Harga minyak dunia akhirnya menembus US$ 70 per barel. Peningkatan tersebut merupakan level tertinggi dalam tiga tahun terakhir. Angka ini melampau asumsi harga minyak di APBN 2018 yang hanya menyentuh angka US$ 48 per barel. Akankah Indonesia bangkrut?
PinterPolitik.com
[dropcap]M[/dropcap]eningkatnya harga minyak dunia berdampak terhadap banyak negara importir minyak, termasuk Indonesia. Hal ini tentu saja mempengaruhi harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang merupakan entitas penting dalam menentukan harga kebutuhan barang pokok di Indonesia. Masyarakat akan terkena dampak langsung apabila harga minyak dunia terus meningkat, terlebih bila menyentuh angka US$ 100 per barel.
Meningkatnya harga minyak dunia diakibatkan oleh beberapa faktor. Pertama, akibat pemangkasan produksi minyak dari OPEC. Kedua, kebijakan Rusia yang memperketat pasokan minyaknya. Ketiga, penurunan jumlah persediaan minyak mentah mingguan Amerika Serikat yang telah terjadi selama sepuluh minggu.
Akibatnya, peningkatan harga sudah mulai terlihat sejak bulan Oktober 2017. Ketika itu harga minyak dunia menyentuh angka US$ 55 per barel. Adapun pemangkasan produksi minyak oleh OPEC merupakan reaksi yang dilakukan untuk memberikan titik temu pada supply dan demand minyak.
Pertemuan di Wina, Austria di tahun 2016 yang dilakukan oleh negara anggota OPEC dan 11 negara non OPEC menjadi momentum dalam menyepakati pengurangan produksi minyak mentah.
Adapun persediaan minyak mentah Amerika Serikat juga berkontribusi dalam meningkatkan harga minyak dunia. Energy Information Administration (EIA) Amerika Serikat, menyatakan bahwa persediaan minyak mentah turun sebesar 1.100.000 barel. Penurunan tersebut meleset dari perkiraan, sehingga berdampak besar pada harga minyak dunia.
Peningkatan harga minyak dunia tentunya akan sangat berdampak pada Indonesia yang memiliki pasar besar dalam penggunaan minyak. Tentu pertanyaannya adalah, bagaimana cara pemerintah menyiasati agar APBN tidak terbebani? Lalu, bagaimana dampaknya secara politik terhadap Jokowi di tahun politik ini?
Produksi dan Kebutuhan Minyak Indonesia
Indonesia mengalami ketimpangan pada jumlah produksi dan konsumsi minyak, khususnya BBM. Jumlah produksi minyak Indonesia hanya berkisar setengah dari jumlah konsumsi per harinya. Ketimpangan tersebut bersumber dari buruknya kebijakan akan minyak bumi dan mafia Migas yang tumbuh subur di Indonesia. Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi negara importir minyak bumi dengan peningkatan jumlah barel setiap tahunnya.
Berdasarkan BP Statistical Review of World Energy 2017, lebih dari dua dekade terakhir Indonesia tidak bisa memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri. Pada 2016, Indonesia hanya mampu memproduksi sekitar 881.000 barel per hari dari total kebutuhan 1.615.000 barel per hari. Hal ini menjelaskan bahwa kebutuhan akan minyak bumi sangat besar dan Indonesia belum mampu untuk memenuhinya.
Sebanyak 694.800 barel produksi minyak bumi nasional berasal dari 10 perusahaan Migas, yaitu Chevron Pacific Indonesia, Mobil Cepu Ltd, PT Pertamina EP, Total E&P Indonesia, Pertamina Hulu Energy ONWJ Ltd, CNOOC SES Ltd, Medco Natuna, Chevron Indonesia Company, PC Ketapang II Ltd dan VICO. Total ada 85 perusahaan Migas di Indonesia, namun sisanya hanya mampu untuk memproduksi sisa dari jumlah produksi nasional.
Pada akhirnya, impor merupakan langkah yang diambil oleh pemerintah Indonesia dalam memenuhi kebutuhan domestik. Di sisi lain, impor dinilai sangat riskan, walaupun sampai sekarang tetap menjadi pilihan utama pemerintah. Disebut riskan karena harga minyak dunia cukup fluktuatif yang terkadang bisa membebani APBN. Hal ini bisa dilihat ketika pada tahun 2008, harga minyak dunia mencapai US$ 147 per barel dan pemerintah harus melakukan subsidi sebesar Rp 134 triliun.
Apabila impor diberlakukan dengan harga minyak sebesar US$ 70, maka jumlah anggaran pada APBN akan meningkat tajam. Indonesia memerlukan sisa kebutuhan konsumsi nasional sebesar 734.000 barel per hari dan jika dikalikan dengan harga minyak US$ 70 per barel, maka setiap harinya pemerintah harus mengeluarkan sekitar US$ 51,3 juta atau sekitar Rp 688,4 miliar.
Artinya, selama setahun pemerintah membutuhkan sekitar Rp 251,3 triliun hanya untuk menutupi defisit akibat kenaikan harga minyak. Jumlah ini dua kali lipat lebih besar jika dibandingkan dengan subsidi BBM di tahun 2008 lalu. Maka, jika dana yang diambil bersumber dari APBN, beban yang ditanggung akan mencapai 11,3% dari total APBN 2018 yang mencapai Rp 2.220 triliun. Hitung-hitungan kasar ini saja sudah akan sangat membebankan pengeluaran negara.
Indonesia memang bisa bertahan di tahun 2008 ketika harga minyak dunia berkisar US$ 147 per barel. Tapi, apakah bisa bertahan saat ini?
Harga Minyak Meningkat, Mafia Datang
Belakangan memang ada rencana pemerintah untuk melakukan revisi terhadap APBN 2018 dalam rangka menjaga stabilitas ekonomi. Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI), Dody Budi Waluyo, meyakini bahwa harga minyak dunia yang tinggi akan membuat Amerika Serikat melakukan diskon pada gas buminya. Diskon tersebut diharapkan akan menekan harga minyak dunia turun kembali ke level US$ 50 per barel.
Di sisi lain, anggaran subsidi BBM pemerintah diperkirakan meningkat sekitar Rp 30 triliun lantaran dampak tren kenaikan harga minyak dunia. Ekonom Senior Standard Chartered Bank Indonesia, Aldian Taloputra menyatakan prediksi tersebut dan menilai hal itu membuat pemerintah harus kembali melihat kemampuan APBN 2018. Kenaikan harga minyak dunia juga memungkinkan munculnya mafia Migas.
Mafia Migas memang sempat ramai diperbincangkan di tahun 2015, terkait kasus Pertamina Energy Trading Ltd (Petral). Petral yang merupakan anak usaha Pertamina yang ditengarai sebagai sarang mafia Migas, memang telah dibubarkan pada Mei 2015 lalu. Kewenangan impor BBM yang dulu dipegang Petral telah dialihkan ke Integrated Supply Chain (ISC). Tata kelola ISC dalam pengadaan impor Migas yang lebih terbuka memang menyulitkan hadirnya mafia Migas.
Namun, bukan tidak mungkin dengan momentum kenaikan harga minyak dunia, mafia Migas akan kembali bergentayangan. Di sisi lain, dengan tingginya harga minyak dunia dan kebutuhan impor minyak yang tinggi akan memberikan daya tarik terhadap pemburu rente dalam mencoba meraih peruntungan. Posisi mafia Migas akan tetap menarik dan berbahaya apabila pemerintah sudah ‘disusupi’ oleh komplotan tersebut.
Sebelumnya, terdapat kasus perusahaan trader Glencore Plc di tahun 2016 yang melakukan kesalahan pengiriman minyak mentah ke Pertamina. Hal itu membuktikan bahwa mafia Migas masih tumbuh di Indonesia. Artinya, tanpa pengawasan yang ketat, persoalan mafia Migas ini masih akan menjadi pekerjaan rumah yang sulit diselesaikan dan menambah beban negara yang secara anggaran sudah sangat sulit.
Jokowi akan Terdepak karena Minyak?
Permasalahan mengenai minyak di Indonesia selalu menjadi trending topic dikarenakan pentingnya entitas tersebut dalam berbagai sektor kehidupan. Apabila harga minyak atau BBM meningkat, maka harga-harga kebutuhan pokok juga akan meningkat. Dampaknya akan langsung dirasakan masyarakat sebagai entitas demand dalam kebutuhan barang pokok.
Kebijakan mengenai minyak di Indonesia memang dihadapkan ke berbagai jalan buntu atau kurang efisien dan efektif dalam prosesnya. Penting dalam menerapkan elemen-elemen teknokratik pada public policy untuk membentuk kebijakan sakti dalam mengatasi permasalahan minyak. Salah satu kebijakan yang menjadi perdebatan adalah pembentukan skema gross split, yaitu skema kontrak dengan pembagian hasil berdasarkan produksi.
Bila dianalisis melalui public policy, maka permasalahannya ada pada problem definition dan policy evaluation. Pemerintah dinilai gagal atau belum mampu memperlihatkan bahwa gross split merupakan skema terbaik dalam menarik minat investor baru di bidang Migas atau mempertahankan investor lama dengan kontrak yang baru.
Skema gross split akan membuat pemerintah sulit memaksa investor agar proses persetujuan kegiatan usaha, hak kelola operasi, dan kepemilikan serta pemanfaatan fasilitas operasi tetap berada di tangan SKK Migas.
Pada akhirnya, apabila kenaikan harga minyak dunia berdampak signifikan pada harga kebutuhan pokok, maka akan terjadi turn back point pada pemerintahan Jokowi. Tingginya harga BBM akan menjadi patokan masyarakat dalam keberhasilan suatu pemerintahan.
Di sisi lain Pilpres yang sudah semakin dekat menjadi ancaman tersendiri bagi Jokowi untuk menciptakan stabilitas ekonomi Indonesia. Jika harga-harga kebutuhan pokok terdampak kenaikan harga minyak, maka bisa dipastikan elektabilitas Jokowi juga akan tergerus. Tanpa kebijakan yang tepat, bahkan sulit membayangkan Jokowi bisa bertahan jika harga minyak pada akhirnya mencapai US$ 100 per barel.
Masyarakat menjadi penentu perjuangan Jokowi untuk kembali menduduki istana selama dua periode ke depan. Maka dari itu, penting bagi jajaran kabinet untuk melihat fenomena kenaikan harga minyak dunia ini.
Bagi oposisi, ini adalah celah yang akan strategis jika dimanfaatkan untuk mengkritik Jokowi. Persoalannya adalah bagaimana isu ini dikemas secara politik. Jadi, sanggupkah Prabowo Subianto memanfaatkan momentum? (LD14)