Site icon PinterPolitik.com

Mimpi Olimpiade Indonesia Terlampau Jauh?

Mimpi Olimpiade Indonesia Terlampau Jauh

Kontingen Indonesia tiba dalam pegelaran pembukaan Olimpiade Rio 2016 yang dilaksanakan di Rio de Janeiro, Brasil, pada 5 Agustus 2016. (Foto: AP)

Indonesia sangat mengharapkan perolehan medali emas dari cabang olahraga bulu tangkis di Olimpiade Tokyo 2020. Namun, mimpi akan segudang prestasi Indonesia di Olimpiade masih terlampau jauh. Mengapa demikian?


PinterPolitik.com

“Aku tidak punya apa-apa, kecuali raket kayu yang sudah bengkok” – Guntur, King (2009)

Bulu tangkis atau badminton merupakan salah satu cabang olahraga (cabor) yang paling digemari di Indonesia. Bagaimana tidak? Berbagai torehan prestasi di cabor ini membuat sebagian besar masyarakat kita merasa bangga akan dikumandangkannya lagu kebangsaan Indonesia Raya di ajang kompetisi internasional.

Tidak mengherankan apabila banyak anak Indonesia bermimpi untuk menjadi pemain bulu tangkis profesional ketika tumbuh besar. Dari jalanan kampung hingga perumahan, suara ketukan kok yang mengenai raket kerap hadir dimainkan di sore hari.

Mungkin, mimpi anak-anak Indonesia untuk menjadi pemain bulu tangkis yang sukses seperti ini terekam baik dalam sebuah film yang berjudul King (2009). Film ini mengisahkan seorang bocah bernama Guntur yang bercita-cita menjadi seorang pemain bulu tangkis di tingkat internasional.

Cita-cita Guntur pun terinspirasi dari ayahnya yang sangat menggemari bulu tangkis dan mengidolakan Liem Swie King – seorang atlet bulu tangkis profesional yang kerap menyumbangkan medali emas untuk Indonesia pada tahun 1974-1988. Alhasil, setiap hari, Guntur berlatih dan mengikuti berbagai kompetisi di sekitar kampungnya – meskipun sang ayah (Tedjo) hanya bekerja menjadi pengumpul bulu angsa sebagai bahan baku produksi kok.

Namun, bukan tidak mungkin, mimpi Guntur yang ditunjukkan di film King tersebut tidak seindah kenyataan yang ada. Tidak jarang, atlet-atlet Indonesia – termasuk cabor bulu tangkis – bersusah payah untuk menghidupi dirinya sendiri di samping harus membawa beban nama Indonesia di panggung internasional.

Baca Juga: Ridwan Kamil, Diplomat untuk Badminton?

Taufik Hidayat – atlet bulu tangkis yang pernah memenangkan medali emas di Olimpiade Athena 2004, misalnya, secara terus terang tidak menginginkan anaknya untuk menjadi atlet karena profesi itu dianggap sebagai profesi yang penuh dengan ketidakpastian. Pernyataan ini diungkapkan Taufik ketika hadir sebagai bintang tamu dalam video podcast Deddy Corbuzier yang diunggah di YouTube pada 11 Mei 2020.  

Tidak hanya Taufik, Susi Susanti yang pernah memenangkan medali emas di Olimpiade Barcelona 1992 pun mengaku kini hanya menjadi masyarakat biasa setelah pensiun. Pengalaman Susi ini dia ungkapkan ketika diwawancarai oleh salah satu media pada April 2015 silam.

Bukan tidak mungkin, pengalaman para mantan atlet bulu tangkis yang pernah berjasa untuk Indonesia ini menjadi sisi gelap dari gemerlap dan gemuruh teriakan “Indonesia!” di berbagai turnamen internasional.

Meski begitu, ekspektasi pemerintah dan masyarakat agar para atlet tetap menjadi juara tetap lah tinggi. Bahkan, cabor bulu tangkis di Olimpiade Tokyo 2020 kini menjadi fokus utama media massa dan masyarakat.

Kesenjangan antara harapan dan dukungan terhadap para atlet ini bukan tidak mungkin menimbulkan sejumlah pertanyaan. Mengapa masyarakat Indonesia masih berharap besar akan kemenangan di cabor bulu tangkis? Lantas, faktor apa yang mendasari sisi gelap dari gemuruh harapan akan prestasi olahraga Indonesia?

Bulu Tangkis adalah Indonesia?

Besarnya harapan pemerintah dan masyarakat Indonesia akan torehan prestasi medali emas di Olimpiade Tokyo 2020 – khususnya cabor bulu tangkis – bisa jadi muncul bukan tanpa alasan. Pasalnya, prestasi olahraga di tingkat internasional kerap berkaitan erat dengan kebanggaan dan status kehebatan sebuah negara.

Steve Wood dari Macquarie University, Australia, dalam tulisannya yang berjudul Prestige in World Politics menjelaskan bahwa olahraga dalam hubungan antarnegara memiliki peran khusus yang berkaitan dengan prestise dan reputasi. Ini terjadi karena masyarakat dari sebuah negara juga mencari sumber kepercayaan diri (self-esteem) dari aktivitas dan kesuksesan yang diperoleh dari satuan sosialnya (social unit) – dalam hal ini adalah negara.

Prestise ini juga berkaitan dengan perasaan akan keunggulan budaya (cultural eminence), kepahlawanan (heroism), hingga kehormatan (honour). Unsur-unsur seperti inilah yang akhirnya berujung pada meningkatnya nasionalisme di bidang olahraga – khususnya dalam ajang kompetisi internasional.

Upaya untuk menonjolkan “keunggulan” kolektif dari suatu negara ini terlihat jelas ketika persaingan antara Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet memanas di ajang-ajang Olimpiade. Narasi persaingan antara kapitalis AS dan komunis Soviet banyak mengisi diskursus publik di masing-masing negara.

Pada Olimpiade Helsinki 1952, misalnya, AS dan Uni Soviet saling mengunggulkan negara masing-masing. Meski AS memenangkan lebih banyak medali emas, Uni Soviet mengklaim bahwa negaranya telah menjuarai Olimpiade berdasarkan metode hitungannya sendiri – mengingat terdapat juga medali perak dan perunggu.

Dinamika persaingan ala Perang Dingin inipun mulai terlihat di persaingan antara AS dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sekarang. Zbigniew Brzezinski dan John Mearsheimer dalam tulisan Clash of Titans di Foreign Policy menyebutkan bahwa persaingan kedua negara ini juga berpengaruh pada perhelatan Olimpiade.

Tiongkok disebut ingin mencapai apa yang disebut sebagai kejayaan Olimpiade (Olympic glory). Niat ini diwujudkan dengan menjadi tuan rumah Olimpiade Beijing 2008. Tidak tanggung-tanggung, Tiongkok berhasil keluar menjadi negara dengan medali emas terbanyak, yakni sebanyak 48 medali emas.

Baca Juga: Amarah Netizen Bayangi Jokowi?

Bila benar kompetisi olahraga semacam ini menjadi penting bagi prestise sebuah negara, bagaimana dengan Indonesia? Apakah bulu tangkis menjadi olahraga yang diunggulkan oleh Indonesia?

Mengacu pada tulisan Colin Brown yang berjudul Playing the Game, masa emas bulu tangkis Indonesia dimulai pada tahun 1950-an – dimulai dengan kemenangan Tan Joe Hok di All England 1959. Semenjak itu, atlet-atlet bulu tangkis Indonesia terus menjuarai berbagai turnamen dalam beberapa dekade setelahnya.

Nama Indonesia pun meningkat secara signifikan di dunia bulu tangkis dengan nama-nama seperti Rudy Hartono, Liem Swie King, hingga Susi Susanti. Namun, posisi Indonesia sebagai raja bulu tangkis tidak lama bertahan – dengan kemunculan negara-negara lain seperti Tiongkok, Malaysia, dan Korea Selatan (Korsel) di cabor ini.

Bahkan, kebangkitan bulu tangkis Tiongkok disebut-sebut terjadi akibat Indonesia dengan berpindahnya pemain dan pelatih Indonesia sendiri – seperti Hou Chia Chang, Tang Hzien Hou, hingga Tong Si Fu. Asumsi ini juga diungkapkan oleh salah satu atlet bulu tangkis Indonesia yang bernama Mulyadi (Ang Tjin Siang).

Berpindahnya para pemain dan pelatih bulu tangkis Indonesia ke pangkuan negara lain ini kembali menimbulkan pertanyaan. Mengapa Indonesia bisa kehilangan bakat-bakat bulu tangkisnya? Apa penyebabnya?

Mimpi Terlampau Jauh?

Persoalan akan berpindahnya pemain dan pelatih bulu tangkis Indonesia ke negara-negara lain sebenarnya tidak hanya terjadi di akhir abad ke-20. Bahkan, sejumlah pemain-pemain baru yang berbakat asal Indonesia – seperti Fung Permadi (Taiwan), Mia Audina (Belanda), Albertus Susanto Njoto (Hong Kong), Lenny Purnama (Australia), dan masih banyak lagi – kini mewakili negara lain.

Mulanya, Brown dalam tulisannya menganggap bahwa hal ini disebabkan oleh persoalan etnis Tionghoa di Indonesia. Namun, persoalan lain pun bisa saja menghantui.

Dalam wawancara pada April 2015 lalu, Susi Susanti berusaha menjawab pertanyaan ini. Peraih medali emas Olimpiade Barcelona 1992 tersebut menyebutkan bahwa ada kemungkinan para atlet ini tidak mendapatkan dukungan yang cukup – seperti dana – dari pemerintah maupun sponsor.

Susi pun membandingkan situasi ini dengan Tiongkok. Atlet bulu tangkis di Tiongkok dinilai mendapatkan dukungan penuh. Bahkan, mereka yang juara akan dijamin seumur hidup oleh pemerintah dan mendapatkan penghargaan bak pahlawan negara.

Apa yang terjadi di Tiongkok ini tentu bukan tanpa alasan. Mengacu pada tulisan Jinming Zheng dan rekan-rekannya yang berjudul Sport Policy in China (Mainland), negara Tirai Bambu ini memiliki kebijakan keolahragaan nasional yang terarah di era pemerintahan pasca-Mao Zedong.

Tiongkok memiliki sebuah prinsip kebijakan yang disebut sebagai juguo tizhi yang artinya adalah dukungan penuh dari seluruh negara (whole nation). Prinsip kebijakan inilah yang mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk memobilisasi berbagai sumber – mulai dari bakat hingga pendanaan – untuk mencetak atlet-atlet elite nasional, termasuk bulu tangkis.

Kebijakan keolahragaan seperti ini berbeda dengan pendekatan keolahragaan ala AS. Mengacu pada buku Barrie Houlihan yang berjudul Sport, Policy and Politics, AS lebih menekankan pada prinsip yang meminimalisir peran pemerintah secara langsung.

Baca Juga: Ridwan Kamil, the Next ‘Rudy Hartono’?

Justru, pemerintah AS membuat regulasi yang mendukung terbangunnya industri olahraga (sport industry) – di mana para pengusaha lah yang menggerakkan roda ekonomi di sektor ini. Inilah mengapa kita bisa menyaksikan acara-acara seperti halftime show yang megah di Super Bowl.

Meski begitu, AS tetap berhasil menorehkan banyak prestasi di panggung olahraga internasional seperti Olimpiade. Walau tidak mendapatkan dana langsung dari pemerintah, Komite Olimpiade dan Paralimpiade AS (USOPC) memiliki kebijakan pengumpulan dana dari individu dan perusahaan sponsor.

Lantas, bagaimana dengan sistem keolahragaan Indonesia? Sistem keolahragaan Indonesia diatur lebih dalam Undang-Undang (UU) No. 3 Tahun 2005. UU itu setidaknya menekankan pada tujuan sistem keolahragaan untuk meningkatkan kemampuan jasmani dan kualitas manusia.

Guna mewujudkan tujuan UU tersebut, pemerintah Indonesia pun tampaknya berusaha meniru sistem keolahragaan ala AS, yakni dengan membangun industri olahraga. Ini terlihat dari Peraturan Menteri Pemuda dan Olahraga (Permenpora) No. 10 Tahun 2015 tentang Pembinaan dan Pengembangan Industri Olahraga.

Meski begitu, perkembangan industri olahraga ini tidak lepas dari berbagai tantangan. Sigit Nugroho dalam tulisannya Industri Olahraga menyebutkan beberapas tantangan, seperti minimnya permodalan, peluang pasar dan pangsa pasar yang kecil, kurangnya jaringan kerja sama usaha, serta mentalitas usaha itu sendiri.

Mungkin, inilah mengapa Susi Susanti menjelaskan bahwa para atlet di Indonesia harus berusaha mencari dana-dana sponsornya sendiri – apalagi ketika akan berangkat di turnamen internasional. Ujungnya, nasib ke depan para atlet bisa saja penuh dengan ketidakpastian dengan minimnya dukungan industri olahraga.

Pemerintah sendiri sebenarnya juga telah memberikan sejumlah dana tetapi – seperti yang dibilang Susi – jumlahnya pun sangat minim. Hal ini pun diakui oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) yang menyebutkan bahwa anggaran olahraga dari pemerintah hanya 0,03 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) – lebih rendah dari negara tetangga seperti Singapura (4 persen).

Boleh jadi, minimnya dukungan dari pemerintah dan sektor swasta ini berujung pada jumlah perwakilan Indonesia di Olimpiade yang sangat sedikit. Pada Olimpiade Rio 2016, misalnya, Indonesia hanya mengirimkan 28 atlet, yakni hanya sebesar 0,00000012 persen dari total populasi Indonesia.

Jumlah yang sama juga terjadi di Olimpiade Tokyo 2020 – lebih rendah dari negara-negara tetangga seperti Malaysia (30 atlet) dan Thailand (41 atlet). Padahal, jumlah penduduk Indonesia pun jauh lebih banyak dibandingkan dua negara tersebut.

Tidak mengherankan apabila akhirnya Indonesia kesulitan menorehkan prestasi di Olimpiade apabila jumlah atlet yang dikirim pun sangat terbatas. Hingga tulisan ini dibuat, Indonesia belum mendapatkan medali emas satu pun. Sejumlah atlet bulu tangkis yang diharap-harapkan oleh pemerintah dan publik juga telah gugur.

Bila situasi keolahragaan kita tetap seperti ini, bukan tidak mungkin mimpi kejayaan Olimpiade untuk Indonesia masih terlampau jauh. Alhasil, aset Guntur-Guntur di dunia nyata yang bisa jadi wujud masa depan Indonesia malah terbuang percuma karena hanya dibekali “raket kayu”. (A43)

Baca Juga: Jika Deddy Corbuzier Jadi Menpora


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version