Kasus suap yang menyeret Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan terkait penetapan anggota DPR periode 2019-2024, sekejap meruntuhkan kepercayaan publik yang selama ini dibangun dengan susah payah. Pertanyaannya, mengapa kasus tersebut bisa terjadi?
PinterPolitik.com
“Sulit dipercaya”. Barangkali itulah kalimat yang saat ini terlintas di benak publik. Bagaimana tidak, sebuah lembaga demokrasi yang sejauh ini dipercaya rakyat dapat mengeksekusi proses demokrasi yang berkeadilan ternyata dirusak oleh aktor-aktor yang selama ini dianggap berintegritas.
Kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi sekejap hancur berkeping-keping. Harus diakui, political trust masyarakat Indonesia baru mulai tumbuh lagi setelah jatuhnya rezim Orde Baru. Sayangnya hal itu tidak berlangsung lama, disebabkan maraknya praktik korupsi yang melibatkan sejumlah elite partai maupun politisi sepanjang dua dekade terakhir.
Kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi kian menyusut setelah terkuak kasus suap yang melibatkan komisioner KPU, Wahyu Setiawan dengan sejumlah elite partai. Banyak yang menyayangkan kejadian ini, meski tak sedikit juga yang turut mengutuk perbuatan tersebut.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Alwan Ola Riantoby, misalnya, menilai operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Wahyu Setiawan dalam sekejap meruntuhkan marwah institusi KPU. Pada saat yang sama, peristiwa ini berdampak pada hilangnya kepercayaan publik terhadap demokrasi dan KPU secara kelembagaan.
Bertolak dari kasus Wahyu Setiawan, muncul pertanyaan menarik, mengapa kasus suap sering kali terjadi, padahal sejumlah upaya pengawasan telah diperkuat sedemikian rupa?
Wahyu Tak Kuasa Tolak Godaan Suap?
Hal yang membuat kasus Wahyu ini menarik untuk ditelaah tak lain lantaran pengakuannya yang mengejutkan. Wahyu mengaku melakukan perbuatan non-etis tersebut lantaran tak kuasa menolak rayuan kawan. Bisa dibayangkan, betapa menggelikan mendengar pernyataan tersebut.
Ia menuturkan bahwa apa yang dilakukannya itu benar-benar perbuatan melabrak hukum. Pasalnya, ia mengakui kalau praktik suap tersebut dilakukan dalam keadaan sadar. Namun, dikatakannya hal itu terjadi di luar kuasa, lantaran kuatnya hubungan pertemanan dengan tiga pelaku lain yang sama-sama terlibat dalam kasus itu.
Seperti diketahui, kasus suap yang menyeret Wahyu bersama tiga orang utusan PDIP lainnya, yakni pengacara Donny Tri Istiqomah, eks anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina, dan Saefullah, berakar dari polemik seputar penetapan penggantian antar waktu (PAW) anggota DPR.
Kasusnya bermula ketika Caleg PDIP Harun Masiku berusaha menggeser rekan caleg dari Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Selatan I, Riezky Aprilia yang belakangan ditetapkan KPU menggantikan (PAW) Nazarudin Kiemas.
Jatah kursi tersebut milik Nazaruddin berdasarkan raihan suara pada Pileg 2019. Namun, yang bersangkutan meninggal dunia, sehingga harus dilakukan PAW. KPU berlandaskan pada ketentuan Pasal 426 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Pasal 242 Ayat (1) Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, memutuskan yang berhak mengisi posisi tersebut adalah peraih suara terbanyak ke-2 dari partai yang sama.
Hasilnya, KPU menetapkan Riezky Aprilia – peraih suara terbanyak kedua – sebagai yang berhak menduduki posisi tersebut. Melihat ada celah untuk menggeser Riezky, Harun kemudian melakukan manuver lewat petinggi PDIP. Alhasil, usahanya bisa dibilang sukses karena berhasil memengaruhi keputusan partai. Namun, perjuangannya belum berakhir di situ, alias masih ada pintu lain yang harus dilewati, yakni KPU.
Merasa kesulitan mengubah pendiran KPU, Harun akhirnya melobi salah satu Komisioner KPU, dalam hal ini Wahyu, melalui tiga orang yang telah disebutkan untuk memuluskan langkahnya menjegal Riezky. Akan tetapi, seperti kata pepatah “no free lunch” alias tak ada makan siang gratis, Harun harus merogoh kocek untuk menjamin kelancaran transaksi.
Dalam transaksi tersebut, Wahyu disebut memasang tarif Rp 900 juta untuk upaya mengubah keputusan KPU yang sudah final. Sayangnya, sebelum aksi jahat tersebut berhasil dijalankan, KPK terlebih dahulu melakukan OTT terhadap Wahyu bersama seluruh barang buktinya.
Lantas, bagaimana kasus suap yang menjerat Wahyu ini dimaknai?
Muhammad Mustofa dalam Suap Menyuap dan Mafia Peradilan di Indonesia, Telaah Kriminologis mengatakan, peristiwa penyuapan terjadi bila terdapat hubungan kepentingan antara pemberi suap dengan penerima suap.
Jika dikontekstualisasikan dalam kasus Wahyu, maka jelas ada kepentingan yang menghubungkan antara Wahyu dan Harun bersama tiga pelaku lainnya. Kepentingan Harun sudah jelas ingin menggeser posisi Riezky, sedangkan Wahyu dalam posisi ini menjual jabatannya demi meraup keuntungan.
Hubungan Wahyu dan Harun dengan demikian dapat dimaknai sebagai hubungan kepentingan. Lalu, bagaimana dengan Donny, Agustiani, dan Saefullah? Dalam kasus ini bisa dibilang ketiganya hadir sebagai katalisator untuk memperlancar transaksi.
Namun, dari kasus tersebut ada fakta lain yang menarik untuk dikupas, yakni kesaksian Wahyu. Jika melihat kronologi kasusnya, pernyataan Wahyu dalam sidang etik seakan tidak selaras dengan fakta. Pasalnya, ia menyebut aksinya itu semata-mata karena faktor timbang rasa sesama kawan. Pertanyaannya, apakah faktor pertemanan harus membuat Wahyu terjebak dalam praktik suap?
Kritik Atas Neoinstitusionalisme
Asumsi bahwa kondisi anomali – suap, korupsi, kolusi, nepotisme – yang bersarang dalam institusi, dalam hal ini KPU, dapat diatasi melalui penataan kelembagaan serta penguatan pengawasan (neoinstitusionalisme) hanyalah mitos yang sampai sekarang masih dipercaya banyak orang, termasuk sebagian besar publik di tanah air.
Padahal, kalau boleh jujur, kasus serupa bukan hanya sering, tapi hampir selalu terjadi dalam setiap perhelatan demokrasi di Indonesia. Vedi Hadiz dalam Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective, mencoba mengupas gagasan neoinstitusionalisme dengan menyebut aliran ini gagal memahami penyakit-penyakit kronis yang melekat dalam sebuah institusi.
Setidaknya, kegagalan neoinstitusionalisme terletak pada pengabaiannya atas faktor relasi kuasa yang beroperasi dalam sebuah tata kelembagaan. Ambil contoh kasus suap yang menimpa Wahyu. Bagi kalangan yang membela neoinstitusionalisme akan menyebut kasus itu sebagai murni penyimpangan aktor dalam sebuah sistem kelembagaan.
Lebih jelasnya, dalam kasus itu, Wahyu sebagai seorang Komisioner KPU dinilai gagal atau tidak mengikuti rule of law yang ada. Dengan begitu, kelemahannya bukan pada KPU secara kelembagaan, melainkan pada Wahyu sebagai bagian dari elemen sistem yang bertindak anomali.
Singkatnya, bagi kaum institusionalis, terjadinya korupsi atau suap disebabkan para aktor bertindak di luar kerangka hukum, alias tidak taat regulasi. Tapi, yang jadi pertanyaan, mengapa para aktor tersebut menyimpang dari aturan? Bagaimana menjelaskannya?
Jika hal yang sama ditarik dalam kasus Wahyu, mengapa ia tidak tunduk pada regulasi yang ada?
Keyakinan yang berlebihan bahwa aktor akan bertindak rasional dan kompromi terhadap aturan merupakan kelemahan paling mendasar yang selama ini sukar diakui oleh para penganut neoinstitusionalis.
Mereka percaya bahwa secara kelembagaan, KPU akan bisa terhindar dari praktik suap, kolusi, korupsi dan nepotisme, apabila para komisionernya bertindak rasional, bebas kepentingan dan profesional. Tapi siapa yang mampu menjamin itu?
Apabila menyimak pernyataan Wahyu yang menyebut dirinya terjebak dalam situasi sulit karena harus menerobos hukum demi melayani permintaan kawan, dengan sendirinya meruntuhkan seluruh klaim neoinstitusionalis.
Menurut Hadiz, apa yang tidak mampu dijawab oleh pemuja neoinstitusionalis dapat diatasi oleh perspektif oligarki.
Dalam kasus suap Wahyu misalnya, hal itu harus dilihat sebagai bagian dari dinamika kekuasaan (relasi kuasa) di tubuh institusi. Kasus suap antara Wahyu dan Harun yang melibatkan Donny, Agustiani, dan Saefullah tidak akan terjadi jika tidak ada persinggungan kepentingan.
Pasalnya, para aktor yang disebutkan itu tak selamanya bertindak rasional dan patuh terhadap hukum yang berlaku. Mereka senantiasa berada dalam tegangan kepentingan. Hal itu membuat perilaku para aktor sulit diprediksi – kapan mereka akan mematuhi hukum atau sebaliknya tergoda dengan bujuk rayu.
Memahami benturan kepentingan atau relasi kuasa dalam diskursus kelembagaan jauh lebih penting ketimbang menyederhanakannya ke dalam urusan ketidakpatuhan ataupun irasionalitas tindakan semata. Aktor-aktor yang kini mengemban tugas di KPU ataupun lembaga lainnya tidak selamanya bebas dari intrik, modus, maneuver, dan konflik kepentingan.
Dengan demikian, kasus suap yang menjerat Wahyu bersama sejumlah tersangka lainnya juga harus dibaca dalam konteks itu. Apakah ini berarti penyakit yang kerap melanda birokrasi – korupsi, kolusi, nepotisme – tidak bisa dihilangkan?
Jawabanya, sudah pasti sulit dihilangkan. Sebaik apapun penataan sebuah lembaga, menihilkan relasi kuasa di dalamnya adalah sebuah kesia-siaan. Kecuali jika para manusianya digantikan dengan robot.
Jalan keluar untuk masalah tersebut terletak pada masyarakat sendiri. Hanya masyarakat yang punya kesadaran sosial politik kuat yang mampu mencegah anomali tersebut. (H57)
https://www.youtube.com/watch?v=MhE8G70Be3w