Kemulusan revisi UU MD3 yang menambah jumlah pimpinan MPR menjadi keanehan terbaru dalam politik Indonesia. Banyak pihak menduga adanya jual-beli kepentingan politik yang terjadi di belakang revisi Undang-Undang tersebut.
PinterPolitik.com
Sah, 16 September 2019, DPR merevisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) yang membuat pimpinan MPR bertambah menjadi 10 orang – yang terdiri dari 1 orang ketua, dan 9 orang wakil ketua. Penambahan jumlah pimpinan dilakukan untuk mengakomodasi agar setiap fraksi di DPR mendapat jatah pimpinan.
Menurut Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo, revisi tersebut untuk mewujudkan lembaga permusyawaratan perwakilan yang lebih demokratis, lebih efektif, dan akuntabel serta sesuai dengan sila ke-4 Pancasila. Juga tambahnya, ini adalah pesan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai upaya penguatan fungsi MPR.
Sebelum disahkan, Herman Khaeron, Anggota MPR dari Fraksi Partai Demokrat telah menuturkan bahwa penguatan MPR dapat dilakukan melalui revisi UU MD3.
Akan tetapi, apabila menilik perjalanan revisi UU MD3, alasan awalnya adalah rekonsiliasi pasca-Pilpres. Hal ini disampaikan oleh Wakil Sekretaris Jenderal PAN Saleh Partaonan Daulay. Dengan kata lain, terdapat inkonsistensi antara penyebab awal dengan rasionalisasi Mendagri Tjahjo terkait alasan revisi MD3.
Secara gamblang, dapat dilihat bahwa penambahan pimpinan MPR sebagai upaya bagi-bagi kursi atau kekuasaan. Hal yang sama juga ditegaskan Pengamat Politik Hendri Satrio yang menilai revisi ini tidak terlalu mendesak, dan justru memperlihatkan semangat bagi-bagi kursi yang kental.
Fakta bahwa sudah adanya partai politik yang telah menyodorkan nama ataupun dalam tahap penentuan calon nama pimpinan MPR sebelum revisi disahkan, memberi penguatan akan hal ini.
Sudah menjadi rahasia umum, hal yang disampaikan secara politis, mestilah menyembunyikan pesan di baliknya yang bisa saja lebih besar.
Pada dasarnya, persoalan utamanya bukan pada inkonsistensi pernyataan Mendagri ataupun nuansa bagi-bagi kursi pimpinan MPR. Kedua fenomena itu adalah hal lumrah dalam dinamika politik.
Persoalan pentingnya adalah apa agenda di balik hal tersebut? Apa pre-teks, atau pesan tidak tersampaikan yang ada di balik makin bertambahnya jumlah pimpinan MPR ini?
Penguatan MPR Untuk Apa?
Konteks UU MD3 ini memang punya nuansa penguatan kembali fungsi MPR – hal yang punya hubungan dengan wacana pengembalian UUD 1945 ke versi asli yang disuarakan oleh beberapa pihak.
Sampai saat ini, penggaungan terkait belum sempurnanya pengimplementasian UUD 1945 terus menyeruak. Fenomena ini sebenarnya dapat dipahami sebagai sebuah fantasi atau recalling the past.
Ini sebenarnya adalah bentuk kepasrahan bahwa demokrasi Indonesia belum mewujudkan keadilan rakyat – yang membuat fantasi pada UUD 1945 sebagai konstitusi ideal terus menyeruak.
Ketika mendapati hal tidak mengenakkan, umumnya manusia akan mengingat-ingat masa lalu yang dijadikannya sebagai pembanding.
Dalam istilah teknis logika, ini dikenal sebagai post-pactum explanation atau penjelasan yang hadir setelah fenomena. Penjelasan terhadap UUD 1945 lahir ketika mendapati fenomena belum berhasilnya demokrasi – recalling the past.
Recalling the past tidak terjadi dengan mudah, butuh memori yang indah atau kuat yang memungkinkannya untuk terjadi. Memori kuat itu adalah kemampuan MPR menurunkan presiden dalam sidang istimewa jika dinilai tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai mandataris MPR dengan baik.
Kewenangan menurunkan presiden selain dapat menjadi kontrol juga menjadi kekuatan politik yang besar. Tentu kekuatan politik itu akan menjadi incaran partai politik, yang jika didapatkan akan dapat mencengkram presiden, sekaligus mencengkram semua lembaga.
Tidak hanya itu, pengembalian GBHN dinilai sebagai visi ideal dalam perencanaan pembangunan. Saat ini pemerintah selalu melakukan “tari poco-poco”, maju 2 langkah, mundur 2 langkah. Pemerintahan yang baru misalnya, umumnya membawa visi dan misi baru agar memberi kesan membawa kebaharuan.
Padahal, pembangunan tidak mungkin dapat selesai dalam 5 atau 10 tahun. GBHN menyediakan visi tersebut, di mana pembangunan dirancang selama 20 tahun.
Dua alasan tersebut menjadi memicu kuat recalling the past. Memori yang indah akan kekuasaan yang begitu besar.
Namun, sudah kepalang tanggung, begitu kira-kira, telah terjadi empat kali amandemen yang tidak lagi menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi. Berbagai ketegangan politik, terlebih lagi selepas Pilpres yang sarat akan persinggungan mau tidak mau membuat upaya pengembalian UUD 1945 harus dilakukan dengan pelan-pelan dan halus.
Sebagai upaya awal mengembalian UUD 1945, revitalisasi MPR harus dilakukan. Tentu dengan tidak langsung mengubahnya seperti dahulu, melainkan secara perlahan menguatkan fungsinya.
Pada titik ini, mulai terlihat motif revisi UU MD3. Ini pada dasarnya adalah strategi melempar burung dengan satu batu. Di satu sisi, rekonsiliasi dengan partai oposisi terjalin, di sisi lain penguatan MPR dapat terjadi yang besar kemungkinan punya tujuan politik tertentu.
Bargaining Position Partai Politik
Bargaining Position atau nilai tawar merupakan butterfly effect dari revisi MD3. Tidak hanya memperkuat peran atau posisi MPR, revisi UU MD3 juga memberikan nilai tawar lebih kepada partai-partai politik. Bertambahnya jumlah pimpinan MPR akan membuat setiap fraksi memiliki kekuatan politik yang sama, terlebih lagi jika mampu menempatkan kadernya sebagai Ketua MPR.
Konsekuensinya, kekuatan politik di MPR menjadi hal yang penting. Ini menjadi poin penting sebagai langkah awal dalam menguatkan peran dan fungsi MPR.
Tidak hanya kekuatan politik para partai politik terhadap sesama partai politik saja yang bertambah, tetapi juga kekuatan politik partai politik terhadap Presiden Jokowi. Konteks ini menjadi cara parpol menjaga posisi tawarnya di hadapan Jokowi, baik itu partai-partai yang akan menjadi oposisi, maupun partai-partai koalisi pemerintah sendiri.
Berdasarkan revisi UU MD3, ketua MPR akan dipilih dari 10 nama yang diserahkan oleh setiap fraksi. Pada pemilu 2019, Gerindra yang mendapat suara terbanyak setelah PDIP tentu akan memanfaatkan momen. Posisinya juga lebih diuntungkan mengingat saat ini partai pimpinan Prabowo Subianto itu juga cukup dekat dengan Megawati Soekarnoputri, sang Ketum PDIP.
Melirik kembali pernyataan Mendagri, revisi UU MD3 ini bertujuan agar MPR dijalankan secara lebih demokratis, berkonsekuensi pada tidak mungkin PDIP akan mengambil sepihak kursi Ketua MPR meskipun mendapatkan suara terbanyak.
Atas nama rekonsiliasi akan dijadikan senjata bagi Gerindra untuk meminta posisi Ketua MPR – dan itu sangat masuk akal untuk dilakukan dengan konteks kedekatan dua pertain tersebut.
Publik juga akan menilai keseriusan pemerintah dalam melakukan rekonsiliasi dengan memberikan kursi Ketua MPR kepada rival politik utamanya saat ini. Di sisi lain, politisi PDIP, Ahmad Basarah juga mengutarakan partainya tidak masalah jika tidak mendapat kursi Ketua MPR.
Pada akhirnya, kita sebagai publik hanya dapat melihat bagaimana dinamika dan efek dari revisi UU MD3 pada periode kedua kekuasaan Presiden Jokowi. Yang jelas, publik bisa membaca bahwa sedang ada upaya penguatan MPR yang sangat mungkin punya nuansa yang sama dengan amendemen UUD 1945 dan pengadaan kembali GBHN. (R53)