Capres nomor urut 02, Prabowo Subianto mengkritik pernyataan lawannya, Joko Widodo (Jokowi) yang menyebutkan minimnya kemungkinan invasi ke Indonesia dalam 20 tahun ke depan. Prabowo pun mempertanyakan pihak-pihak yang memberi briefing pada Jokowi.
PinterPolitik.com
“They scream out my failures and whisper my accomplishments,” – Drake, penyanyi rap asal Kanada
[dropcap]D[/dropcap]alam debat keempat Pilpres 2019 yang bertemakan ideologi, pemerintahan, pertahanan dan keamanan, serta hubungan internasional, Jokowi menyebutkan bahwa Indonesia tidak akan menghadapi invasi dalam 20 tahun mendatang berdasarkan informasi intelijen yang didapatkannya.
Kontras dengan pernyataan Jokowi, Prabowo justru menyebutkan bahwa anggapan tidak akan ada perang merupakan hal yang salah kaprah. Mantan Danjen Kopassus itu pun mempertanyakan kebenaran informasi yang didapatkan oleh Jokowi tersebut.
Selain mempertanyakan informasi tersebut, Prabowo juga mempertanyakan pihak-pihak yang memberikan informasi tersebut kepada Jokowi. Prabowo menyebutkan bahwa apa yang diperoleh Jokowi hanyalah bisikan-bisikan “Asal Bapak Senang” (ABS) – istilah untuk menyebutkan perilaku membaik-baikkan pencapaian agar disenangi atasan – dari bawahan-bawahannya tanpa informasi yang akurat.
Pak Prabowo dalam Debat Capres ke 4 Menghotmati Pak Joko Widodo tapi 7X minta ma’af karena kesal sama Para Pembantu Presiden, “Beginilah kalau Calon Presiden yg pernah dipecat waktu di Militer debatnya tidak nyambung malah banyak ngawurnya”. #01JokowiLagiIndonesiaMaju MERDEKA.
— Ruhut Sitompul (@ruhutsitompul) March 31, 2019
Di luar debat, pernyataan Prabowo juga ditanggapi oleh cawapresnya, Sandiaga Uno. Sandiaga menyatakan bahwa seorang pemimpin perlu hati-hati dengan laporan-laporan ABS sehingga perlu memilah dan mencari informasi yang sebenarnya, seperti dengan cara terjun langsung ke lapangan.
Pihak Kementerian Pertahanan (Kemhan) pun memberikan konfirmasi ulang terkait saling kritiknya Jokowi dan Prabowo dalam debat tersebut. Kepala Pusat Komunikasi Kemhan Brigjen Totok Sugiharto membenarkan pernyataan Jokowi, meskipun perkiraan tersebut bisa saja tidak sesuai.
Ketua Harian Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin, Moeldoko juga turut membantah pernyataan Prabowo. Menurut Moeldoko, Jokowi merupakan pemimpin yang tidak mudah percaya. Kepala Staf Kepresidenan tersebut pun menambahkan bahwa Jokowi bahkan tidak akan mendengarkan bila diteriaki, apalagi dibisiki.
Dari pernyataan Moeldoko itu pun, kita perlu mempertanyakan, apakah betul Jokowi benar-benar tidak mendengarkan apabila dibisiki? Lalu, siapakah pembisik-pembisik yang disebutkan oleh Prabowo?
Bisikan Politik
Dalam politik, setiap pemimpin memiliki pembisik yang memengaruhi kebijakannya. Pembisik-pembisik ini pun dapat memengaruhi pemimpin dalam membuat kebijakan.
Pengaruh pembisik politik ini dapat dijelaskan dengan menggunakan kisah Genghis Khan – penguasa Kekaisaran Mongol pada abad ke-13. Genghis yang dikenal kejam dalam memimpin pun dapat berubah akibat dipengaruhi oleh para penasihatnya.
Adalah seorang intelektual konfusianisme bernama Yelü Chucai yang dikenal sebagai sosok yang mampu melembutkan kebijakan-kebijakan Genghis Khan. Perannya yang paling terkenal dalam sejarah adalah bagaimana ia memengaruhi sang Khan dalam menerapkan kebijakan pemungutan pajak di sepanjang Jalur Sutera.
Contoh lain di era modern kini adalah Presiden Donald Trump di Amerika Serikat (AS) yang disebut-sebut banyak dipengaruhi oleh pembisik-pembisik politik di belakangnya. Beberapa kebijakan Trump yang disebut dipengaruhi oleh bisikan politik adalah keinginan kompromi AS dalam Perang Dagang dengan Tiongkok dan penutupan pemerintah akibat isu pembangunan tembok di perbatasan AS-Meksiko.
Dalam politik internasional, Trump dikenal dengan kebijakan kontroversialnya yang menginisasi Perang Dagang antara AS dan Tiongkok. Trump yang sebelumnya secara konsisten tegas dengan kebijakan tersebut pun menyatakan berkehendak untuk membuka kesempatan kompromi dengan Tiongkok mengenai kisruh hubungan perdagangannya pada 2018 lalu.
Wartawan politik investigatif dari The Washington Post, Michael Kranish, dalam artikelnya yang berjudul Trump’s China Whisperer menyebutkan bahwa terdapat peran pembisik politik di belakang pernyataan Trump tersebut, yaitu seorang pengusaha dari Blacktone Group, Stephen Schwarzman. Pengusaha ini pun disebut-sebut memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Tiongkok.
Schwarzman yang merupakan salah satu pendonor terbesar dan penasehat kunci Trump itu pun secara konstan memberitahu Trump mengenai pentingnya hubungan dagang AS-Tiongkok. Duta Besar Tiongkok untuk AS, Cui Tinkai pun menyebut Schwarzman memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai hubungan AS-Tiongkok.
Selain isu dagang AS-Tiongkok, kukuhnya Trump atas penutupan pemerintahan (government shutdown) yang terjadi akibat isu pembangunan tembok AS-Meksiko juga disebut-sebut dipengaruhi oleh pembisik-pembisik politik di belakangnya. Pembisik-pembisik politik Trump dalam isu ini pun memiliki peran-peran penting di Gedung Putih.
Penulis pidato Trump, Stephen Miller, dan kepala staf Gedung Putih, Mick Mulvaney disebut-sebut sebagai kombinasi pemilik pandangan anti-imigrasi yang memengaruhi Trump dalam isu tersebut. Bahkan, keduanya dianggap memiliki pengaruh lebih besar dibandingkan Wakil Presiden AS, Mike Pence dan Penasehat Senior Gedung Putih, Jared Kushner.
Jika melihat contoh bisikan politik Genghis Khan dan Trump, bisikan-bisikan politik tersebut tentu mampu memengaruhi kebijakan pemerintah. Namun, terlepas dari pengaruhnya, apakah bisikan politik juga memiliki kepentingan di belakangnya?
Kepentingan dalam bisikan-bisikan politik ini pun dapat berkaitan dengan konsep oligarki. Oligarki merupakan sistem di mana kelompok elite dan pemilik kekayaan besar memiliki kontrol terhadap pemerintahan.
Saat ini, di banyak negara oligarki dapat memengaruhi pemerintahan meskipun negara tersebut memiliki institusi-institusi yang demokratis. Oligarki pun berperan dalam menentukan dan mengambil kekuasaan pemimpin.
Bisikan politik oleh oligarki ini pernah terjadi di Rusia setelah runtuhnya Uni Soviet yang ditandai dengan terpilihnya presiden pertama Federasi Rusia, yaitu Boris Yeltsin (1991-1999). Yeltsin pada saat itu mengubah sistem ekonomi Rusia dengan memberlakukan kebijakan shock therapy – kebijakan untuk melepas berbagai kontrol moneter, bisnis, dan pajak – guna memperbaiki perekonomian Rusia.
Kebijakan tesebut pun tidak malah memperbaiki kondisi, tetapi membawa Rusia ke dalam krisis. Akhirnya, oligarki Rusia dengan pengaruh finansial yang besar pun berperan dalam pemerintahan. Pada masa jabatannya yang kedua, Yeltsin pun dianggap sangat dekat dengan kelompok oligarki.
Bila berkaca pada bagaimana bisikan politik dan kepentingan tertentu memengaruhi pemerintahan pada abad pertengahan dan era modern, hal serupa mungkin juga dapat terjadi di Indonesia. Lalu, bagaimana dengan Jokowi?
Dibisiki, Dengar atau Tidak?
Kehadiran oligarki dalam pemerintahan Indonesia memang banyak dibahas oleh para peneliti. Pengaruh oligarki yang bermula sejak era Soeharto pun disebut tidak hilang oleh Richard Robinson dan Vedi R. Hadiz dalam bukunya yang berjudul Reorganising Power in Indonesia meskipun era Reformasi telah dimulai.
Menurut Robinson dan Hadiz, kehadiran oligarki tetap terlihat melalui adanya kepentingan dan kelompok elite tertentu dalam kerangka politik Indonesia pasca-Soeharto. Partai-partai politik yang berdiri pada era Reformasi pun masih diisi oleh pihak-pihak yang terlibat dalam jaringan patronase politik di era Orde Baru.
Jika memang oligarki masih memengaruhi pemerintahan Indonesia pasca-Orde Baru, apakah oligarki dan politik patronase lantas masih hadir pada era Jokowi kini?
Jawabannya adalah masih. Jokowi yang disebut-sebut menjadi tokoh baru dalam perpolitikan Indonesia pun dianggap masih menggunakan pola patronase dalam kekuasaannya.
Yuki Fukuoka dari Kedutaan Besar Jepang di Malaysia dan Luky Djani dari Universitas Indonesia dalam tulisannya yang berjudul Revisiting the Rise of Jokowi, menjelaskan bahwa Jokowi masih menerapkan politik patronase yang dapat dilihat dari bagaimana posisi-posisi strategis diisi oleh tokoh-tokoh partai politik.
Sebut saja nama-nama seperti putri Presiden kelima Indonesia, Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani sebagai Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan dan H.M. Prasetyo dari Partai Nasdem sebagai Jaksa Agung. Selain itu, Fukuoka dan Djani juga menyebutkan bahwa daftar kandidat kabinet yang telah disusun Jokowi harus digantikan dengan kandidat-kandidat koalisi partai politik seperti PDIP, Hanura, PKB, dan Nasdem atas usulan Megawati.
Bila melihat susunan Kabinet Kerja milik Jokowi, tokoh-tokoh politik dari beberapa partai pendukung memang turut mengisi posisi-posisi tertentu, seperti Menko Polhukam Wiranto dari Hanura, Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan dari Golkar, Mendagri Tjahjo Kumolo dari PDIP, Menkumham Yasonna Laoly dari PDIP, Menag Lukman Hakim Saifuddin dari PPP, serta Menteri BUMN Rini Soemarno yang didukung oleh A.M. Hendropriyono dari PKPI.
Dari nama-nama itu pun, kita bisa melihat bahwa Jokowi masih mendapatkan bisikan politik dari pihak lain dalam kepresidenannya. Artinya, kepresidenan Jokowi pun tidak kebal terhadap pengaruh dari pihak elite partai. Mungkin, tokoh dan partai politik inilah yang juga selalu memberi bisikan kepada Jokowi.
Bisa jadi, para menteri Jokowi yang diduga merupakan hasil bisikan juga masih menjadi pembisik sendiri. Ekonom Faisal Basri pun juga menyebutkan bahwa musuh utama Jokowi bukanlah Prabowo, melainkan menteri-menterinya sendiri yang kinerjanya masih belum dapat memuaskan masyarakat. Faisal misalnya mengutip data dari Litbang Kompas untuk menguatkan pernyataannya.
Sangat mungkin Jokowi memang mendengarkan bisikan-bisikan politik yang tidak jarang justru menyesatkannya – demikian meminjam kata-kata Prabowo. Pernyataan rapper Drake di awal tulisan pun pada akhirnya menjadi terbalik: banyak keberhasilan yang diteriakkan, tetapi sedikit kegagalan yang diungkapkan. (A43)