Pernyataan Rizal Ramli yang menyebut adanya 12 lembaga survei yang berperan dalam pencalonan Jokowi pada Pilpres 2014 lalu menjadi hal yang menarik. Ia menyebut lembaga-lembaga itu berperan mempersuasi Megawati Soekarnoputri yang masih meragu, agar mencalonkan Jokowi. Nyatanya, keberadaan lembaga survei jelang Pilpres di tahun ini juga tengah menjadi perdebatan, terutama terkait persilangan antara metodologi ilmiah dengan alat jualan musim politik.
PinterPolitik.com
“When a poll is really, really out of whack with what I want to happen, I do have a tendency to disregard it”.
:: Rush Limbaugh, host talk show radio ::
[dropcap]L[/dropcap]embaga survei alias pollster sering kali dianggap sebagai peramal. Menggunakan metodologi sampling – yang dipelajari dalam statistika – mereka memprediksi hasil akhir sebuah kontestasi politik.
Survei elektabilitas atau tingkat keterpilihan kandidat memang telah menjadi hal yang populer dilakukan di negara-negara demokrasi – sekalipun konteks tersebut hanya bagian kecil dari survei opini publik yang umumnya dilakukan.
Para pollster itu menggunakan metodologi yang dimiliki untuk memprediksi hasil akhir Pemilu dan memprediksi kandidat mana yang akan memenangkan kontestasi tersebut.
Mereka memang bukan Pythia – sekelompok orang yang dianggap punya kebijaksanaan dan mampu meramal masa depan – dalam kisah Delphic Oracle di era Yunani Kuno. Mereka juga bukan Gamamaru – kodok besar yang mengenakan toga dalam serial manga Naruto Shippuden – yang mampu melihat masa depan.
Namun, dengan hitung-hitungan yang tepat, lembaga-lembaga survei itu bisa melihat siapa yang akan menjadi penguasa negeri, bahkan bisa mempengaruhi hasil akhir kontestasi elektoral. Setidaknya hal itulah yang ingin disampaikan oleh mantan Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman, Rizal Ramli.
Dalam salah satu pernyataannya yang ditulis oleh portal RMOL, pria yang identik dengan jurus Rajawali Ngepret itu menyebutkan bahwa setidaknya ada 12 lembaga survei yang mempengaruhi Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri agar menyetujui pencalonan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Pilpres 2014.
Pilpres 2014, 12 lembaga survey disewa oleh backers Jkw. Kesimpulannya: Jika PDIP calonkan JKW, PDIP naik dari 16% ke 33-35%. Tapi klo PDIP calonkan Mega, PDIP bakal anjlok ke 12%. RR mempekirakan “JKW Effect” hanya 2%. Jkw terpilih jadi Pres 2014, PDIP hanya naik ke 18,4% ??
— Dr. Rizal Ramli (@RamliRizal) March 22, 2019
Tanpa merinci lembaga-lembaga survei mana yang ia maksudkan, Rizal Ramli menyebutkan bahwa Megawati sebetulnya masih meragu terkait pencalonan Jokowi tersebut.
Namun, lembaga-lembaga itu merekomendasikan bahwa jika tak mencalonkan Jokowi, suara PDIP akan anjlok ke 12 persen dari posisi elektabilitas yang kala itu menyentuh 16 persen. Sementara jika mencalonkan Jokowi, suara PDIP bisa melonjak hingga 33 persen bahkan bisa mencapai 35 persen.
Menurutnya hal itulah yang masih terjadi hingga kini, di mana lembaga survei masih berperan dalam menentukan arah politik nasional – hal yang dinilai Rizal Ramli cenderung negatif terhadap konteks demokrasi di Indonesia. Tentu pertanyaanya adalah, jika tuduhan Rizal Ramli tersebut benar, masihkah lembaga-lembaga survei itu membantu kandidat tertentu untuk menang pada Pilpres kali ini?
Lembaga Survei Bukan Dukun
Survei elektabilitas kandidat memang menjadi momok pemberitaan dan pergunjingan publik dalam beberapa waktu terakhir jelang Pilpres 2019.
Dirilisnya survei elektabilitas oleh Litbang Kompas beberapa hari lalu misalnya, dianggap membawa angin segar – setidaknya dari kacamata kubu oposisi pemerintah dan dalam konteks tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga yang menyelenggarakan jajak pendapat.
Pasalnya dari sekian banyak survei yang sudah dirilis, Litbang Kompas mungkin menjadi satu di antara sedikit lembaga survei yang menempatkan elektabilitas pasangan Jokowi dan Ma’ruf Amin di bawah 50 persen.
Pasangan petahana ini meraih 49,2 persen suara, berbanding 37,4 persen milik Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Selain itu, jarak suara di antara keduanya tinggal 11,8 persen atau lebih rendah dari persentase pemilih yang masih merahasiakan pilihan politiknya yang jumlahnya mencapai 13,4 persen.
Kubu Prabowo-Sandi menyebutkan bahwa konteks survei Litbang Kompas ini menunjukkan bahwa lembaga-lembaga survei secara umum tak mampu lagi menutupi animo masyarakat untuk mendukung pasangan penantang tersebut.
Hal ini beralasan, mengingat mayoritas lembaga survei yang melakukan survei elektabilitas kandidat beberapa waktu terakhir, hampir semua menempatkan Jokowi-Ma’ruf unggul dengan persentase di atas 50 persen dibandingkan lawannya.
Pernyataan oposisi itu mendapatkan pembenaran lebih mengingat Litbang Kompas yang merupakan bagian dari raksasa grup media Kompas Gramedia, punya track record dan reputasi yang cukup mentereng dalam survei opini publik. Sehingga, hasil survei tersebut bisa dianggap sebagai pukulan untuk kubu Jokowi-Ma’ruf, sekaligus angin segar untuk Prabowo-Sandi.
Secara keseluruhan, konteks persoalan survei politik tersebut juga semakin sering disorot karena lembaga-lembaga yang mengeluarkan survei elektabilitas kandidat dituduh terlibat dalam upaya pembentukan opini publik serta mengarahkan masyarakat untuk memilih kandidat tertentu.
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA misalnya, menjadi salah satu lembaga yang dikritik oleh kubu pendukung Prabowo-Sandi. Pasalnya, lembaga yang cukup sering melakukan survei pilihan politik publik itu dianggap terlalu mengunggulkan pasangan petahana Jokowi dan Ma’ruf Amin.
Pada awal Maret 2019 lalu misalnya, survei LSI Denny JA menyebut jarak elektabilitas antara Jokowi dan Prabowo telah terpaut lebih dari 20 persen. Jokowi-Ma’ruf unggul dengan 58,7 persen, sementara Prabowo-Sandi memperoleh angka 30,9 persen. Bahkan jarak keduanya sudah hampir menyentuh angka 30 persen.
Konteks itulah yang membuat kubu Prabowo-Sandi mengkritisi lembaga survei tersebut. Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah bahkan menyebut survei LSI Denny JA “nggak mutu”.
Sementara Prabowo – sekalipun tidak menunjuk langsung – juga menyebutkan bahwa belakangan ini makin banyak lembaga survei yang berbohong dan bekerja sesuai pesanan. Denny JA sendiri membantah tuduhan-tuduhan tersebut.
Ilmiah atau Politis?
Irisan antara lembaga survei dengan fungsinya sebagai jasa konsultan politik memang seringkali menjadi persoalan serius. Pasalnya, hal inilah yang membuat konteks tujuan pemenangan kandidat mempengaruhi arah presentasi hasil survei dan penekanan yang ingin dicapai dari publikasinya. Apalagi, posisi sebagai jasa konsultan menjadi salah satu sumber pemasukan lembaga survei.
Umumnya, lembaga survei yang berperan sekaligus sebagai konsultan politik mengejar dua efek, yaitu bandwagon effect dan underdog effect untuk pembentukan opini publik terhadap kandidat tertentu. Bandwagon effect diartikan sebagai efek ikut-ikutan yang menunjukkan kecenderungan pemilih untuk ikut memilih tokoh yang tertinggi dalam hasil survei.
Sementara sebaliknya, underdog effect adalah efek kecenderungan pemilih mendukung tokoh yang dianggap underdog atau tidak diperhintungkan. Umumnya, dua efek politik ini mengarah pada kelompok pemilih yang belum menentukan pilihan politiknya.
Dengan demikian, memang bisa dipastikan akan ada pertaruhan dari lembaga-lembaga survei yang melayani kandidat tertentu ketika merilis hasil survei. Hal ini salah satunya disebutkan oleh konsultan politik dari Lincoln Strategy Group, Dan Centinello dalam sebuah kolom di US News.
Centinello menyebutkan bahwa ada dilema yang sangat besar terjadi pada lembaga-lembaga survei ketika harus mempublikasikan hasil survei tanpa mengabaikan kepentingan klien yang mereka bantu. Di satu sisi ada pertanggungjawaban akademis atas metodologi yang digunakan, namun di sisi lain ada benturan ketika hasil survei cenderung kontraproduktif dengan misi memenangkan klien yang telah membayar mereka.
Sementara, sejarawan dan kritikus Amerika Serikat (AS), Arthur Schlesinger Jr. pernah menyebut bahwa keberadaan lembaga survei justru melahirkan profesi baru yang disebutnya sebagai electronic manipulators. Istilah ini mengacu pada upaya untuk “memanipulasi” opini publik dengan instrumen-instrumen yang dimiliki – dalam hal ini hasil survei.
Benturan posisi lembaga-lembaga survei ini memang menjadi fenomena yang cukup kekinian dalam politik Indonesia, setidaknya sejak Pilpres 2014. Apa yang dikatakan oleh Rizal Ramli terkait 12 lembaga survei adalah contohnya. Bahkan dalam pengambilan kebijakan di tingkat partai, lembaga-lembaga survei pun bisa menyingkirkan peran para elite untuk kebijakan tertentu.
Hal ini salah satunya ditulis oleh Sidney Blumenthal dalam bukunya The Permanent Campaign. Ia menyebutkan bahwa para konsultan politik seringkali punya posisi yang sangat kuat dalam pengambilan kebijakan partai-partai politik, bahkan menggantikan elite-elite lama yang seharusnya berkuasa menentukan kebijakan politik organisasi.
Selain itu, publik juga ingat bahwa pada Pilpres 2014, lembaga-lembaga survei yang melakukan quick count atau hitung cepat justru mengeluarkan hasil yang berbeda-beda dan sempat memicu gejolak di masyarakat. Artinya, memang lembaga-lembaga ini berperan besar dalam pembentukan wacana dan perspektif yang terjadi di masyarakat lewat produk-produknya.
Mereka bisa mendorong elektabilitas tokoh tertentu yang tidak punya rekam jejak bagus untuk menjadi pemimpin dengan sekedar memasukkannya dalam publikasi hasil survei. Sekalipun elektabilitasnya mungkin tak begitu besar, namun keberadaan nama dan pemberitaan sudah lebih dari cukup untuk mendorong popularitas seseorang.
Pada akhirnya, peran lembaga-lembaga survei masih akan sangat menentukan hasil akhir Pilpres 2019 nanti. Namun, dengan konteks masyarakat yang terpolarisasi seperti sekarang ini, pertaruhan politik yang terjadi tetap sangat besar.
Apalagi, di era post truth seperti sekarang ini – di mana kebenaran sering kali didasarkan pada preferensi – publik tentu tak akan begitu saja menerima hasil-hasil survei. Sebab, seperti kata Rush Libaugh di awal tulisan, sering kali orang hanya mempercayai hasil survei yang sesuai dengan pilihan politiknya.
Sementara pada saat yang sama, 12 lembaga survei yang disebut oleh Rizal Ramli masih akan tetap jadi misteri. Mungkin hanya Gamamaru yang tahu. Kuchiyose no jutsu! (S13)