Gugurnya banyak petugas penyelenggara pemilu di TPS memunculkan sebuah ironi tersendiri bagi demokrasi.
PinterPolitik.com
[dropcap]D[/dropcap]emokrasi dibangun di atas tulang dan darah. Mungkin itulah yang ada di benak para aktivis zaman dulu ketika memperjuangkan demokrasi sebagai sistem yang harus diterapkan di Indonesia. Dengan berbagai demonstrasi, aksi protes, hingga harus melakukan konfrontasi dengan aparat hukum, akhirnya pada 1998, rakyat Indonesia mampu menikmati apa yang disebut sebagai kehidupan berdemokrasi.
Namun, pasca reformasi, demokrasi juga harus dipertahankan di atas tulang dan darah. Itulah tulang dan darah para petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang berguguran dalam mengawal jalannya pesta demokrasi lima tahunan yang berlangsung pada 17 April 2019 lalu.
Tentu kenyataan ini adalah sebuah ironi. Di saat Indonesia menjadi sorotan dunia internasional karena tengah menyelenggarakan pesta demokrasi terbesar dan terrumit sepanjang sejarah reformasi, namun fakta yang ada justru banyak korban berjatuhan demi mengawal prosesi Pemilu.
Turut berduka cita atas gugurnya pejuang demokrasi Share on XMenurut data terakhir dari KPU pada hari Rabu 24 April 2019, tercatat korban berjatuhan mencapai 144 orang meninggal dunia dan 883 orang sakit.
Tak hanya KPU, Bawaslu juga merilis data 14 orang Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) yang meninggal dunia, sedangkan 222 orang lainnya mengalami sakit saat bertugas.
Sementara itu, setidaknya 15 polisi juga tewas dalam kecelakaan. Hal ini berkaitan dengan kondisi geografis yang memaksa petugas polisi dan pekerja TPS untuk membawa kertas suara dan kotak suara dengan berbagai cara, termasuk dengan kuda dan kano, melewati hutan, sungai dan gunung.
Fenomena ini pun mendapatkan sorotan banyak pihak, termasuk media internasional. Media seperti Bloomberg, South China Morning Post, The Straits Times, hingga Sputniknews menyorot fenomena yang tak biasa ini.
Kematian ini tentu menjadi tragedi yang sungguh menyesakkan. Lalu mungkinkah ada makna di balik kejadian yang cukup mengguncang penyelenggaraan demokrasi ini?
Evaluasi Menyeluruh
Pelaksanaan Pemilu serentak kali ini memang akan menjadi evaluasi bagi para pemangku kebijakan yang berkepentingan dalam mengawal demokrasi di negeri ini, terutama menyoal teknis pelaksanaan yang ternyata dinilai cukup memberatkan petugas lapangan.
Koreksi ini sesungguhnya telah diungkapkan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang memandang pemilu lima surat suara ini lebih tepat disebut sebagai pemilu borongan, daripada pemilu serentak.
Meskipun konsep Pemilu serentak ini diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK), namun format menggabungkan lima kategori pilihan sekaligus oleh UU Pemilu sesungguhnya merupakan kebijakan yang tidak tepat.
Hal ini berkaitan dengan kondisi jumlah pemilih yang sangat banyak di Indonesia dan wilayah yang sangat luas. Hal ini mengakibatkan petugas di lapangan harus bekerja 24 jam penuh untuk memastikan surat suara terdistribusi dengan baik dan pemungutan suara bisa dilaksanakan.
Petugas KPPS yang Meninggal Jadi 119 Orang, 548 Sakit. 2 Saksi dari PKS (Ratmono dan Kyai Jali) kemaren juga wafat. InnaaliLlah… kita berduka. Smoga semuanya husnul khatimah&yg sakit sgra sehat wal afiat. Dan Pemilu yad tak terulang lagi hal spt ini. https://t.co/qDnBYnLXoV
— Hidayat Nur Wahid (@hnurwahid) April 23, 2019
Namun, sepertinya kondisi tersebut tak terlalu dihiraukan oleh penyeleggara Pemilu pada saat persiapan dilaksanakan. Dalam konteks ini, KPU maupun Bawaslu terkesan terlambat dalam mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi terhadap personil lapangan.
Misalnya saja terkait proses rekrutmen anggota KPPS yang abai tentang catatan kesehatan calon petugas lapangan. Hal ini tergambar jelas dari pernyataan KPU ketika ditanya mengenai catatan medis mengenai penyebab kematian yang mengatakan bahwa dokter lah yang lebih berwenang dalam urusan tersebut – walaupun beberapa sumber lain juga menyebut serangan jantung, stroke dan kecelakaan berkendara sebagai detail penyebab kematian.
Pernyataan tersebut tentu saja semakin menunjukkan bahwa rekrutmen petugas penyelenggara Pemilu di tingkat bawah tak memenuhi standar kesehatan secara fisik, sehingga pencegahan persoalan kesehatan terhadap petugas KPPS pun tak dapat dilakukan.
Sementara pihak KPU hanya mensimplifikasi bahwa faktor utama petugas sakit dan meninggal dunia adalah karena kelelahan, di mana mereka harus melakukan penghitungan pada lima jenis surat suara Pemilu sekaligus.
Tentu banyaknya korban yang berjatuhan ini merupakan sebuah tragedi kemanusiaan sekaligus ironi terhadap demokrasi di Indonesia. Meskipun kematian sejatinya adalah sebuah takdir, namun jika melihat masifnya korban jiwa dalam pelaksanaan Pemilu kali ini, masihkah hal ini disebut sebagai sebuah kebetulan belaka?
Oleh karenanya, berbagai spekulasipun kemudian muncul dalam masyarakat, benarkah kelelahan menjadi satu-satunya faktor penyebab kematian para petugas lapangan ini?
Hanya Kelelahan?
Dalam keterangan resminya, KPU selalu menggunakan narasi kelelahan sebagai faktor utama penyebab meninggalnya para petugas Pemilu di lapangan. Namun bagaimana sesungguhnya hal tersebut dapat dijelaskan dalam dunia medis?
Istilah kelelahan yang dapat menyebabkan kematian ini dalam ilmu medis dikenal sebagai fatigue kill.
Pedoman dari American College of Occupational and Environmental Medicine tahun 2012 mendefinisikan kelelahan sebagai respons tubuh terhadap kurang tidur atau kerja keras fisik atau mental yang panjang.
Faktor risiko yang terkait dengan kelelahan kerja termasuk jam kerja yang panjang, beban kerja yang berat, kurang tidur, faktor lingkungan dan kondisi medis.
Efek kelelahan dapat mencakup melambatnya kinerja seseorang, lebih banyak terjadi kesalahan dan penurunan kemampuan kognitif. Kelelahan dapat terjadi di semua industri, tetapi banyak penelitian telah berfokus pada efeknya pada pekerja paruh waktu, pekerja perawatan kesehatan dan pengemudi.
Menurut Matthew Hallowell, associate professor teknik konstruksi di University of Colorado Boulder, yang berisiko paling tinggi terhadap fatigue kill ini adalah pekerja industri yang bekerja berjam-jam, lembur berhari-hari, dan ketika bekerja terpapar dengan kondisi lingkungan yang keras, seperti bekerja di tengah hujan dan salju.
Ia juga menambahkan bahwa terjadinya fatigue kill dapat mencakup adanya kondisi lingkungan dan beban tugas mental yang sangat berat untuk jangka waktu yang lama.
Selain itu, David Lombardi, ilmuwan di Center for Injury Epidemiology di Liberty Mutual Research Institute for Safety menyebut ketika seseorang melakukan banyak pekerjaan akan membuat mereka rentan terhadap kelelahan. Orang-orang yang bekerja beberapa pekerjaan akan cenderung hanya mendapatkan 40 menit waktu tidur per hari daripada mereka yang bekerja hanya pada satu pekerjaan.
Fatigue kill ini memang telah menjadi konsen bagi World Health Organisation (WHO) sebagai bentuk kampanye khususnya terhadap para buruh industri yang kerap kali bekerja di waktu yang lama dan pekerjaan yang padat. Lalu, bagaimana dalam konteks petugas KPPS di Pemilu 2019 ini?
Jika petugas KPPS disamakan dengan buruh pabrik yang bekerja dalam durasi yang lama dan beban kerja yang berat tentu hal tersebut tidak serta merta dibenarkan.
Persoalan selanjutnya adalah, akan menjadi sangat wajar jika fatigue kill ini menyerang hanya sebagian kecil saja petugas lapangan. Persoalannya adalah kenapa jumlah korban akibat fatigue kill ini bisa mencapai angka di atas seratus orang. Tentu hal ini menjadi pertanyaan besarnya.
Bahkan Menkopolhukam Wiranto menyebut petugas Pemilu yang meninggal telah mencapai 139 orang. Tentu jumlah ini sangat besar.
Memang tidak dipungkiri juga bahwa death rate atau tingkat kematian di Indonesia pada tahun 2017 mencapai 6,5 per 1000 penduduk per tahun. Artinya, dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 265 juta pada tahun 2018, setiap harinya ada 4.600-an orang yang meninggal.
Dengan demikian, jumlah 139 orang tentu lebih kecil di bandingkan death rate tersebut, pun terjadi tidak di satu hari Pemilu saja. Walaupun demikian, hal ini tentu tetap menjadi sorotan besar, mengingat ini tentu bisa dihindari dan dicegah.
Di samping itu, selama isu ini bergulir, penyelidikan terkait penyebab meninggal para petugas lapangan ini juga tidak dilakukan secara menyeluruh dan transparan. Selain itu, keputusan pihak keluarga yang tak mengungkap penyebab meninggalnya para petugas KPPS ini juga menimbulkan berbagai spekulasi.
The price of simultaneous elections in Indonesia: dozens officers died and sick from fatigue during the Indonesia's elections. The workloads of the presidential and legislative elections were heavier and took more energy than before. #Pemilu2019https://t.co/Vvk5FJIcHA
— Erwin Renaldi (@erwin_renaldi) April 23, 2019
Sebenarnya, ada tahapan-tahapan medis yang bisa dilakukan oleh pihak berwenang – dalam konteks ini petugas rumah sakit maupun aparat kepolisian – sebagai upaya mengungkap misteri di balik meninggalnya para pejuang demokrasi ini
Tentu kita tidak asing dengan istilah pemeriksaan visum atau dalam bahasa hukumnya disebut visum et repertum dan juga penyelidikan forensik yang merupakan tahapan untuk mengungkap misteri sebuah penyelidikan perkara.
Namun, meninggalnya seratusan petugas Pemilu ini nampaknya masih hanya menjadi angin lalu yang tak penting untuk diselidiki lebih lanjut. Tentu hal ini menjadi ironi tersendiri bagi demokrasi di Indonesia. Idealnya, semua pihak harusnya tak berpangku tangan. (M39)