Site icon PinterPolitik.com

Minahasa Merdeka, Ujian Bagi NKRI

Deklarasi Gerakan Minahasa Merdeka yang dilakukan ini menuntut tiga poin penting, yaitu merdeka dari diskriminasi politik, merdeka dari ketidakadilan ekonomi dan merdeka dari ketidakbebasan menjalankan ibadah.


PinterPolitik.com

[dropcap size=big]N[/dropcap]KRI kembali mendapatkan ujian, kali ini kalimat “Minahasa Merdeka” mencuat ke permukaan. Kalimat tersebut mendadak muncul ditengah aksi sejuta lilin untuk membela Ahok di Manado, Sulawesi Utara, Rabu (10/5). Pada aksi yang seharusnya sebagai bentuk dukungan untuk Ahok itu, banyak orang yang hadir justru menyuarakan gerakan Minahasa Merdeka.

Aksi seruan untuk deklarasi kemerdekaan Minahasa juga muncul dari ranah dunia maya. Ada salah satu laman facebook yang menyuarakan kemerdekaan Minahasa, laman tersebut adalah “Ancient of Minahasa” dan kini pengikutnya sudah mencapai 17 ribuan orang. Setiap unggahan di Kaman tersebut menuntut pemerintah Indonesia untuk menggelar referendum agar warga Minahasa bisa menentukan nasib bangsanya sendiri.

Tidak hanya kata-kata yang diunggah dalam laman komunitas facebook tersebut,  disana juga mengunggah bendera yang diyakini sebagai bendera Minahasa Raya. Isu ini disebarkan sekelompok orang dengan cara mengedarkan foto sejumlah orang yang berani mengibarkan bendera Minahasa Raya.

Anggota Komisi IV DPR, Mahfudz Siddiq meminta pemerintah bertindak tegas munculnya gerakan separatis seperti Minahasa Merdeka. Mahfudz menilai, gerakan Minahasa Merdeka hanyalah gerakan yang mendompleng isu kasus Gubernur nonaktif DKI Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

Kenapa Minahasa Ingin Merdeka?

Kekecewaan mereka menurut Mahfudz berawal dari reaksi terhadap tiga warga Minahasa yang juga beragama Nasrani divonis bersalah oleh pengadilan karena terbukti melalukan pembunuhan di Kalimantan Tengah. Mantan Ketua Komisi I DPR ini mengungkapkan, tokoh gerakan Minahasa Merdeka itu adalah Dolfie Maringka. Ia pernah gagal menjadi calon gubernur di Sulawesi Utara.

Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Sven Kosel dan dimuat dalam buku”Christianity in Indonesia Perspectives of Power“, ia menulis bahwa Dolfie Maringka pada 25 September 2006 mendeklarasikan pendirian Gerakan Minahasa Merdeka di Minahasa Law Center, Jalan Sam Ratulangi, Kota Manado, Sulawesi Utara.

“Kami sudah tidak percaya lagi dengan NKRI. Tujuan akhir dari berdirinya gerakan ini adalah kemerdekaan total bagi rakyat Minahasa. Saya siap dipenjarakan dengan perjuangan ini,” tandas Maringka bersama Revly Pesak di Minahasa Law Center.

Deklarasi Gerakan tersebut dilakukan sekitar dua bulan jelang kehadiran Presiden AS George W. Bush atau tepatnya pada November 2006. Kemudian ia juga memimpin kampanye mendukung Bush saat berkunjung ke Minahasa dengan membuat poster seperti “Welcome Mr Bush” , “God Be With You” dan “I love you Bush, Welcome to Manado, Jerrusalem in Indonesia” lalu dibentangkan saat kedatangan George W Bush.

Deklarasi Gerakan Minahasa Merdeka yang dilakukan Dolfie Maringka ini menuntut tiga poin penting, yaitu merdeka dari diskriminasi politik, merdeka dari ketidakadilan ekonomi dan merdeka dari ketidakbebasan menjalankan ibadah.

Di tempat terpisah, terkait menyikapi Deklarasi Gerakan Minahasa Merdeka, Ketua Barisan Indonesia (Barindo) Sulawesi Utara, Teddy Kumaat SE pun angkat bicara. Mantan Wakil Walikota Manado ini menegaskan bahwa pihaknya sangat mendukung sepenuhnya Deklarasi Minahasa Merdeka yang prakarsai Dolfie Maringka. Ia juga menegaskan bahwa kata merdeka di sini bukan dimaksudkan oleh Maringka untuk berpisah dari NKRI, melainkan lebih pada kemerdekaan dari belenggu penjajahan di negeri ini.

Perjuangan Tokoh Minahasa Dalam Bhinneka Tunggal Ika

Wacana Minahasa Merdeka yang dikumandangkan Dolfie Maringka sebaiknya diakhiri. Sebab, wacana tersebut seolah mengingkari perjuangan tokoh bangsa asal Minahasa. Demikian disampaikan Ketua Dewan Pembina Kerukunan Keluarga Kawanua (KKK) Theo L Sambuaga, Selasa (16/5).

Beberapa pejuang dan pahlawan yang dimaksud di antaranya GSSJ Sam Ratulangi, AA Maramis, LN Palar, Arnold Monunutu, Jo Tumbuan, Wolter Mongisidi, Daan Mogot, BW Lapian, HN Sumual dan Alex Kawilarang.

Theo juga menegaskan, tuntutan Minahasa Merdeka sangat bertentangan dengan peristiwa perjuangan Merah Putih 14 Februari 1946. Di mana saat itu para pemuda yang tergabung dalam pasukan KNIL kompi VII di bawah pimpinan Ch. Taulu bersama dengan rakyat melakukan perebutan kekuasaan di Manado, Tomohon dan Minahasa dari tangan Belanda.

Sebelumnya, pada awal rakyat Minahasa menolak bunyi sila pertama yang disahkan di Piagam Jakarta pada tanggal  22 Juni 1945. Sila pertama saat itu berbunyi: “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”. Kontan saja bunyi sila pertama tersebut memancing reaksi yang cukup tajam terutama bawa rakyat yang beragama non-Muslim.

Dalam buku Nurcholish Majid dalam Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia (1995) tertulis “Orang-orang Kristen yang berasal dari Sulawesi Utara, tanah kelahiran A.A. Maramis, secara serius menolak satu ungkapan dalam piagam tersebut”. Demi menjaga keutuhan NKRI, redaksional sila pertama pun dipangkas setelah, Alexander Maramis selaku anggota BPUPKI menyatakan keberatan. Sila itu berubah menjadi: “Ketuhanan yang Maha Esa.”

Namun, di masa Soekarno hingga periode awal Soeharto menjabat sebagai Presiden Indonesia, sila pertama tersebut menuai kontroversi baru. Setelah Soeharto lengser pada 1998, isu merealisasikan Piagam Jakarta sempat menguat lagi. Kembali orang-orang di Minahasa, Sulawesi Selatan, yang mayoritas Kristen, bereaksi lagi.

“Forum Kongres Minahasa Raya yang berlangsung Sabtu lalu itu sepakat mengultimatum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bahwa jika Sidang Tahunan  itu mengamandemen UUD ’45 dengan memasukkan Piagam Jakarta ke dalamnya, tanah Toar Lumimuut akan merdeka,” tulis Manado Post (07/08/2000)

Kembali lagi pada periode awal kemerdekaan di Minahasa, pada tanggal 16 Februari 1946 sempat dikeluarkan selebaran yang berisi pengumuman bahwa kekuasaan di seluruh Manado telah berada di tangan bangsa Indonesia. Bendera Merah Putih pun dikibarkan di seluruh pelosok Minahasa hampir selama satu bulan, yaitu dimulai sejak tanggal 14 Februari 1946. Di pihak lain, Dr. Sam Ratulangi diangkat sebagai Gubemur Sulawesi dan mempunyai tugas untuk memperjuangkan keamanan dan kedaulatan rakyat Sulawesi.

Dr. Sam Ratulangi juga membentuk Badan Perjuangan Pusat Keselamatan Rakyat  dan juga membuat petisi yang ditandatangani oleh 540 pemuka masyarakat Sulawesi. Dalam petisi itu dinyatakan bahwa seluruh rakyat Sulawesi tidak dapat dipisahkan dari Republik Indonesia.

Menjaga Keutuhan NKRI

Menjaga keutuhan NKRI bukan saja kewajiban rakyat Indonesia, akan tetapi juga perlu tindak tegas dari peran Pemerintah Indonesia. Pemerintah pun harus benar-benar mengaplikasikan Bhinneka Tunggal Ika, dengan menghargai setiap perbedaan yang ada di Indonesia, dan jangan menjadikan perbedaan itu sebagai media adu domba kepada rakyat.

Terkait dengan Gerakan Minahasa Merdeka, DPR meminta pemerintah segera turun tangan menyikapi adanya isu permintaan melaksanakan referendum atau jajak pendapat mengenai kemerdekaan Minahasa.

Pemerintah pun disarankan untuk aktif memberikan pengertian kepada para warga yang menyerukan usulan Minahasa merdeka. ‎”Secepatnya pemerintah selesaikan,” kata Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (17/5)

Menurut Taufik, perlu ada upaya jemput bola yang dilakukan pemerintah. Ia melanjutkan dalam persoalan ini perlu dilakukan konsolidasi dan silaturahmi bersama tokoh-tokoh masyarakat, gubernur, walikota, dan polri secara persuasif. Kemudian, perlu diberikan juga pemahaman.

Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian pun sudah menyatakan bahwa tidak boleh ada gerakan deklarasi kemerdekaan di wilayah mana pun di lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini termasuk di Minahasa, Sulawesi Utara.

“Tidak boleh. Deklarasi tidak boleh,” ujar Tito usai menjadi salah satu pemateri dalam kuliah umum pada Kongres Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) XIX di Asrama Haji Palu, Sulawesi Tengah, Senin (15/5).

Tangan dingin Presiden Jokowi pun sangat dibutuhkan untuk meredam setiap kegaduhan yang terjadi di Indonesia. Saat ini Indonesia sedang krisis persatuan dan aksi makar terjadi di mana – mana, tugas Jokowi pun bukan main berartnya. Karena jika salah dalam menangani aksi makar ini, bisa-bisa ada provinsi lagi yang lepas dari wilayah NKRI selain Timor Timur. Mampukah Jokowi melakukan itu? (A15)

Exit mobile version