HomeNalar PolitikMisteri "Kongkalikong" Narasi Krisis Pangan

Misteri “Kongkalikong” Narasi Krisis Pangan

Dalam beberapa bulan terakhir, narasi tentang krisis pangan global terus beredar di berbagai negara. Namun, sejumlah pengamat mulai menemukan kejanggalan, salah satunya adalah pasokan makanan yang ternyata masih cukup untuk memenuhi kebutuhan. Jadi, apa yang sebenarnya sedang terjadi?


PinterPolitik.com

Sejak invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari 2022, perbincangan mengenai ancaman krisis pangan global telah menjadi topik utama di berbagai negara. Hal ini disebabkan oleh peran penting kedua negara tersebut dalam perdagangan gandum dunia.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri beberapa kali mengungkapkan kekhawatirannya terkait ancaman krisis pangan yang mulai dirasakan oleh negara-negara berkembang. Misalnya, beberapa bulan lalu, Jokowi sempat menyebut bahwa gangguan pasokan gandum bisa menyebabkan kenaikan harga mi instan. Meskipun prediksi tersebut belum terbukti, hal itu sempat memicu kepanikan di masyarakat.

Namun, beberapa bulan setelah isu ini mencuat, sejumlah pihak mulai meragukan kebenaran dari krisis pangan tersebut. Meskipun ada peningkatan jumlah orang yang mengalami kelaparan, perubahannya tidak begitu signifikan. Hingga kini, kekurangan besar bahan makanan seperti yang dikhawatirkan banyak pihak belum terjadi.

Dan jujur, isu soal kelangkaan bahan pangan sendiri bukanlah hal yang baru. Sebelum perang Rusia-Ukraina, pembahasan soal ancaman kesediaan bahan pangan global bahkan sudah dibicarakan organisasi internasional seperti Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO).

Hal ini kemudian memunculkan pertanyaan menarik: apakah krisis pangan global benar-benar terjadi?

image

Monopoli Makanan, Monopoli Nyawa?

Pepatah Latin “Homo homini lupus” yang berarti “Manusia adalah serigala bagi sesamanya” tampaknya relevan untuk menggambarkan kondisi krisis pangan yang sedang terjadi saat ini. Dunia perdagangan pangan sedang berada dalam situasi yang diduga kuat dikuasai oleh praktik monopoli yang besar dan meresahkan.

Baca juga :  Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Sophie van Huellen, seorang pengamat sekaligus dosen ekonomi dari Universitas Manchester, dalam tulisannya yang berjudul Inflasi: Bagaimana Spekulasi Keuangan Memperburuk Krisis Harga Pangan Global, mengungkapkan bahwa yang sebenarnya terjadi saat ini bukanlah krisis pasokan pangan, melainkan krisis harga.

Menurut Sophie, khususnya dalam hal pasokan gandum, rantai suplai global seharusnya mampu memenuhi kebutuhan negara-negara. Sebagai contoh pada tahun 2023 disebutkan bahwa Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), dua produsen gandum terbesar di dunia, telah melalui musim panen yang baik, dan FAO bahkan memperkirakan pasokan bulir global untuk periode 2023-202r akan mencukupi.

Namun, meskipun pasokan gandum terjamin, banyak negara masih menghadapi kesulitan. Penyebabnya adalah tindakan dari kelompok yang dikenal sebagai “noise traders” atau para pedagang yang bising.

Dalam perdagangan pangan global, pihak yang terlibat tidak hanya penghasil dan konsumen makanan, tetapi juga bank, broker, dan investor yang mengendalikan komoditas pangan di pasar.

Akibatnya, harga pangan tidak hanya dipengaruhi oleh permintaan dan pasokan, tetapi juga oleh spekulasi nilai komoditas yang sepenuhnya berada dalam kendali para trader. Keputusan perdagangan mereka dapat menyebabkan lonjakan harga pangan, meskipun pasokan pangan sebenarnya cukup aman.

Namun, kira-kira hal apa yang diincar dari para noise traders tersebut?

image

Dampak dan Konsekuensi Monopoli Pangan

Siapa sebenarnya para “aktor” di balik monopoli ini masih menjadi tanda tanya. Namun, ada dugaan kuat bahwa negara-negara dengan ekonomi besar seperti AS dan RRT, sebagai produsen gandum terbesar, memiliki peran signifikan dalam permainan harga pangan global.

Profesor Dwi Andreas, pakar pertanian dari IPB, mencurigai bahwa negara-negara produsen besar ini menikmati dampak dari harga pangan yang tinggi.

Baca juga :  Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Namun, dampak buruk dari praktik ini tidak berhenti di situ. Mengacu pada tulisan Sophie van Huellen, spekulasi harga pangan dapat memberikan dampak besar terutama bagi negara-negara yang bergantung pada impor makanan dan tidak memiliki kemampuan untuk mengamankan pasokan sendiri.

Dugaan bahwa negara-negara produsen menimbun makanan untuk mencegah kenaikan harga pangan hanya memperburuk situasi, dengan mengurangi ketersediaan pasokan global.

Jika hal ini terus berlanjut, krisis harga pangan dapat dengan mudah bertransformasi menjadi krisis pasokan yang nyata.

Jika dugaan ini benar, maka bisa dikatakan bahwa prinsip merkantilisme masih hidup dalam perdagangan pangan global.

Alih-alih menjadi arena kerja sama, perdagangan pangan seringkali dipandang sebagai ajang persaingan di mana prinsip zero-sum game atau kemenangan mutlak menjadi pegangan. Pada akhirnya, masyarakat yang menjadi korban, di mana akses terhadap pangan menjadi semakin sulit.

Ke depannya, tentu harapannya akan ada sistem keadilan yang bisa mencegah hal-hal buruk ini terjadi secara berkelanjutan, dan bisa membuat kebutuhan pangan negara-negara di dunia dapat terpenuhi dengan baik.

Karena, persoalan pangan sejatinya bukan hanya soal ketersediaan pasokan saja, tetapi juga kemampuan para negara untuk mengelola sumber daya pangan secara adil dan berkelanjutan. (D74)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

2029 “Kiamat” Partai Berbasis Islam? 

Pilkada 2024 menjadi catatan tersendiri bagi partai politik berbasis Islam besar di Indonesia, yakni PKS dan PKB. Bagaimana partai-partai ini bisa membenahi diri mereka dalam menyambut dinamika politik lima tahun mendatang? 

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin?