HomeNalar PolitikMisteri Mimpi Luar Angkasa Soekarno

Misteri Mimpi Luar Angkasa Soekarno

Presiden pertama Indonesia menyebut luar angkasa sebagai tahap terakhir revolusi dunia. Kira-kira bagaimana pandangan politik di balik ambisi besar Soekarno tersebut?


PinterPolitik.com

Soekarno barangkali adalah salah satu tokoh sejarah yang paling dikenal warga Indonesia. Kiprahnya saat sebelum ataupun setelah menjadi presiden pertama Indonesia selalu diceritakan dalam berbagai mata pelajaran ketika kita sekolah dulu.

Yup, karier politik Soekarno dalam memantapkan Indonesia sebagai sebuah negara memang perlu selalu kita ingat dan kita apresiasi, apalagi ketika di bawah kepemimpinannya Indonesia sering disebut-sebut sebagai “Macan Asia”.  Karena itu, tentu wajar bila kita kemudian refleksikan ide-ide ‘revolusioner’ yang pernah diambisikan Soekarno untuk zaman sekarang.

Nah, salah satu dari ide revolusioner tersebut adalah terkait dengan topik yang begitu penting di era modern ini tapi masih sangat jarang dibahas di Indonesia, yaitu keantariksaan. 

Saat ini, Indonesia memiliki lembaga antariksanya sendiri, sebelumnya ia bernama Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), sekarang, mereka telah dilebur menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Namun, mungkin banyak yang belum tahu bahwa misi keantariksaan Indonesia yang sudah dilembagakan itu berawal dari ambisi besar Soekarno sendiri. Sesuai dengan yang ditulis Rahadian Runjan dalam tulisannya Sukarno dan Angan-angan Keantariksaan Indonesia, ketika berpidato di Bandung pada 25 Januari 1960 ketika membuka acara Musyawarah Nasional untuk Perdamaian, Soekarno menyebutkan ada lima tahapan revolusi dunia, yakni revolusi agama, komersial, industri, atom, dan terakhir, revolusi luar angkasa.

Meski demikian, ambisi luar angkasa tersebut ditinggalkan begitu saja setelah Soekarno lengser. Anggapan umumnya, itu karena banyak masyarakat Indonesia yang melihat bahwa mimpi antariksa Soekarno perlu dipertanyakan urgensinya. Banyak yang menganggap antariksa hanyalah bermanfaat untuk sains dan belum perlu jadi perhatian utama sebuah negara ‘baru’ seperti Indonesia.

Baca juga :  Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Akan tetapi, benarkah anggapan tersebut? Bagaimana kira-kira logika politik Soekarno di balik ambisi besarnya membangkitkan keantariksaan Indonesia?

image 26

Antariksa dan Teori Original Sin

Sejak Perang Dingin, ketika space race antara Amerika Serikat dan Uni Soviet terjadi, program antariksa seakan menjadi sebuah ‘pertunjukkan’ untuk memamerkan kapabilitas teknologi dan sains sebuah negara. Walau di satu sisi itu ada benarnya, pandangan seperti itu sebenarnya mengalihkan kita dari tujuan sebenarnya mengapa negara merasa perlu membangun program antariksa.

Bleddyn E. Bowen dalam bukunya Original Sin: Power, Technology and War in Outer Space, mampu mengingatkan kita kenapa sebuah program antariksa secara prinsipnya tidak akan pernah terlepas dari kepentingan politik. Dengan menggunakan istilah original sin atau dosa asal, Bowen menegaskan bahwa yang menjadi tulang punggung sebuah program antariksa bukanlah kepentingan riset ataupun sains, melainkan kemampuan teknologi itu untuk menjadi senjata pembunuh paling mutakhir dari sebuah negara.

Menurut Bowen, segala istilah yang seringkali dilekatkan publik pada teknologi antariksa seperti misi eksplorasi, perdamaian, dan kerja sama, tidak lain hanyalah embel-embel untuk menutupi tujuan yang sebenarnya, yaitu kontrol militer dan ekonomi luar angkasa  sebagai sumber kekuatan baru bagi entitas-entitas politik di Bumi.

Well, kalau kita refleksikan, apa yang dikatakan Bowen memang ada benarnya. Di era modern ini, supremasi siber mungkin telah menjadi sesuatu yang paling kuat dalam persaingan internasional. Dengan memiliki satelit yang mumpuni dan tersebar dalam wilayah yang luas, sebuah negara mampu memiliki tidak hanya kekuatan komunikasi, tapi juga ekonomi dan pertahanan. 

Satelit mampu memberi kita kompleksitas dan manfaat data yang begitu melimpah. Apalagi banyak orang yang tidak tahu bahwa slotslot satelit di orbit Bumi sebenarnya terbatas. Saat ini, hanya negara yang mampulah yang berhak memiliki satelit. Sederhananya, prinsip first come first serve di luar angkasa masih begitu kuat.

Baca juga :  Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Tidak hanya itu, dengan memiliki teknologi antariksa yang canggih, suatu negara juga bisa mengembangkan teknologi peluncur yang digunakannya untuk keperluan militer, seperti peluncur rudal antar benua, misalnya. Spesifik hal ini, sepertinya itu juga yang dijadikan kekhawatiran Barat ketika Soekarno begitu gencar membangun program antariksa, dengan mendapatkan bantuan dari Uni Soviet, Indonesia saat itu bisa saja gunakan teknologi antariksanya untuk kembangkan rudal nuklir milik sendiri.

Dengan logika ala original sin ini, bisa dinalarkan bahwa alasan kenapa Soekarno sangat ingin memajukan program keantariksaan sebenarnya adalah untuk membangun hard power Indonesia, kala itu untuk teknologi peluncur roket, dan di masa depan untuk kendali ruang angkasa itu sendiri dengan satelit. 

Tapi tentu, ini hanya penalaran belaka. Yang jelas, tentu ada alasan spesifik kenapa Soekarno berniat membangun program antariksa sebuah negara yang baru merdeka.

In the meantime, selama jawaban itu belum ada, kita tengok India dulu aja deh yuk, barusan kemarin mereka habis uji coba rudal hipersonik. (D74)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

More Stories

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?