidak hanya terkait dengan teks hukum semata, tetapi juga dengan realitas sosial di mana hukum tersebut berlaku.

Holmes mengajukan argumen bahwa hakim harus mempertimbangkan faktor-faktor eksternal, termasuk norma-norma sosial, kepentingan umum, dan akibat-akibat praktis dari keputusan hukum mereka. Dalam pandangan Holmes, hukum yang efektif haruslah responsif terhadap realitas sosial yang berubah dan beragam.

Selain Holmes, ahli hukum seperti Ronald Dworkin juga mendukung pandangan bahwa hukum tidak boleh mengabaikan kebenaran dan rasionalitas. Dalam konsepnya tentang “keadilan sebagai integritas”, Dworkin menekankan pentingnya konsistensi dan integritas dalam penegakan hukum.

Baginya, hukum harus mencerminkan prinsip-prinsip moral yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, hukum tidak hanya merupakan instrumen formal untuk menyelesaikan konflik, tetapi juga alat untuk mencapai keadilan substansial.

Selain itu, pandangan bahwa hukum tidak menutup mata pada rasionalitas dan fakta juga terdapat dalam filosofi hukum positivisme. Meskipun positivisme hukum menekankan pentingnya mengikuti teks hukum yang ada, tetapi para pengikutnya juga mengakui bahwa hukum harus tetap relevan dengan realitas sosial dan nilai-nilai moral yang berlaku.

Secara keseluruhan, pandangan bahwa hukum tidak boleh mengabaikan rasionalitas, fakta, dan kebenaran adalah pijakan penting dalam menjaga keadilan dalam sistem hukum. Dengan memperhatikan pandangan dari ahli hukum seperti Holmes dan Dworkin, jelas bisa dipahami bahwa hukum yang efektif haruslah refleksi yang akurat dari realitas sosial, nilai-nilai moral, dan kebutuhan keadilan masyarakat.

Dalam kasus Gibran, persoalan pelanggaran etika yang terjadi di MK kala memutuskan batasan umur pencalonan Gibran memang menjadi rujukan utamanya. Apalagi Majelis Kehormatan MK telah memutuskan bahwa Ketua MK kala itu, Anwar Usman, terbukti melakukan pelanggaran etik berat.

Dengan demikian, dalam kacamata rasionalitas hukum, pencalonan Gibran memang bermasalah, namun tak boleh mengabaikan suara masyarakat yang sah mendukung Prabowo di Pilpres.

Baca juga :  Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?
whatsapp image 2024 04 09 at 12.31.59

Berpotensi Kacau, Tak Perlu Dengarkan Denny?

Walaupun rasional dan punya pendasaran yang bisa diterima, namun analisis internal Litbang Pinterpolitik menganggap pandangan Denny menyimpan potensi yang bisa melahirkan gejolak dan konflik. Pasalnya, faktor Jokowi dan Gibran juga sangat ikut menentukan kemenangan Prabowo di Pilpres lalu.

Dengan demikan, ada argumentasi yang menyebutkan bahwa Prabowo tak mungkin menang mudah jika bukan karena para pendukung Jokowi dan Gibran yang memberikan suara mereka untuk mantan Danjen Kopassus itu.

Jika argumentasi ini yang digunakan, maka bisa saja jadi pendasaran untuk menilai sah tak sahnya kemenangan Prabowo sendiri. Ini karena Prabowo sendiri menggunakan jargon keberlanjutan pemerintahan Jokowi sebagai narasi kampanyenya.

Dan yang terpenting, potensi konflik bisa saja terjadi. Bagaimanapun juga Jokowi misalnya, punya approval rating mencapai 80 persen. Artinya pendukung Jokowi sangatlah banyak. Demikianpun dengan anak-anak muda yang awalnya apatis, namun kemudian memberi suara pada Gibran karena dianggap mewakili suara para anak muda. Suara-suara ini tentu tak bisa diabaikan begitu saja.

Hitung-hitungan kompleksitas isunya juga akan menjadi sangat besar. Ini masalah apakah Indonesia bisa bergerak maju atau masih berkutat saja dengan urusan politik yang tak selesai dan menjadi ribut di antara sesama anak bangsa. Apalagi, dalam konteks pertarungan di level elite, konsensus politiknya sudah mulai terjalin.

Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDIP misalnya, sudah mulai disebut-sebut akan bertemu Prabowo. Sementara dari kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, sosok Surya Paloh yang menjadi motor koalisi juga sudah bertemu Jokowi.

Artinya konsensus yang jauh lebih sejuk ketimbang konflik akibat ekses politik dari sidang MK sebetulnya bisa diraih dengan lebih mudah. Ketimbang mengorbankan kepentingan kekuasaan yang akan memboroskan uang negara lagi serta mengganggu stabilitas politik nasional, adalah lebih baik narasi menerima kekalahan didorong.

Bagaimanapun juga, terlepas dari pelanggaran etik hakim MK soal Gibran, toh prosesnya sudah terjadi. Mayoritas masyarakat di bawah pun tak melihat ini sebagai masalah berarti – dibuktikan dari berbagai survei dan jajak pendapat.

Oleh karena itu, mungkin pandangan Denny Indrayana tersebut perlu diabaikan. Apalagi, kita juga tak tahu apakah Denny berbicara atas namanya sendiri, atau sebagai representasi kepentingan politik tertentu. Kita tahu Denny adalah caleg Partai Demokrat dan sudah dikenal lama punya relasi dengan kubu politik Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dengan demikian, pandangannya bisa saja menjadi bias kepentingan.

Apapun itu, isu ini tentu jadi makin menarik untuk dinanti. (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.