Site icon PinterPolitik.com

Misteri PDIP Tak Pilih Anies

senyum semringah anies sambangi markas pdip jakarta 2 169 transformed

Anies Baswedan saat berkunjung ke kantor PDIP (Foto: Detik)

Setelah bikin publik penasaran menanti, PDIP akhirnya mengumumkan tak mengusung Anies Baswedan di Pilgub DKI Jakarta 2024. Alih-alih, partai banteng ini mengung kadernya sendiri, Pramono Anung dan Rano Karno, untuk maju bersama. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar. Pasalnya, jika kalkulasi politik yang dipakai dan tujuannya adalah untuk meraih kemenangan, maka strategi paling masuk akal yang seharusnya diambil adalah mengusung Anies. Namun, PDIP tak melakukan hal itu. Kenapa?


PinterPolitik.com

Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2024 menjadi salah satu ajang politik paling dinantikan, mengingat posisi strategis Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi Indonesia. Dalam konteks ini, keputusan PDIP untuk tidak mengusung Anies Baswedan sebagai kandidat menjadi sorotan. Padahal, jika PDIP dan Anies bersatu, kekuatan politik mereka bisa menjadi tak tertandingi.

Alih-alih mendukung Anies, PDIP memilih mengusung kader internalnya, Pramono Anung dan Rano Karno. Padahal Anies merupakan kandidat terkuat di Jakarta, setidaknya berdasarkan hasil survei berbagai lembaga.

Tak heran, publik bertanya-tanya soal keputusan ini. Dengan karakter PDIP sebagai partai yang sangat rasional dan penuh kalkulasi, agaknya PDIP mengambil jalan yang berbeda dibanding yang biasa dilakukan partai ini.

Memang bisa dipahami – misalnya dari pidato Megawati Soekarnoputri dalam beberapa hari terakhir ini – bahwa partai merah ini tak mau sekedar “didomplengi” untuk meraih kekuasaan. Bagi PDIP dan Mega, posisi parpol jelas lebih dominan karena memegang tiket pencalonan. Kandidat sekuat apapun tetap harus tunduk pada parpol.

Lalu pertanyaannya adalah, mengapa konsensus antara PDIP dan Anies tidak bisa terjadi?

Ideologi: Memanfaatkan atau Menghindari Risiko?

Secara elektoral, Anies Baswedan merupakan kandidat yang paling berpotensi menang di Jakarta. Popularitas dan elektabilitasnya, yang terbentuk sejak ia menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, membuatnya menjadi magnet bagi berbagai kalangan pemilih. Namun, PDIP memilih untuk tidak mendukung Anies dan lebih memilih mengusung kadernya sendiri.

Keputusan ini bisa dilihat dari sudut pandang strategi pemenangan. PDIP, sebagai partai terbesar di Indonesia, memiliki keyakinan bahwa mereka memiliki basis massa yang kuat di Jakarta. Mereka bisa saja berpikir bahwa tanpa Anies pun, mereka tetap memiliki peluang besar untuk menang. Dengan mengusung kader internal, PDIP bisa menunjukkan kekuatan independennya dan memantapkan posisinya sebagai partai yang tidak bergantung pada figur di luar partai.

Selain itu, mengusung Anies bisa dilihat sebagai langkah yang penuh risiko. Anies, meskipun kuat secara elektoral, adalah figur yang independen dan memiliki ideologi yang mungkin tidak sejalan sepenuhnya dengan PDIP. Risiko ini mungkin menjadi alasan utama mengapa PDIP memilih untuk menghindarinya, meskipun ada peluang besar untuk menang.

Soal ideologi ini tentu saja menarik. Kita tahu PDIP adalah partai yang sangat kuat dalam indoktrinasi ideologi tentang ajaran Bung Karno. Nasionalisme, Marhaenisme, dan nilai-nilai kebangsaan menjadi dasar dari setiap gerakan politik partai ini.

Dalam konteks ini, Anies Baswedan dipandang kurang cocok untuk diusung sebagai calon oleh PDIP. Meskipun Anies adalah seorang politisi yang dikenal cerdas dan berpengalaman, nilai-nilai yang ia bawa seringkali dianggap tidak sejalan dengan ideologi PDIP.

Konsep base and superstructure yang dikemukakan oleh Karl Marx dapat digunakan untuk memahami situasi ini. Dalam teori ini, “base” atau basis material ekonomi dan “superstructure” atau struktur ideologi dan politik memiliki hubungan yang erat.

PDIP sebagai partai politik memiliki “base” yang kuat dalam hal penguasaan ekonomi dan massa, tetapi struktur ideologinya yang berlandaskan Marhaenisme dan ajaran Bung Karno membuat mereka harus selektif dalam memilih calon yang sesuai dengan nilai-nilai tersebut.

Anies, yang selama ini dikenal sebagai tokoh yang mendekat ke arah politik Islam, dianggap memiliki ideologi yang berbeda. Ketidakcocokan ini membuat PDIP merasa bahwa mengusung Anies bisa menimbulkan ketidakseimbangan persepsi soal ideologi partai.

Selain itu, besar kemungkinan PDIP juga mensyaratkan Anies untuk bergabung menjadi kader PDIP jika mereka memutuskan untuk mendukungnya. Namun, hal ini tentu saja sulit diterima oleh Anies yang telah membangun karier politiknya secara independen.

Kalkulasi Masa Depan

Salah satu faktor lain yang mungkin menjadi pertimbangan PDIP adalah kalkulasi karier politik Anies Baswedan di masa depan. Anies, dengan popularitas yang dimilikinya, bukan hanya kandidat kuat untuk Pilgub Jakarta 2024, tetapi juga calon potensial dalam Pilpres 2029. Jika Anies berhasil menang di Jakarta dengan dukungan PDIP, maka ia akan memiliki modal politik yang sangat kuat untuk maju sebagai capres.

PDIP mungkin mempertimbangkan bahwa mendukung Anies sekarang bisa merugikan mereka di masa depan. Anies yang independen dan potensial sebagai capres bisa menjadi ancaman bagi PDIP dalam perebutan kekuasaan di tingkat nasional. Oleh karena itu, PDIP lebih memilih untuk mengusung kadernya sendiri yang lebih bisa dikendalikan dan sejalan dengan strategi jangka panjang partai.

Secara umum dalam politik, keputusan seringkali memang didasarkan pada pragmatisme, bukan hanya ideologi. Hal ini sejalan dengan konsep rules for radicals yang dikemukakan oleh Saul Alinsky, seorang aktivis politik dari Amerika Serikat. Alinsky dalam bukunya Rules for Radicals menekankan pentingnya pragmatisme dalam mencapai tujuan politik. Dalam arti, setiap entitas politik selalu menghitung terkait untung rugi ketika keputusan politik diambil.

Namun, pragmatisme tak selalu jadi poin penting bagi entitas yang sudah mapan alias well established. Pasalnya, entitas yang sudah kuat akan menganggap tujuan-tujuan mendasar jauh lebih penting ketimbang penyesuaian-penyesuaian untuk kepentingan jangka pendek.

Bagi PDIP, mengusung Anies mungkin terlihat pragmatis dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang, keputusan ini bisa merusak kesatuan partai dan mengganggu strategi politik yang telah dirancang.

Pragmatisme dalam politik memang penting, tetapi bagi PDIP, ideologi tetap menjadi faktor utama. Mengusung Anies yang ideologinya tidak sejalan dengan PDIP bisa dianggap sebagai pengkhianatan terhadap nilai-nilai yang telah mereka perjuangkan selama ini. Oleh karena itu, PDIP lebih memilih untuk tetap setia pada ideologi mereka, meskipun harus mengorbankan peluang menang yang lebih besar.

Dengan demikian, keputusan PDIP untuk tidak memilih Anies Baswedan sebagai calon gubernur Jakarta 2024 mungkin terlihat seperti misteri bagi sebagian kalangan. Namun, jika dilihat lebih dalam, keputusan ini sangat beralasan dan didasarkan pada berbagai pertimbangan strategis dan ideologis.

PDIP, sebagai partai politik dengan basis massa yang kuat dan ideologi yang solid, harus mempertimbangkan banyak hal sebelum mengambil keputusan. Meskipun Anies Baswedan adalah kandidat terkuat, risiko ideologis, kalkulasi karier politik masa depan, dan keinginan untuk mempertahankan kesatuan partai menjadi faktor-faktor yang membuat PDIP akhirnya memutuskan untuk mengusung kader internal mereka sendiri.

Pada akhirnya, keputusan politik memang sering kali didasarkan pada keseimbangan antara pragmatisme dan ideologi. PDIP memilih untuk menekankan ideologi mereka sebagai prioritas utama, meskipun harus menghadapi risiko kalah dalam Pilgub Jakarta 2024. Misteri PDIP tidak memilih Anies, pada akhirnya, adalah refleksi dari dinamika politik yang kompleks di Indonesia, di mana kekuasaan, ideologi, dan strategi jangka panjang selalu menjadi pertimbangan utama. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

Exit mobile version