HomeHeadlineMisteri Propaganda Demo BEM SI

Misteri Propaganda Demo BEM SI

Demonstrasi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) yang dilakukan tanggal 11 April 2022 menjadi sorotan publik. Berbagai pesan sensasional mulai tersebar di WhatsApp, ada yang mengatakan demo ini adalah hasil desain sejumlah tokoh publik. Tetapi, yang paling menarik adalah ada pesan yang mengatakan demo tersebut merupakan hasil desain Amerika Serikat (AS). Bagaimana kita bisa memaknai kabar-kabar liar tersebut? 


PinterPolitik.com 

Hari Senin tanggal 11 April 2022 menjadi salah satu hari yang ditunggu-tunggu dalam dinamika perpolitikan Indonesia. Tentu kita membicarakan tentang aksi demonstrasi yang dilakukan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI), yang menolak wacana perpanjangan masa jabatan presiden atau penundaan pemilu. 

Berdasarkan sumber PinterPolitik yang familiar dengan perbincangan yang beredar di grup-grup WhatsApp, diketahui telah tersebar beberapa narasi menarik, namun sulit dicari kebenarannya tentang acara demo hari ini. Salah satunya adalah dugaan siapa-siapa saja yang diduga menjadi mentor dan kontributor aksi. 

Beberapa tokoh terkenal yang disinggung dalam sebaran pesan adalah mantan Penyidik Senior KPK Novel Baswedan, mantan Menko Maritim Rizal Ramli, mantan Ketua MK Hamdan Zoelva, dan pengamat politik Ujang Komarudin. 

Hamdan dan Novel menolak mentah-mentah tuduhan terlibat dalam menggerakkan demo mahasiswa, dengan menyebutnya sebagai informasi yang menyesatkan dan mengada-mengada.  

Bantahan juga dilontarkan oleh Ujang, dia menegaskan bahwa dirinya sama sekali tidak terkait, tidak ada komunikasi, dan tidak pernah ada interaksi dengan rencana aksi tersebut. Meski dirinya mengakui sering bersifat kritis dalam menyikapi persoalan-persoalan bangsa, dia tidak pernah berpihak untuk siapapun. 

Namun, di balik kabar tersebut, terdapat sebaran pesan yang lebih menarik, yakni narasi tentang adanya campur tangan Amerika Serikat (AS) sebagai pihak yang diduga membiayai demo. 

Menurut pesan tersebut, AS perlu mendorong demo karena itu menjadi balasan atas keengganan Indonesia untuk tidak mengundang Rusia dalam pertemuan G20.  

Pesan tersebut pun ditutup dengan pertanyaan nakal tentang siapa yang menjadi “wayang” yang dimainkan oleh AS, dan menekankan bahwa pola sama juga terjadi pada KKB Papua yang didanai AS karena proyek Freeport. 

Untuk saat ini, kita bisa mengatakan bahwa narasi-narasi tadi adalah bagian dari apa yang disebut sebagai propaganda. Akan sangat sulit sekali untuk membuktikan setiap klaimnya. 

Lantas, mengapa propaganda seperti ini bisa terjadi? 

Sebuah Pola yang Berulang 

Klaim yang mengatakan bahwa suatu aksi demonstrasi adalah titipan dari negara asing, khususnya AS, bukanlah hal yang baru. Ketika demonstrasi UU Cipta Kerja dilaksanakan pada 2020 lalu contohnya, narasi serupa juga dikemukakan, bahkan oleh pihak pemerintah sendiri. 

Baca juga :  PDIP Gabung Prabowo, Breeze atau Hurricane? 

Ketika itu, Menhan Prabowo Subianto menilai kerusuhan yang mewarnai demonstrasi menolak UU Cipta Kerja telah ditunggangi dan juga dibiayai oleh pihak asing. Lebih lanjutnya, Prabowo mengatakan pihak-pihak asing tersebut menyebar hoaks bahwa UU Cipta Kerja buruk bagi masyarakat. Menurutnya banyak kekuatan asing yang tidak pernah suka Indonesia aman dan maju. 

Ya, kalau kita perhatikan, sepertinya narasi tentang intervensi asing dalam aksi demonstrasi telah menjadi pola tersendiri. Ketika ditanya oleh PinterPolitik tentang hal ini, Ujang Komarudin juga melihat hal yang sama. Ia menilai tuduhan-tuduhan liar semacam itu adalah tindakan keji yang bertujuan “membusuki” gerakan mahasiswa.  

Lebih lanjutnya, Ujang juga mengatakan narasi antagonisme semacam itu merupakan pola umum yang biasa dilakukan oleh sebuah rezim untuk menciptakan persepsi yang negatif pada aktivisme mahasiswa di negaranya.  

Sebagai kegunaan praktis, dengan menyebarkan narasi demikian, Ujang menilai mungkin ada motif untuk memecah konsentrasi gerakan mahasiswa agar tidak terlalu besar. Secara bersamaan, hal seperti ini juga bisa digunakan untuk mengempiskan demo mahasiswa agar kekuatannya melemah. 

Pandangan demikian sesuai dengan apa yang ditulis oleh Haifeng Huang dan Nicholas Cruz dalam tulisan mereka Propaganda, Presumed Influence, and Collective Protest. Di dalamnya, dijelaskan bahwa propaganda seputar aksi demonstrasi bertujuan untuk membuat masyarakat enggan turut serta dalam gerakan. 

Secara keseluruhan, Huang dan Cruz mengklasifikasikan propaganda dalam demonstrasi menjadi dua kategori, yakni propaganda persuasi dan propaganda intimidatif. 

Propaganda persuasif lebih bersifat menciptakan persepsi bahwa bukan pemerintah lah yang menginginkan demonstrasi untuk ditunda, tetapi justru karena ada ancaman lain yang berpotensi memecah kesatuan di masyarakat.  

Sementara itu, propaganda yang intimidatif jelas adalah propaganda yang ingin menunjukkan bahwa pemerintah memiliki sumber daya dan tenaga yang sesuai untuk menghukum mereka-mereka yang berani menentangnya. 

Dilihat dari fenomenanya, propaganda intervensi asing sepertinya bisa kita taruh dalam kategori propaganda persuasif. 

Propaganda persuasif tetap bisa berjalan efektif karena demonstrasi sejatinya adalah tindakan yang sangat berisiko. Seperti yang kita tahu, para peserta yang terlibat dalam aksi demo yang gagal atau rusuh dapat dikenai hukuman yang berat oleh negara.  

Karena itu, sebagian besar keputusan individu tentang apakah mereka akan ikut demo atau tidak, bergantung pada persepsi mereka tentang seberapa banyak orang lain yang akan ikut berdemo. Jika banyak yang ikut, tentu kemungkinan keberhasilan demo akan lebih besar, tetapi jika banyak yang ragu, maka demo tersebut pesertanya akan sedikit atau justru sama sekali tidak terjadi. 

Baca juga :  Koalisi Titan: Sentripetalisme Konsensus Demokrasi Prabowo

Dengan kata lain, propaganda terkadang dapat berhasil bukan dengan memengaruhi preferensi atau keyakinan individu, tetapi dengan membuat mereka berpikir bahwa preferensi atau keyakinan orang lain mungkin telah dipengaruhi. Mekanisme propaganda ini bergantung pada efek tidak langsungnya pada tingkat kolektif, daripada efek langsungnya pada tingkat individu. 

Itu adalah aspek praktis dari propaganda dalam demonstrasi. Lantas, bagaimana dengan jangka panjangnya? 

Peyorasi Kata “Demonstrasi”? 

Untuk jangka panjangnya, dengan semakin menempelkan stigma bahwa aksi demo mahasiswa kental dengan isu negatif seperti intervensi asing, bukan tidak mungkin bila ke depannya masyarakat akan melihat kata “demonstrasi” sebagai sebuah kata peyoratif. 

Kata peyoratif sendiri adalah kata yang telah melalui proses menjadi memiliki makna yang negatif, padahal kata aslinya bernilai netral atau justru baik. 

Pola seperti itu bertepatan dengan apa yang dijelaskan oleh Howard S. Becker dalam bukunya Outsiders; Studies in the Sociology of Deviance. Di dalamnya, Becker menjelaskan bahwa aktor yang memegang kekuasaan sosial, baik itu pemerintah atau entitas lain yang berpengaruh, melampirkan stigmatisasi stereotip kepada kelompok atau aktivitas tertentu, dengan harapan dapat membatasi perilaku mereka. 

Pembatasan perilaku ini dapat terjadi setelah kegiatan yang umumnya mereka lakukan ditempeli stigma sebagai sesuatu yang ditakuti dan dibenci oleh masyarakat.   

Motif peyorasi juga mulai terjadi pada penggunaan kata “radikalisme”. Yang tadinya dipahami sebagai pandangan yang mendalam akan suatu ajaran, setelah adanya narasi tentang radikalisme, kini kata tersebut sangat kental dengan paham terorisme.  

Dalam konteks demonstrasi, peyorasi bisa digunakan untuk menyetir demonstrasi. Upaya peyorasi ini juga dapat berfungsi sebagai tindakan yang sifatnya preemptive atau mendahului. Maksudnya adalah, tanpa perlu melemparkan ancaman-ancaman, komponen masyarakat secara naluriah akan sulit untuk disatukan ketika ingin mengadakan suatu aksi, karena mereka pasti akan skeptis terlebih dahulu. 

Oleh karena itu, bisa kita tarik kesimpulan bahwa propaganda di seputar aksi demo adalah upaya untuk membuat konsentrasi kekuatan demo tidak terlalu kuat. Dengan menciptakan narasi bahwa demo dapat dengan sangat mudah disusupi kepentingan asing, masyarakat semakin lama berpotensi akan melihat demo sebagai sesuatu yang perlu dihindari demi keamanan bangsa. 

Well, pada akhirnya itu semua hanyalah interpretasi belaka. Kebenaran tentang adanya intervensi asing dalam aksi 11 April 2022 tetap akan menjadi pertanyaan besar yang sulit untuk dijawab. Yang jelas, narasi-narasi untuk melemahkan aksi demo memang umum terjadi. (D74) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

More Stories

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

Taktik Psikologis di Balik Pembekalan Prabowo 

Dengarkan artikel berikut Acara pembekalan para calon menteri yang dilakukan Presiden Terpilih, Prabowo Subianto jadi sorotan publik. Kira-kira apa motif di baliknya?  PinterPolitik.com  Dalam dunia pendidikan, kegiatan...