Setelah sebelumnya posisi Jaksa Agung diisi oleh nama yang berafiliasi dengan Partai Nasdem, muncul usulan agar sosok yang memimpin selanjutnya berasal dari kalangan profesional. Presiden Jokowi pun akhirnya mengangkat ST Burhanuddin yang memang berasal dari kalangan profesional sebagai Jaksa Agung. Namun, sepertinya terjadi plot twist karena ternyata ST Burhanuddin belakangan diketahui merupakan adik dari politisi PDIP, TB Hasanuddin. Sebuah kebetulan?
PinterPolitik.com
Pada 3 November 2014, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah berujar untuk tidak memilih Jaksa Agung dari kalangan partai politik (parpol). Anehnya, dengan tidak mempertahankan konsistensi pernyataannya, 17 hari kemudian, atau tepatnya 20 November 2014, Jokowi justru mengangkat mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, HM Prasetyo yang merupakan kader Partai Nasdem, sebagai Jaksa Agung.
Berbagai pihak sontak mempertanyakan dan mengkritik keputusan mantan Wali Kota Solo tersebut. Anggota Komisi III DPR kala itu Muslim Ayub misalnya, mengomentari pengangkatan Prasetyo dengan mengungkapkan bahwa jika politisi menjadi Jaksa Agung maka penegakan hukum di Indonesia tidak akan pernah menjadi baik.
Politisi Parta Gerindra yang kala itu menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi III DPR, Desmond Junaidi Mahesa juga turut berkomentar dengan mempertanyakan alasan Jokowi memilih politikus Nasdem tersebut, melihat prestasi Prasetyo di Kejaksaan terbilang minim.
Demi menepis segala tuduhan tersebut, Prasetyo lantas mengundurkan diri dari segala bentuk kepengurusan struktural di Partai Nasdem.
Namun, sepertinya pernyataan bahwa Prasetyo yang tidak lagi berafiliasi ke Nasdem hanya terjadi di atas kertas. Pasalnya, selama 5 tahun memimpin Korps Adhyaksa, Prasetyo oleh banyak pihak dinilai telah melakukan abuse of power atau penyalahgunaan wewenang yang menguntungkan Nasdem.
Kini, jabatan Prasetyo itu telah digantikan oleh ST Burhanuddin yang merupakan sosok dari internal kejasaan sendiri. Namun, belakangan diketahui bahwa yang bersangkutan adalah adik dari TB Hasanuddin – politikus PDIP yang pada 2018 lalu maju pada Pilkada Jawa Barat.
Pertanyaannya adalah akankah Burhanuddin menjadi babak kelanjutan dari apa yang pernah terjadi pada Prasetyo?
Plot Twist PDIP?
Mempertanyakan afiliasi politik Burhanuddin memang beralasan. Pasalnya, dalam kasus Prasetyo, hal tersebut cukup berpengaruh dalam perjalanan penegakan hukum sepanjang era kekuasaannya.
Sepak terjang Prasetyo, dalam laman Law Justice, disebut telah membuat wajah penegakan hukum yang dimainkan oleh Kejagung kental bermuatan kepentingan pribadi atau golongan, bahkan terkesan menjadi corong para penguasa dalam memainkan peranan politik.
Hal ini misalnya terlihat dari penuturan Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Capim KPK) dari unsur Kejaksaan, Johanis Tanak yang menceritakan dengan lugas pengalamannya saat menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi di Sulawesi Tengah.
Saat itu, Johanis sempat menangani perkara dugaan korupsi mantan Gubernur Sulawesi Tengah Mayor Jenderal (Purn) TNI, Bandjela Paliudju yang juga merupakan penasehat Partai Nasdem Sulawesi Tengah.
Atas hal ini, Johanis kemudian dipanggil untuk menghadap Jaksa agung. Singkat cerita Bandjela Paliudju akhirnya divonis bebas karena dinilai bukti yang dihadirkan tidak cukup valid.
Apakah Jaksa Agung telah mengintervensi penanganan hukum tersebut? Bisa iya, bisa juga tidak. Namun, yang jelas pemanggilan Johanis oleh Jaksa Agung telah memberi kesan tendensius adanya intervensi.
Tidak hanya itu, beberapa pihak juga mencurigai posisi Jaksa Agung menjadi alasan beberapa kader partai lain berpindah ke Nasdem.
Kendati tidak secara eksplisit, Koodinator Konsorsium LSM Bengkulu, Syaiful Anwar juga pernah berujar dengan halus terkait dugaan tersebut.
Kasus ini misalnya terjadi pada Ketua DPD Demokrat Sulawesi Utara, Vicky Lumentut yang tiba-tiba membelot ke Nasdem setelah sebelumnya diduga terkait kasus korupsi yg sedang diusut Kejagung.
Atas keganjilan hal tersebut, Sekjen Partai Demokrat Hinca Panjaitan menyebut Vicky sedang mencari perlindungan hukum terkait dengan permasalahan hukum yang sedang dihadapinya.
Tidak hanya Demokrat, hal ini juga disebut membuat Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri meradang karena banyak kepala daerah PDIP berlabuh ke Nasdem. Ini diungkapkan salah satunya oleh Pakar Komunikasi Politik Universitas Paramadina Hendri Satrio.
Melihat datanya, sampai saat ini telah terdapat 195 kepala daerah yang menjadi kader Nasdem. Efeknya terbilang fantastis, bagaimana tidak, suara Nasdem di Pemilu 2019 melejit menjadi 9,05 persen, setelah sebelumnya hanya memperoleh 6,72 persen suara pada Pemilu 2014.
Melihat angka fantastis tersebut, sepertinya kita dapat memahami mengapa pengamat politik Rocky Gerung pernah berujar bahwa kunci kekuatan Nasdem adalah karena memiliki Jaksa Agung.
Tapi anehnya, di tengah keluhan banyak pihak terkait kontroversi yang menimpa Jaksa Agung, Jokowi kala itu nyatanya tidak memberhentikan Prasetyo sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di Korps Adhyaksa.
Terkait hal tersebut, besar kemungkinan karena Jokowi tidak ingin merusak hubungannya dengan Surya Paloh, menimbang Nasdem merupakan salah satu parpol pendukung utama Jokowi di Pilpres 2019.
Walau demikian, Jokowi atau mungkin tepatnya PDIP, sepertinya tidak ingin mengulang kesalahan yang sama. Terlebih lagi, hubungan Mega dengan Surya Paloh saat ini tengah dirundung perseteruan.
Surya Paloh misalnya melontarkan pernyataan untuk mempertahankan posisi Prasetyo sebagai Jaksa Agung, namun PDIP membalas dengan pernyataan bahwa Jaksa Agung seharusnya dipilih dari kalangan profesional atau internal kejaksaan.
Seolah mengiyakan, Jokowi kemudian mengangkat ST Burhanuddin dari kalangan internal Kejaksaan sebagai Jaksa Agung yang baru – setidaknya dalam kacamata publik di awal-awal.
Akan tetapi, sepertinya telah terjadi plot twist. Burhanuddin ternyata merupakan adik dari politisi PDIP, TB Hasanuddin.
Praktis, fakta ini mengundang berbagai kecurigaan dari berbagai pihak bahwa Burhanuddin adalah sosok yang memang disiapkan oleh PDIP karena tidak ingin mengulangi kesalahannya memberikan posisi strategis tersebut kepada Nasdem.
Hukum Tidaklah Netral?
Melihat fenomena perebutan posisi Jaksa Agung yang memiliki wewenang penegakan dan intervensi hukum, sangat relevan bagi kita untuk melihat pertanyaan Miro Cerar dalam The Relationship Between Law and Politics, yaitu apakah kekuasaan hanyalah sarana untuk mewujudkan hukum, atau apakah kekuasaan sebenarnya adalah hukum itu sendiri?
Menilik dari fenomena Jaksa Agung yang punya kaitan dengan kepentingan politik, ini memberi jawaban atas pertanyaan Cerar bahwa kekuasan atau politik sepertinya adalah hukum itu sendiri.
Namun, menurut Cerar, kategori tersebut adalah penegakan hukum yang terjadi di negara otoriter, di mana kekuasaan pemerintah atau politik begitu absolut. Menimbang Indonesia merupakan negara demokrasi, apakah kategori Cerar akan membuat kita harus menempatkan Indonesia sebagai negara otoriter dalam hal supremasi hukum?
Sepertinya tidak.
Mengutip José María Maravall dalam The Rule of Law as a Political Weapon, disebutkan bahwa demokrasi dan supremasi hukum, bagaimanapun, dapat memberikan peluang dan insentif bagi politisi untuk saling menumbangkan satu sama lain.
Lanjut Maravall, terdapat dua jenis strategi hukum ketika dijadikan alat untuk kepentingan politik dalam demokrasi.
Pertama, politisi dapat menggunakan demokrasi untuk mensubordinasi peradilan dan untuk mengatasi batas-batas yang ditetapkan oleh aturan hukum.
Kedua, di tengah usaha mempertahankan demokrasi, independensi hakim diubah menjadi instrumen politik untuk menyingkirkan lawan politik.
Jika politisi menggunakan independensi hakim sebagai instrumen melawan demokrasi, menurut Maravall, ini akan dilakukan ketika lembaga-lembaga politik lemah. Masyarakat dibagi dalam dukungannya terhadap rezim, peradilan di luar kendali parlemen, dan pemerintah memusuhi demokrasi. Dalam keadaan ini, probabilitas keberhasilan strategi yang disebut subversif ini meningkat dengan tajam.
Melihat pada konteks tersebut, sepertinya iklim penegakan hukum Indonesia tengah memperlihatkan indikasi yang disebutkan oleh Maravall.
Melihat pada dugaan abuse of power dalam konteks Kejaksaan ini, nyatanya pihak berotoritas tidak mengambil langkah seperti melakukan pemecatan.
Badan-badan pengawas seperti Ombudsman pun yang telah mendapat ratusan pengaduan terkait dugaan abuse of power, nyatanya tidak mampu memberi peran berlebih selain memberikan data.
Masyarakat sendiri saat ini terbagi ke dalam sekat-sekat politik, pun begitu dengan para kader partai yang senantiasa membela partainya mati-matian. Terkait yang terakhir, sepertinya itu memang menjadi tugasnya untuk mempertahankan citra partai di hadapan publik.
Lalu pemerintah, atas berbagai kasus justru telah melakukan berbagai kebijakan yang tidak mencerminkan negara demokrasi.
Kembali pada persoalan Jaksa Agung saat ini yang sepertinya memiliki afiliasi politik dengan PDIP akan berpotensi kembali mengulang tesis bahwa demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia sepertinya hanya berjalan secara struktural semata.
Atas kasus Prasetyo, apakah bisa dianggap bahwa hal serupa juga akan terjadi pada Burhanuddin di mana keputusan-keputusan penegakan hukumnya justru memberi keuntungan politik terhadap PDIP?
Tentu saja terlalu dini untuk menyimpulkan hal tersebut. Fenomena sebaliknya di mana Burhanuddin dapat menjalankan peran dan fungsi Jaksa Agung secara profesional juga terbuka lebar.
Akan tetapi, mengutip pada pandangan Jeffry A. Winters dari Northwestern University dan Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Firman Noor, sistem politik di Indonesia adalah pencampuran dari demokrasi dengan politik oligarki.
Atas hal ini, para oligark yang banyak berdiam di balik pendanaan parpol akan meminta hadiah-hadiah atas biaya yang telah mereka investasikan.
Ini membuat praktik politik tidak ubahnya seperti aktivitas pasar yang sarat akan kegiatan jual beli yang senantiasa memperhitungkan kalkulasi untung rugi.
Menilik pada kasus ini, pandangan konservatif terhadap hukum yang menyebut supremasi hukum dapat berlaku netral sepertinya merupakan hal yang begitu naif. Institusi hukum, sehebat apapun klaim indepedensinya, selalu memiliki potensi untuk menjadi alat meraih kepentingan politik. (R53)
Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.