Kemenangan politik bagi kaum milenial di negara bagian AS, memberikan semangat baru bagi keterlibatan kaum milenial di dalam dunia politik secara global, tapi tentu perjuangan masih panjang. Bersabarlah!
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]erubahan zaman dan teknologi telah menjadi katalis bagi dinamika politik secara global, sementara revolusi industri adalah kebangkitan awal dimana kesadaran rakyat makin progresif dan politis.
Tentu saja, perubahan adalah sesuatu yang tak terelakkan. Dalam filsafat materalistik, perubahan adalah sebuah proses dialektika pada suatu materi yang pergerakannya terjadi akibat dorongan eksternal-internal dari sebuah materi itu sendiri.
Dalam konteks politik elektoral pun demikian. Pada akhirnya, sang penguasa akan tumbang, digantikan tunas-tunas muda berseri. Dinamika itulah yang dalam beberapa tahun terakhir mulai santer menjadi publikasi media massa dengan tajuk: Politik dan Milenial.
Di Amerika Serikat (AS) fenomena itu makin menggeliat, ditandai dengan terpilihnya sejumlah legislatif muda dari negara bagian pada Mei 2018 silam. Kepada New York Times, Michelle Goldberg, mengulas fenomena tersebut dalam opini: “The Millennial Socialists Are Coming”
Tulisan Michelle, secara spesifik memberikan penjelasan bagaimana kalangan muda yang terorganisir mampu memberikan kejutan bagi banyak kalangan, melalui metode strategi kampanye offline dengan pertemuan bersama konstituen di ruang-ruang publik, seperti pemberhentian kereta bawah tanah.
Hal yang menarik adalah ketika generasi milenial yang berasal dari lingkaran Komunitas Sosialis Demokrat (DSI) ini berhasil mengalahkan petahana yang telah berkuasa lama yang notabene merupakan generasi baby boomers. Generasi milenial itu diwakili oleh Elizabet Fiedler, Sara Innamorato dan Summer Lee.
Partisipasi politik anak muda di Amerika Serikat memang sudah menunjukkan kedekatan psikologis dengan spektrum politik liberal sejak Pilpres 2016. Laporan USA Today misalnya menunjukan 72 persen generasi milenial lebih memilih Bernie Sanders. Mereka rata-rata berusia di bawah 30 tahun.
Sebelum itu, fenomena ini juga pernah terjadi di Hongkong, ketika dua orang pemuda, Nathan Law dan Joshua Wong memimpin gerakan demokrasi yang kemudian dikenal dengan gerakan payung (umbrella movement). Gerakan payung menuntut pemerintah Tiongkok untuk memberikan hak demokrasi kepada warga Hongkong untuk memilih pemimpinnya.
Di dunia Arab juga berlaku hal serupa, teknologi dan gerakan politik anak muda berpadu menjadi bumerang bagi para oligark. Gerakan itu terwujud dalam Arab Spring atau Revolusi Musim Semi yang konsolidasi politiknya dilakukan melalui media online.
Arab Spring sebenarnya muncul sebagai dampak dari kesuntukan terhadap politik yang makin bergerak pada fase otoritarianisme. Meskipun dianggap gagal, tapi gerakan anak muda yang dominan telah menjadi pionir bagi eksperimen politik milenial berskala global.
Di Indonesia, “Teman Ahok” adalah contoh bagaimana intervensi anak muda berkelindan dengan politik yang terkonsolidasi pada DKI Jakarta 2017. Namun, gerakan ini nyatanya gagal membawa kemenangan bagi kandidat yang didukungnya, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Ayo kita jadikan momentum Pilgub 2018 sebagai edukasi politik kepada generasi milenial @LoyalisKhofifah @KhofifahIP @khofifah
— Posko Milenial Emil Dardak (@posko_emil) February 1, 2018
Kendati demikian, Pilkada 2018 dapat dianggap sebagai fenomena yang bergerak maju (progresif). Hal ini ditandai dengan terpilihnya dua kandidat milenial sebagai pemenang yakni Emil Dardak dan Taj Yasin. Kedua kandidat calon wakil gubernur ini masih terbilang muda yakni berusia 34 tahun.
Nah, hubungan Emil dan Yasin di Indonesia dan sejumlah legislator negara bagian AS seakan memberikan harapan bahwa kelompok milenial makin eksis dalam kancah politik.
Tapi, dalam kasus di Indonesia, tentu tak semudah membuka kedua telapak tangan. Rasanya kelompok milenial Indonesia perlu banting tulang, mengingat ruang politik yang makin dikuasai oleh segelintir orang melalui dominasi dalam partai politik. Fenomena itu juga telah menciptakan apa yang disebut dengan patron client.
Patron-Client dan Parpol
Melihat partai–partai yang hanya dikuasai oleh segelintir tokoh, tentu menciptakan pesimisme tersendiri, bagaimana mungkin tercipta regenerasi politik jika kelompok-kelompok tua masih berkuasa dalam tubuh partai? Hal tersebut sekaligus mengkonformasi jika ruang politik di Indonesia belum sepenuhnya demokratis.
Praktik politik seperti itu sejalan dengan pandangan Kishore Mahbubani. Dalam buku berjudul “Asia, New Hemisphere of the World” Mahbubani mengatakan salah satu pilar salah satu pilar kemajuan perabadan barat adalah terciptanya budaya meritokrasi.
Yang dimaksud Mahbubani tentang prinsip meritokrasi adalah: setiap individu dalam masyarakat selalu memiliki sumber daya potensial. Itu berarti, setiap individu harus diberikan ruang dan opportunity (kesempatan) untuk mengembangkan diri untuk berkontribusi terhadap masyarakat (society).
Di Indonesia, masalah memang berlipat, kemunculan partai-partai pasca reformasi 98, tidak serta merta linear dengan tuntutan akan tegaknya demokrasi –yang berkehendak mereduksi sekat-sekat “kelas” dalam dalam dunia politik dan ekonomi.
This is only the beginning. Thank you to everyone who supported us, volunteered for us, voted for us and believed in us. Thank you. Let's get to work.
— Sara Innamorato 4 PA (@Innamo) May 16, 2018
Hal itu malah terbalik, reformasi sekaligus memberikan ruang politik kepada sekelompok orang pemilik partai untuk tetap mempertahankan patron-client sehingga yang terbentuk hanyalah personal party.
Personal party di Indonesia memang sudah jadi rahasia umum. Dalam kasus ini, dua partai yang dominan adalah Partai Persatuan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Sejak pendiriannya 2008, Gerindra selalu memunculkan Prabowo Subianto sebagai satu figur politik yang sangat mengesankan fenomena personal party. Hal paling brutal juga terjadi pada Megawati Seokarno Putri yang telah mengusai PDIP sejak 1999.
Personal party adalah istilah yang digunakan intelektual Italia, Norberto Bobbio untuk merujuk pada Forza Italia (FI), partai kanan-tengah Italia yang berdiri sejak 1994. Personal party adalah partai yang diciptakan oleh satu orang dan untuk kepentingan satu orang atau keputusan partai yang berada pada satu orang.
Tak sekedar fenomena personal party, dalam kasus di Indonesia, dominasi sekelompok orang dalam dunia politik juga memunculkan istilah oligarki politik. Namun, untuk menutupi sifat oligarkis ini, terkadang sebuah partai lebih mengatasnamkan panji-panji mayoritas.
Thank you, @JoeCrowleyNY, for your support and longstanding service to our community.
I look forward to working towards a takeback of the House on a strong platform of economic, social, and racial justice for working class New Yorkers & Americans.
Let’s do this. https://t.co/bhYclAXjiA
— Alexandria Ocasio-Cortez (@Ocasio2018) June 27, 2018
Hal senada, diungkapkan secara kritis oleh Goeff Mulgan, dalam buku “Politics in an Antipolitical Age” Menurut Mulgan, bagaimanapun dalam sebuah tatanan negara demokratis akan selalu muncul oligarki yang mengatasnamakan masyarakat banyak. Alhasil, hal terburuk, dari fenomena ini, menurut Mulgan adalah terabaikannya aspirasi politik masyarakat secara luas, karena oligarki hanya melayani segelintir orang.
Adakah Politik Milenial?
Dari fenomena personal party, klientelisme, hingga oligarkis, tentu merangsang kita untuk skeptis: apakah kesempatan politik bagi kaum milenial untuk terlibat dalam kontentasi politik adalah murni dari kalangan muda atau merupakan sokongan kelompok tua, khususnya di Indonesia?
Tidak dapat dipungkiri bahwa fenomena personal party di negeri ini kerap mempersulit langkah politisi baru. Hal ini membuat banyak politisi milenial sulit maju tanpa restu elite partai personalistik tersebut. Kemenangan Taj Yasin dan Emil Dardak boleh jadi langkah awal dalam mendobrak pintu milik para patron di personal party.
Tentu, fenomena personal party dalam politik di Indonesia, menciptakan kesulitan tersendiri untuk menilai kemenangan Taj Yasin dan Emil Dardak sebagai kemenangan mutlak politik kaum milenial. Taj Yasin misalnya, masih menggunakan pengaruh ayahnya, Mbah Moen sebagai tokoh Muslim ternama di Jawa Tengah.
Meskipun fenomena personal party dominan di Indonesia, masyarakat pastinya selalu menantikan kebijakan politik yang lebih progresif yang nantinya mampu melakukan perubahan signifikan.
Tapi, kita juga harus bertanya-tanya: sampai kapan fenomena personal party ini melekat pada demokrasi kita. Di luar hal itu, tentu yang lebih mendesak adalah bagaimana kelompok milenial yang terpilih mampu melakukan terobosan yang berbeda dengan kaum baby-boomers dalam politik.
Terakhir, semoga kemenangan Taj Yasin dan Emil Dardak di Jawa mampu memberikan kontribusi berarti pada dunia politik di Indoenesia atau kemenangan Elizabet Fiedler, Sara Innamorato dan Summer Lee di Amerika Serikat mampu menjadi katalis bagi pergerakan politik kaum milenial di Indonesia. (A13)