HomeNalar PolitikMilenial-Gen Z, Simalakama Pemilu 2024? 

Milenial-Gen Z, Simalakama Pemilu 2024? 

Golongan milenial dan gen z akan menjadi mayoritas pemilih pada Pemilihan Umum 2024 (Pemilu 2024) nanti. Tapi, mereka dihadapi rasa ketidakpercayaan pada politik itu sendiri. Mengapa bisa demikian? 


PinterPolitik.com 

Dikisahkan ada seorang pemuda bernama Agus yang sedang beristirahat di sela-sela jam kuliahnya saat siang hari. Layaknya mahasiswa dan mahasiswi lain di kampusnya, Agus selalu menghabiskan waktu lenggang di taman besar dekat gedung fakultasnya. Entah itu untuk makan siang, belajar, atau sekadar nongkrong, yang jelas Agus tidak pernah absen ke taman, meskipun terkadang ia absen di kelas. 

Namun, hari ini tampaknya kegiatan nongkrong Agus agak sedikit berbeda. Yang biasanya ramai membicarakan video game, film, dan anime, Agus dan teman-temannya siang ini tiba-tiba saja berdebat soal politik. Yess, politik, hal yang umumnya dipandang sebagai bahan pembicaraan yang berat dan, well, jujur saja, “kotor”. 

Menariknya, perbincangan yang terjadi terlihat dihadapi kebuntuan. Meskipun Agus terlihat seperti mahasiswa yang hobinya nongkrong dan cuek, ia melihat bahwa partisipasi kaumnya, para anak muda, sangatlah penting dalam politik, karena bila mereka tidak melibatkan diri dalam politik, maka tidak akan ada regenerasi kebijakan yang sesuai dengan perkembangan zaman. 

Di sisi lain, mayoritas teman-teman Agus justru malah menunjukkan sikap yang apatis dan cenderung pesimis. Mereka mengakui bahwa idealnya politik memang terus beregenerasi, tapi kenyataan politik itu sendiri membuat mereka putus asa bahwa ada kesempatan untuk mengubah negara ini menjadi lebih baik.  

Mereka bahkan bersikeras akan menjadi golongan putih (golput) saat Pemilihan Umum 2024 (Pemilu 2024) nanti karena melihat bahwa tidak ada partai politik (parpol) yang bisa dipercaya. “Mereka semua ujung-ujungnya bakal korupsi juga,” kata mereka. 

Well, kisah fiksi di atas mungkin mampu menjadi representasi mayoritas perdebatan tentang politik yang terjadi di kalangan anak-anak muda kita, karena menurut survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia pada tahun 2021, hanya ada sekitar 32,67 persen milenial dan gen z di Indonesia yang percaya pada parpol.  

Indikasi apatisme kaum muda Indonesia pada politik pun diduga lebih besar lagi karena ternyata 42,32 persen milenial dan gen z kita mengaku tidak tertarik menguak informasi soal politik. Mereka umumnya hanya melihat judul berita dan tidak mau tahu tentang konten politik yang sebenarnya dibahas. 

Fenomena ini kemudian mampu membuat kita bertanya-tanya, kenapa banyak milenial dan gen z yang tidak percaya pada politik? 

image

Gara-gara Media? 

Ambiguitas preferensi politik kaum milenial dan gen z belakangan ini seakan menjadi sesosok hantu. Semua orang tahu bahwa kelompok tersebut akan menjadi kelompok pemilih terbesar di Pemilu 2024, tapi tidak ada yang bisa meyakinkan satu sama lain bahwa kelompok yang katanya berjumlah 68,8 juta orang itu nantinya akan benar-benar mencoblos. 

Baca juga :  Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Tentunya, persoalan ini ada asal mulanya, bukan? Well, sebuah laporan penelitian berjudul  
The Millennial Dialogue Report, dari Broadbent Institute sepertinya bisa memberikan sedikit jawaban. Para peneliti di laporan tersebut memberi kejelasan bahwa meskipun jumlah kaum muda yang pesimis terhadap politik memang semakin banyak, politik tidak pernah menjadi alasan utamanya. Kebencian mereka yang begitu besar muncul dari satu alasan, yakni ketidakpercayaan pada para politisi. 

Masalahnya, di era modern, fenomena itu sepertinya menjadi masalah yang lebih besar karena teramplifikasi oleh adanya perkembangan teknologi.  

Mengapa teknologi bisa disalahkan? Well, sederhana. Ini karena berbeda seperti keadaan 30 tahun lalu, akses informasi tentang perilaku para pejabat saat ini sangat mudah tersebarkan ke masyarakat. 

Lloyd Pettiford dan kawan-kawan dalam buku An Introduction to International Relations Theory, menyebut fenomena ini sebagai bagian dari bentuk masyarakat post-modernism atau pascamodernisme, yakni sebuah masyarakat di mana informasi dan ilmu pengetahuan sudah tidak lagi menjadi hal yang eksklusif. 

Saat ini, dengan adanya internet dan peran media, masyarakat semakin sadar bahwa ternyata sangat banyak sekali masalah yang dihadapi oleh para pejabat. Kalau beberapa dekade lalu kabar buruk tentang seorang pejabat bisa terhambat percetakan atau jarak jangkauan, hal-hal itu saat ini sudah tidak lagi menjadi masalah. Hanya dengan satu tombol saja, semua orang di suatu negara bisa tahu tentang berita penangkapan seorang menteri yang korupsi, misalnya. 

Ini kemudian tentu berdampak pula pada pembentukan opini publik. Kabar buruk memiliki “kelengketan” yang khusus di otak kita, dan karena kita sekarang sangat sering mendapat berita buruk tentang kehidupan para politisi, maka wajar-wajar saja anggapan pertama yang muncul ketika kita berbicara tentang politik adalah hal-hal negatif seputar para politisi tadi. 

Dan kebetulan pula, sebagai pengguna media sosial dan internet terbanyak, kelompok Milenial dan gen z adalah orang-orang yang paling terpengaruh oleh pembentukkan opini tersebut. Dari penjelasan ini, mudah bagi kita untuk kemudian memahami kenapa mayoritas anak muda tidak percaya dengan politik, bukan?  

Mungkin, karena hal ini pula, saat ini banyak kaum muda yang lebih tertarik melibatkan diri dalam gerakan-gerakan advokasi tentang suatu isu politik, karena dengan demikian mereka bisa memberi dampak pada sistem politik tanpa terjun dalam sistem politik itu sendiri. 

Baca juga :  Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Pada akhirnya, dengan mengetahui ini kita turut menyadari bahwa politik dan kaum muda sesungguhnya menyimpan masalah tersembunyi yang mungkin belum bisa dipecahkan oleh mayoritas politisi yang bertanding pada 2024 nanti.  

Lantas, bagaimana seharusnya para politisi menanggapi fenomena ini? 

image 1

Jangan Asal Online dan Populer

Keanehan yang saat ini kita hadapi terkait komoditas politik kaum milenial dan gen z adalah semakin banyak politisi dan parpol yang “mengaku-ngaku” menjadi representasi aspirasi politik anak muda. Politisi-politisi repot berjoget ria di media sosial, parpol mengklaim sebagai perwakilan milenial hanya karena memiliki akun Instagram yang aktif.  

Tapi, apakah hal ini sebenarnya yang dimaksud sebagai perwakilan kaum muda? 

Burhanuddin Muhtadi dalam penelitiannya yang berjudul PETA POLITIK DAN STRATEGI PEMENANGAN PEMILU 2024 DI KALANGAN MUDA, menyebutkan bahwa masalah besar para parpol agar bisa merebut perhatian politik para anak muda adalah mereka perlu menawarkan program-program yang menarik untuk golongan tersebut. 

Alih-alih sibuk membuat konten di media sosial yang sebenarnya sama sekali tidak mampu menjawab keresahan sosial-politik milenial dan gen z, para politisi seharusnya merumuskan program-program yang bisa menjawab persoalan kaum muda saat ini, seperti kepastian lahan pekerjaan di masa depan, keamanan keuangan, dan masalah kebutuhan hidup yang setiap harinya semakin mahal. 

Namun, seperti yang dibahas dalam artikel PinterPolitik berjudul Saatnya Partai Politik Tinggalkan Milenial?,bisa jadi sebenarnya para politisi menyadari hal ini, tapi karena keperluan efisiensi waktu dan tenaga, mereka akhirnya lebih memilih hanya sekadar menjadi populer ketimbang benar-benar menggiring opini publik para anak muda yang apatis terhadap politik. 

Kalau memang keadaannya seperti itu, well, bukan tidak mungkin pada Pemilu 2024 nanti mayoritas para milenial dan gen z akhirnya hanya akan menjadi golongan putih (golput). Bila terjadi seperti itu, maka politik Indonesia sesungguhnya memiliki masalah yang begitu besar. 

Namun, kembali lagi, di era modern ini politik konvensional bukanlah satu-satunya cara untuk menyalurkan aspirasi politik. Sekarang, terdapat juga beberapa komunitas dan kelompok advokasi yang fokus menyuarakan satu isu agar publik turut menyadari kegentingannya. Bila kalian para anak muda ingin merubah negara tapi tidak percaya pada politisi, ini adalah salah satu cara yang bisa kita lakukan. (D74) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

More Stories

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia?