Site icon PinterPolitik.com

Misteri El Clasico Prabowo vs Jokowi

Misteri El Clasico Prabowo vs Jokowi

Foto : Istimewa

El Clasico Jokowi vs Prabowo akan panas layaknya Barcelona vs Real Madrid. Mana yang lebih berpeluang menang?


PinterPolitik.com

[dropcap]B[/dropcap]ak rivalitas abadi antara klub sepak bola asal Catalan, Barcelona melawan klub ibukota Spanyol, Real Madrid, Pilpres kali ini di sebut-sebut sama panasnya dengan laga El Clasico dua klub di La Liga tersebut.

Tema itulah yang kemudian menjadi tagline dalam episode terbaru Indonesia Lawyer Club (ILC) sehari yang lalu, yang mengangkat tema tentang El Clasico Jokowi vs Prabowo.

Jelang Pilpres 2019 yang akan jatuh pada 17 April 2019, hari-hari terakhir ini memang adalah detik-detik penentuan bagi Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto, untuk mengerahkan segala amunsi dan taktik politik demi memenangkan pesta demokrasi lima tahunan ini.

Jadi, Jokowi itu ibarat Barca, terus Prabowo itu Real Madrid? Share on X

Politisi PDIP, Budiman Sudjatmiko tak terlalu sepakat dengan diksi dalam tema acara El Clasico Jokowi vs Prabowo karena terkesan terlalu dipaksakan dalam konteks persaingan politik dalam Pilpres kali ini. Menurut fans klub Real Madrid itu, kandidat  oposisi tak memiliki track record memenangkan sebuah pertarungan politik layanknya pertarungan abadi antara Barcelona dan Real Madrid tersebut.

Namun, konteks tetap cukup menarik untuk dilihat, terutama terkait serba-serbi kompetisi politik yang melingkupi Jokowi maupun Prabowo seiring semakin dekatnya hari pencoblosan.

Merujuk pada kondisi perpolitikan tanah air yang kian memanas, tentu sepadan jika menganalogikan El Clasico yang kini terjadi dalam konteks Pilpres 2019.

Berbagai isu yang diangkat dalam pertarungan politik kali ini juga cukup membuat publik bergidik, katakanlah yang berkaitan  dengan aktivitas saling serang antar kedua kubu baik di media sosial maupun media massa, serta isu-isu tentang pertentangan ideologi dan personalitas, hingga persoalan ekonomi dan pembangunan. Lalu, akan seperti apa hasil El Clasico Jokowi versus Prabowo ini?

Tarung Klasik Jokowi-Prabowo

Bagi para penggila bola, utamanya Barcelonista dan Madridista, El Clasico bisa dibilang menjadi laga yang paling ditunggu-tunggu setiap tahunnya. Tak hanya menyoal gelar, perseteruan abadi antara dua klub raksasa Eropa, Barcelona dan Real Madrid ini menjadi penanda pertarungan kehormatan dan citra diri klub mereka dalam dunia sepak bola.

Oleh karenanya, El Clasico bukanlah pertandingan sepak bola biasa. Duel ini ibarat penentu siapa pengusasa Spanyol tiap musim di antara keduanya. Tak heran, jika laga ini adalah salah satu duel sepak bola yang paling banyak dinanti jutaan mata tiap musimnya.

Dalam sejarah El Clasico melalui pertandingan resmi yang diakui FIFA, Barcelona telah meraih 96 kemenangan. Sedangkan Real Madrid telah meraih 95 kemenangan. Kedua klub ini juga seringkali diidentifikasi representasi politik etnis di Spanyol, dengan Real Madrid yang mewakili bangsa Spanyol dan Barcelona yang mewakili bangsa Catalan.

Maka tak heran jika banyak unsur historis, gengsi, maupun politis yang menjadikan duel ini begitu berarti, tak hanya bagi para Barcelonista maupun Madridista, tetapi juga bagi kedua klub.

Meskipun Budiman tak sepakat dengan sebutan El Clasico bagi pertarungan Pilpres kali ini, euforia yang membuat suasana Pilpres cukup panas nyatanya tak berbeda jauh dengan panasnya El Clasico.

Bak El Clasico yang selalu mempertemukan Barca versus Real Madrid, kini pertarungan Pilpres juga mengulang apa yang terjadi di 2014 lalu.

Yang menjadi pembeda dalam pertarungan kali ini mungkin saja mengenai segmen isu yang dihadirkan yang terkesan cukup kontras dengan yang terjadi di 2014. Setidaknya hal tersebut yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya dalam acara ILC tersebut.

Memang fakta itu cukup terasa dalam Pilpres kali ini di mana narasi-narasi pertarungan yang dimainkan dalam wacana publik juga bergantung pada posisi masing-masing kubu.

Sebagai petahana, tentu lebih mudah untuk ditemukan kesalahan-kesalahannya oleh kubu oposisi. Beberapa di antaranya seperti penggunaan hukum sebagai alat untuk memukul lawan, hingga politisasi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang cukup kencang berhembus.

Hal ini yang membuat Jokowi dalam posisi tertuduh memanfaatkan sumber daya negara sebagai amunisi politik. Inilah yang disebut sebagai incumbency advantages atau keunggulan petahana.

Sedangkan, merebaknya isu hoaks dan kebohongan dalam tajuk firehose of falsehood juga menyebabkan kubu petahana meradang dengan cara berpolitik oposisi.

Dalam konteks ini, kubu petahana menuduh kubu oposisi telah mempabrikasi ketakutan dan hoaks sebagai serangan politik demi kemenangan.

Meskipun polarisasi yang kini dirasakan cukup kuat, ada satu narasi yang sepertinya awet menjadi senjata politik sejak 2014 lalu. Adalah isu tentang elite dan non-elite yang nampak masih bertahan sebagai narasi kampanye yang bertahan.

Jika dalam pertarungan El Clasico, Barcelona sering diasosiasikan sebagai reprsentasi dari gerakan separatisme rakyat Catalunya yang ingin membebaskan diri dari kerajaan Spanyol, maka Real Madrid disebut-sebut sebagai representasi dari kuasa kerajaan tersebut.

Potret itulah yang kira-kira menggambarkan perseteruan elite antara Jokowi versus Prabowo. Selama ini Jokowi selalu disebut-sebut sebagai sosok pemimpin yang lahir dari rahim wong cilik, sedangkan Prabowo diasosiasikan sebagai keturunan elite yang lahir di menara gading. Dengan kata lain, dalam konteks ini Jokowi adalah Barcelona dan Prabowo adalah Real Madrid – mungkin itu sebenarnya alasan Budiman tak setuju.

Tak heran jika perseteruan antara elite versus wong cilik ini selalu mewarnai tarung klasik antara keduanya. Persoalannya adalah, masihkah isu garis legitimasi politik itu relevan hingga sekarang meskipun pada 2014 lalu, narasi tersebut berhasil mengantarkan sang mantan Wali Kota Solo kini menjadi Presiden.

Lalu siapa yang akan memenangkan trofi berupa kursi presiden dalam El Clasico pada Pilpres kali ini?

Menang Mana?

Jika dalam sepak bola ada perusahaan analisis olah raga Opta Sport yang populer dengan akun Opta Joe yang  seringkali membuat prediksi hasil pertandingan-pertandingan sepak bola berbasis data, maka dalam politik pun juga ada para ahli nubuatnya.

Ada fakta menarik yang muncul dalam beberapa waktu belakangan ini, terutama dari media-media asing. Setidaknya hal itu bisa dilihat dari tiga media internasional besar, yaitu The Economist, Reuters dan The Straits Times yang memprediksi kemenangan Jokowi.

Dalam sebuah laporan yang berjudul Indonesia’s Jokowi Can Make a Final Term Count yang ditulis oleh Clara Ferreira-Marques, disebutkan bahwa infrastruktur akan menjadi keunggulan bagi petahana untuk memenangkan Pemilu kali ini.

Sedangkan dalam laporan The Economist Intelligence Unit yang berjudul Jokowi Expected to Win Another Term as Indonesia’s President, with Support of Coalition Partners, disebutkan bahwa Jokowi akan menang karena besarnya dukungan dari partai-partai pengusungnya.

Sementara The Straits Times juga melihat kemunculan tanda-tanda kemenangan yang dimiliki Jokowi pada pemungutan suara di 17 April mendatang.

Namun, hal yang sebaliknya justru datang dari dalam negeri sendiri. Adalah Burhanuddin Muhtadi selaku Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia yang dalam forum ILC membeberkan betapa sulitnya menebak siapakah kandidat yang akan memenangkan El Clasico Pilpres ini.

Dari hasil beberapa survei terakhir, perolehan elektabilitas kedua kandidat ini memang menunjukkan tren saling mengejar satu sama lain.

Sayangnya, ketidakpastian ini cukup besar salah satunya didukung oleh tingginya angka undecided voters dan swing voters. Dalam survei terbaru dari lembaganya, jumlah swings voters dan undecided voters masing-masing mencapai 16,9 persen dan 7,2 persen.

Bahkan Burhan menyebut keadaan tersebut akan menyebabkan tera incognita atau kondisi yang belum terpetakan atau terdokumentasikan.

Hal ini bisa menjadi hal yang menarik mengingat hasil akhir kontestasi Pilpres bisa saja berseberangan dengan hasil-hasil survei sebelumnya.

Pada El Clasico La Liga di bulan Oktober 2018 lalu, hattrick Luis Suarez berhasil menjadi penentu hasil yang ditutup dengan skor akhir 5-1. Lalu, siapakah kini yang akan menjadi penentu bagi kemenangan kandidat dalam Pilpres 2019 ini?

Lagi-lagi jawabannya masih misteri. Justru menurut Burhan, kini terjadi apa yang disebut sebagai bias partisipasi, yakni kemungkinan beralihnya dukungan politik di detik-detik terakhir. Bias partisipasi ini adalah salah satu alasan di balik tutupnya The Literary Digest – majalah yang membuat survei elektabilitas – akibat salah memprediksi hasil Pilpres Amerika Serikat pada tahun 1936.

Ini juga menjadi persoalan serius, di mana maksimalisasi suara pemilih ini akan sangat tergantung pada tarung kuat antara pendukung Prabowo maupun Jokowi.

Dalam konteks ini, Burhan melihat bahwa partai-partai politik pendukung kubu Prabowo lebih terlihat solid dalam melakukan mobilisasi suara dibandingkan dengan partai pendukung kubu Jokowi sebagai petahana.

Juga adanya kelompok  free rider yang menurut Burhan menentukan hasil akhir Pilpres dan bisa saja  menyumbang kekalahan bagi Jokowi.

Jika melihat perbedaan pandangan antara lembaga survei – dalam hal ini Burhan – dengan pemberitaan dari luar negeri tersebut, nampaknya prediksi kemenangan Jokowi versus Prabowo dalam El Clasico akan sulit tertebak dan menghasilkan kejutan-kejutan yang tak terduga. Menarik untuk ditunggu. (M39)

Exit mobile version