Site icon PinterPolitik.com

Putusan MK “Kudeta” Ketum Parpol?

jokowi ketum parpol

Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, Airlangga Hartarto, Muhaimin Iskandar, Surya Paloh, Zulkifli Hasan, dan Suharso Monoarfa menuju Istana Negara untuk menghadiri pelantikan menteri dan wakil menteri pada Juni 2022 lalu. (Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden/Laily Rachev)

Tindak-tanduk partai politik (parpol) seolah sedang mendapat tantangan. Beberapa kelompok mahasiswa mengajukan uji materi Undang-Undang Partai Politik ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan mereka tertuju pada ketiadaan pengaturan masa jabatan ketua parpol dalam undang-undang tersebut. Lalu, apakah gugatan ini mampu mengubah keadaan? 


PinterPolitik.com 

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menjadi penentu uji materi yang bersifat konstitusional. Saat ini, terdapat dua kelompok mahasiswa yang mengajukan gugatan terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik ke MK. 

Sebelumnya, gugatan tersebut diajukan oleh dua mahasiswa asal Semarang dan Yogyakarta yang berasal dari Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia.  

Tak hanya sampai di situ, gugatan yang sama kembali dilayangkan oleh dua warga Papua. Kendati keduanya mengajukan gugatan pada waktu yang berbeda, namun substansi dari gugatan mereka sama persis, yaitu pembatasan masa jabatan ketua umum parpol.  

Mengenai substansi gugatan ini, perlu diketahui bahwa ketiadaan pergantian posisi ketua umum (ketum) di beberapa partai politik (parpol) menjadi latar belakang utama dibalik gugatan ini.  

Beberapa partai seperti PDIP dan Partai Gerindra menjadi saksi bagaimana pucuk kepemimpinan partai tidak pernah berubah selama satu dekade terakhir. 

Dengan demikian, gugatan ini memunculkan “asa” baru akan demokratisasi internal partai. Selain itu, pembatasan masa jabatan ketum parpol juga diprediksi akan mencegah praktik dominasi personal dalam tubuh partai. 

Namun demikian, beberapa pihak justru melayangkan respon sebaliknya. MK telah menolak gugatan dari pihak pertama dengan alasan gugatan ini masih belum memenuhi persyaratan administratif. 

Di satu sisi, beberapa partai juga menyatakan penolakannya. Achmad Baidowi dari PPP, misalnya, menyebutkan masa jabatan ketua umum tidak bisa diintervensi MK karena partai berwenang untuk mengatur dirinya sendiri. 

Kendati MK dan PPP menyatakan ketidaksepakatannya terhadap gugatan tersebut, namun dinamika ini dapat menggambarkan bagaimana masa jabatan ketum parpol sesungguhnya dilihat “bermasalah”. 

Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan, yakni apa yang sebenarnya mendasari munculnya gugatan terhadap masa jabatan ketum parpol? 

Parpol Menjauh dari Fungsinya? 

Partai politik secara eksistensial memang “ditakdirkan” sebagai pelaku kontestasi elektoral. Hal ini berkaca dari sejarah dunia yang menetapkan partai sebagai entitas kolektif yang dapat menghimpun kepentingan konstituen di dalamnya. 

Anson Morde dalam What is a Party mengartikan partai sebagai “organisasi yang dipersatukan oleh prinsip umum” dan tujuan partai itu sendiri hanyalah merealisasikan ide dan kepentingannya dalam bentuk kebijakan.  

Namun demikian, kuantitas partai yang semakin meningkat pada gilirannya tidak berkorelasi dengan kualitas representasi mereka di lembaga legislatif. Hal ini disebabkan oleh karakter partai yang cenderung pragmatis dalam memperebutkan kekuasaan. 

Alih-alih berlandaskan pada ideologi yang rigid serta menawarkan program kepada konstituen, mayoritas partai saat ini “seolah” gampang berpindah haluan hanya untuk memperoleh suara sebanyak mungkin.  

Kondisi ini juga tidak bisa dilepaskan dari menjamurnya partai bertipe catch-all dalam pola kepartaian di Indonesia. 

Faishal Aminuddin dalam publikasinya yang berjudul Match-All Party: Pragmatisme Politik dan Munculnya Spesies Baru Partai Politik di Indonesia Pasca Pemilu 2009 mengklasifikasikan kedua tipe ini sebagai tipe partai yang berorientasi pada perebutan suara konstituen atau lebih dikenal sebagai partai elektoralis.  

Karakter yang terlihat dari tipe ini ialah pola pergerakan partai yang pragmatis dalam menghadapi pemilu. Pada awal Reformasi saja, banyak kita temukan berbagai partai yang tidak memiliki kedekatan ideologis tsecara spesifik kendati termasuk dalam dua aliran besar, entah itu partai nasionalis ataupun Islam.  

Selain kedekatan ideologis yang tidak mencolok, beberapa partai justru tidak memiliki basis massa yang tetap berdasarkan kesatuan visi. 

Dengan demikian, hal ini memunculkan ketergantungan akan figur tertentu untuk memperkuat soliditas partai, termasuk bagaimana kemudian menarik suara masyarakat. 

“Salah duanya” ialah PDIP dan Partai Gerindra, di mana kedua partai ini masih menonjolkan peran Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto sebagai tokoh sentral dalam menentukan setiap kebijakan partai.  

Pola personalistik ini justru membuat partai menjadi tidak demokratis. Alih-alih melalui seleksi kepemimpinan secara periodik, dominasi perseorangan dalam kepemimpinan partai jelas membuat partai tidak bisa mewakilkan kepentingan basis massanya. 

Banyak kasus yang ditemukan mengenai kebijakan partai yang agaknya selalu “menuruti” apa kata tuannya, seperti kuasa Megawati dalam PDIP hingga pencapresan kembali Prabowo pada 2024 mendatang yang disepakati semua kader Partai Gerindra.  

Tidak hanya itu, dengan partai yang semakin dikuasai oleh elite tertentu, maka tidak heran kalau partai politik di Indonesia saat ini lebih didorong pada mencari keuntungan semata. 

Baik itu berkongsi dengan oligarki bisnis ataupun berkoalisi dengan berbagai partai, kedua praktek ini membuat partai politik jauh dari fungsinya sebagai representasi kepentingan konstituen dalam legislatif melalui kadernya.  

Atas dasar itulah, esensi gugatan mengenai pembatasan masa jabatan ketum parpol kiranya diajukan untuk mengembalikan “roh” demokrasi dalam tubuh partai. 

Namun pertanyaannya adalah, akankah gugatan tersebut dapat benar-benar membuat parpol kembali ke hakikatnya? 

Ilusi Demokratisasi Partai? 

Kondisi parpol yang sedemikian pragmatis seolah menjadi fakta yang tak terhindarkan dari politik elektoral negara ini. 

Kendati parpol baru banyak bermunculan menjelang Pemilu 2024, namun banyak yang menyangsikan mereka akan membawa corak yang berbeda dibandingkan yang sudah-sudah. 

Oleh karenanya, tidak mengherankan pernyataan mengenai “kutu loncat” politik dianggap benar adanya, terutama sikap parpol yang gampang berpindah koalisi.  

Koalisi yang dibangun oleh parpol pun kerap tidak didasarkan pada kesamaan visi yang ingin dicapai. Malahan, koalisi ini kerap bersifat temporal alias sementara demi memenangkan pemilu. 

Setelah pemilu selesai, koalisi yang ada bisa ditinggalkan oleh beberapa partai atau bahkan “bubar” seketika karena tidak ada nilai ataupun kontrak politik yang mengikat mereka. Koalisi Merah Putih bentukan Prabowo sekitar satu dekade silam kiranya menjadi bukti dari pernyataan tersebut.  

Koalisi yang dibentuk oleh PAN, PPP, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, dan PKS semula ditujukan untuk memenangkan Prabowo pada Pilpres 2014. Sepintas memang tidak ada visi yang ditawarkan dari koalisi ini ketika mereka akan memerintah nantinya. 

Akibatnya, setelah Joko Widodo (Jokowi) memenangkan Pilpres 2014, beberapa partai berangsur-angsur meninggalkan koalisi, baik karena memang “berubah pikiran” ingin mendukung Jokowi ataupun demi mendapatkan posisi menteri dalam kabinetnya.  

Pragmatisme politik yang ditampilkan ini tentu bukan fenomena yang baru. Sejak awal era Reformasi pun, gejala ini sudah banyak diungkapkan oleh para akademisi. 

Vedi Hadiz dalam bukunya Localizing Power in Post-Authoritarian Indonesia menyebut fenomena ini sebagai dilema besar dari reformasi. Demokratisasi seharusnya memberikan ruang lebih besar bagi parpol untuk bertarung mendapatkan posisi pejabat publik demi menyalurkan aspirasi masyarakat sebagaimana pengertian demokrasi ala Barat.  

Namun demikian, parpol yang muncul justru tidak lebih dari “kepanjangan” dinamika Orde Baru (Orba). Hal ini dikarenakan reformasi yang ada hanya menyentuh pada aspek kelembagaan tanpa mengusik praktik politik yang ada sebelumnya, khususnya perburuan rente. 

Selain itu, dengan elite lama yang berhasil mengadaptasi iklim demokrasi yang terbuka, maka tidak heran kalau  partai hanya didirikan sebatas “kendaraan politik” semata.  

Keadaan ini turut menghasilkan kepemimpinan partai yang berfokus pada satu orang ataupun kelompok. Hal ini bisa terjadi berkat fluiditas iklim demokrasi yang membuka kesempatan sebesar-besarnya bagi partai. 

Kebebasan tersebut di sisi lain membuat pengaturan terhadap eksistensi parpol tidak begitu kaku, terutama seleksi kepemimpinan. Kendati mekanisme pergantiannya sudah ada, namun banyak elite politik yang enggan mereformasi parpol mereka. 

Alasannya pun beragam. Baik itu menghargai otonomi ataupun kestabilan parpol. Kendati demikian, bisa dilihat bahwa keengganan ini lebih kepada trik untuk mempertahankan kuasa mereka atas partai. 

Tidak hanya soal kuasa, ketiadaan pengaturan yang lebih jelas juga dimanfaatkan untuk mengumpulkan sumber daya politik sebanyak mungkin saat menduduki kepemimpinan nasional, sehingga praktik perburuan rente seakan-akan semakin liar pada situasi tersebut.  

Well, sebagai penutup, pembatasan masa jabatan ketum parpol kiranya masih belum bisa terwujud dalam beberapa waktu mendatang. 

Selain karena uji materi yang diajukan sebelumnya masih belum mendapatkan “lampu hijau” dari MK, semua fraksi parpol dalam DPR pun juga masih enggan untuk mengubah peraturan yang ada demi mewujudkan demokratisasi dalam partai. (D90) 

Exit mobile version