HomeNalar PolitikMixue-isasi Tiongkok Hantui Indonesia?

Mixue-isasi Tiongkok Hantui Indonesia?

Publik dunia maya Indonesia diramaikan oleh pembahasan soal logo Mixue yang bisa dilihat di mana-mana. Bahkan, ada yang menyebutkan kalau Mixue kini bisa ditemukan di setiap tikungan. Apakah ini sebuah Mixue-isasi?


PinterPolitik.com

“Zǎo shang hǎo zhōng guó! Xiàn zài wǒ yǒu bing chilling. Wǒ hěn xǐ huān bing chilling” – John Cena, “BING CHILLING” (2021)

Mungkin, pernyataan di atas yang akan teringat ketika kita membeli dan makan es krim. Potongan kutipan di atas itu datang dari John Cena, aktor asal Amerika Serikat (AS), yang tengah mempromosikan film Fast & Furious 9 (2021) pada tahun 2021.

Cuplikan video itu direkam di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) – di mana Cena juga berbicara menggunakan Bahasa Mandarin sembari mengonsumsi es krim. Akhirnya, cuplikan video ini sempat kembali viral di sejumlah platform media sosial (medsos) pada tahun 2022 dengan istilah “bing chilling” – atau sebenarnya 冰淇淋 (bīng qí lín) yang berarti es krim dalam Bahasa Mandarin.

Di sisi lain, viralnya istilah “bing chilling” ini juga diikuti dengan meme baru yang banyak dibahas oleh warganet Indonesia, yakni banyaknya logo perusahaan es krim dan minuman teh asal Tiongkok yang bernama Mixue

Saking banyaknya nih, Mixue kini disebut ada di mana-mana. Bahkan, di setiap tikungan hampir dipastikan ada logo Mixue dengan gambar maskot mereka yang bernama Snow King.

Tidak hanya soal tokonya yang mudah ditemukan di mana-mana, Mixue juga mendapatkan julukan menarik dari para warganet, yakni sebagai “malaikat pencatat ruko kosong”. Ini karena kerap kali Mixue buka toko baru dengan menggantikan toko-toko yang baru tutup.

Selain itu, Mixue dapat dengan mudah menjamur di Indonesia karena harga es krim dan minumannya yang disebut terjangkau. Dari segi bisnis, harga franchise Mixue juga disebut masih sangat murah bila dibandingkan dengan franchises lainnya.

Kehadiran meme “BING CHILLING” dari John Cena hingga viralnya toko-toko Mixue seakan-akan menjadi deretan fenomena sosio-kultural yang saling terkait. Bahkan, perdebatan publik di media sosial (medsos) pun terjadi akibat adanya kabar bahwa Mixue belum memiliki sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Indonesia Alami Mixue-isasi

Fenomena-fenomena es krim asal Tiongkok ini bukan tidak mungkin memunculkan sejumlah konsekuensi lanjutan yang lebih dari sekadar meme di medsos. Mengapa munculnya Mixue ini menjadi hal yang berdampak bagi Indonesia – dan mungkin sejumlah negara lain? Apakah ini juga berkaitan dengan politik?

Baca juga :  Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Belajar dari McDonaldisasi?

Bila kita membayangkan bisnis waralaba (franchise) restoran cepat saji (fast food), kerap kali McDonald’s lah yang muncul di pikiran banyak orang. Bisa dibilang, restoran yang biasa disebut McD ini adalah salah satu pioneer pertama dalam industri makanan cepat saji.

McDonald’s sendiri didirikan oleh McDonald bersaudara yang bernama Richard dan Maurice McDonald pada tahun 1940 di San Bernardino, California, AS. Namun, bukanlah dua orang bersaudara ini yang membuat model McDonald dapat mendunia.

Bagi kalian yang sudah pernah menonton film The Founder (2016), pasti sudah tahu bahwa McDonald’s akhirnya beralih pengelolaan dan kepemilikan ke seorang pebisnis bernama Ray Kroc. Kroc pun akhirnya mengubah sistem dapur McDonald’s dan membawanya ke seluruh dunia.

Ada beberapa hal yang membuat McDonald’s berbeda dengan bisnis makanan dan restoran lainnya. Mengacu pada buku George Ritzer yang berjudul The McDonaldization of Society: Into the Digital Age, terdapat prinsip-prinsip yang diterapkan oleh McDonald’s – di antaranya adalah efisiensi (efficiency), kalkulabilitas (calculability), prediktabilitas (predictability), dan kontrol (control).

Upaya untuk membatasi jenis makanan, misalnya, menjadi cara McDonald’s untuk menjaga kontrol atas alur produksi hidangan mereka. Pada awal berdiri, restoran cepat saji asal AS itu hanya menjual burger daging dan burger keju.

Nah, prinsip ini akhirnya terbawa ke seluruh dunia dengan sistem franchise yang terkontrol dari McDonald’s. Globalisasi restoran ini pun memunculkan istilah McDonaldisasi (McDonaldization) yang erat kaitannya dengan Amerikanisasi – persebaran budaya Amerika ke berbagai negara.

Ada Apa dengan McDonald's

Namun, dominasi makanan cepat saji oleh AS kini mulai menghadapi sejumlah kompetisi. Salah satunya mungkin datang dari Mixue yang disebut-sebut telah memiliki 300 lebih toko di Indonesia – melampaui McDonald’s yang memiliki sekitar 200 lebih toko. 

Kompetisi ini pun tidak hanya terjadi dalam jumlah toko. Para warganet Indonesia mulai membanding-bandingkan McDonald’s dan Mixue – setidaknya terkait produk es krim mereka.

Sejumlah warganet menilai es krim Mixue – seperti Boba Sundae – memiliki harga yang terjangkau dan rasa yang enak. Sementara, sejumlah warganet tetap merasa McFlurry milik McDonald’s masih memiliki rasa yang lebih unggul.

Namun, meski persoalan rasa masih menjadi perdebatan, jelas Mixue kini memiliki keunggulan dalam hal marketing (pemasaran). Pasalnya, akhir-akhir ini, Mixue menjadi pembicaraan terus-menerus dengan banyaknya jumlah toko mereka.

Mengapa diskursus tentang Mixue semakin menjadi pembicaraan banyak pihak? Lantas, mungkinkah ini berimplikasi terhadap lanskap sosio-kultural Indonesia, mengingat dua merek ini berasal dari dua negara adidaya yang kini saling bersaing, yakni AS dan Tiongkok?

Baca juga :  Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Mixue-isasi Hantui Indonesia?

Menariknya, sejumlah pihak menilai McDonaldisasi mulai kehilangan momennya di tengah era informasi kini. Setidaknya, anggapan inilah yang dijelaskan juga oleh Ritzer di edisi keenam bukunya The McDonaldization of Society.

Ritzer pun menyebutnya sebagai De-McDonaldisasi (DeMcDonaldization). Kini, muncul sejumlah model lain, seperti Starbuckisasi (Starbuckization). Tidak seperti McDonald’s, Starbucks disebut menyajikan citra yang lebih baik – misal dengan kursi dan meja yang lebih nyaman serta kopi berkualitas.

Menurut Ritzer, dengan mengutip Howard Schultz, ini yang membuat Starbucks menjadi semacam tempat ketiga (third place) setelah rumah dan tempat kerja. Ada semacam human connection (koneksi kemanusiaan) yang dibangun.

Russia Goodbye McDonald's

Upaya De-McDonaldisasi semacam inilah yang mungkin kini tengah dilakukan oleh kehadiran Mixue di sejumlah negara, khususnya Indonesia – negara yang secara notabene memiliki favorabilitas kultural dengan AS dan negara-negara sekutunya seperti Jepang.

Berbeda dengan prinsip-prinsip McDonaldisasi, Mixue memiliki cara tersendiri – dengan tidak hanya mengedepankan efisiensi, kalkulabilitas, prediktabilitas, dan kontrol. Mixue juga menerapkan prinsip-prinsip bisnis ala Tiongkok juga.

Salah satu di antaranya adalah 面子 atau miànzi. Kata ini secara literal memang dimaknai sebagai wajah dalam Bahasa Mandarin. Namun, “miànzi” juga dapat berarti reputasi atau prestise.

Mengacu pada tulisan Guy Olivier Faure dan Tony Fang yang berjudul Changing Chinese Values: Keeping Up with Paradoxes, miànzi adalah hal yang sangat penting dijaga – dengan budaya Konfusianisme yang mengedepankan nilai moral rasa malu. 

Upaya untuk menjaga miànzi inilah yang membuat branding penting bagi para pelaku usaha Tiongkok meski harus membutuhkan upaya lebih – termasuk bagi Mixue. Mungkin, banyaknya toko Mixue yang bermunculan merupakan prinsip bisnis waralaba baru ala Tiongkok dengan istilah baru semacam McDonaldisasi dan Starbuckisasi, yakni Mixue-isasi.

Boleh jadi, Mixue-isasi merupakan konsep sukses baru yang menjanjikan. Pasalnya, Mixue sendiri kini lebih jadi perbincangan publik dibandingkan waralaba-waralaba asal AS seperti McDonald’s, Starbucks, KFC, atau Burger King. 

Seperti yang pernah dijelaskan dalam tulisan PinterPolitik.com yang berjudul McD-BTS Meal, Jokowi Perlu Waspada?, McDonald’s dan Starbucks pun merupakan simbol Amerikanisasi – yang mana menggambarkan bagaimana prinsip dan nilai budaya Amerika yang mulai terserap ke masyarakat berbagai negara. 

Mungkinkah ini giliran Mixue-isasi ala Tiongkok yang bisa menjadi Chinisasi (Chinization) di Indonesia? Mari kita amati saja kelanjutannya. (A43)


spot_imgspot_img

#Trending Article

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Dengarkan artikel ini: Dibuat dengan menggunakan AI. Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok...

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

More Stories

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".