Partai Move Forward (MFP) yang digawangi generasi muda di Thailand berhasil memenangkan Pemilihan Umum (Pemilu) di Thailand. Kemenangan tersebut menjadi terobosan baru bagi politik Thailand yang selama ini identik dengan rezim militer. Dengan mayoritas anak muda, mampukah MFP membawa Thailand ke arah demokrasi yang lebih baik? Atau justru sama saja?
Thailand baru saja menggelar Pemilihan Umum (Pemilu). Hasilnya, Partai Move Forward (MFP) yang dikatakan sebagai partainya anak muda memenangi kontestasi elektoral tersebut.
MFP mengamankan 151 kursi parlemen, disusul Partai Pheu Thai dengan 141 kursi dan Partai Bhumjaithai dengan 70 kursi.
MFP serupa dengan Partai Future Forward yang juga mendapatkan hasil yang baik pada pemilu sebelumnya di tahun 2019 berkat dukungan banyak anak muda.
Namun, Future Forward dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) Thailand dan banyak anggota parlemen dari partai tersebut dilarang berpartisipasi dalam politik.
Tapi mereka kemudian “bereinkarnasi” menjadi MFP yang dianggap lebih kuat dan menarik dukungan dari lebih banyak orang.
Meskipun perolehan 151 kursi belum menjadikan mereka sebagai mayoritas di parlemen, hasil itu sudah jauh lebih baik dari yang diperkirakan. Sehingga, secara luas hal itu dipandang sebagai mandat untuk MFP menjalankan agenda reformasinya.
MFP sekarang sudah sepakat dengan Partai Pheu Thai sebagai partai dengan perolehan suara terbanyak kedua yang juga oposisi untuk membentuk pemerintahan koalisi.
Namun, koalisi dua partai ini tidak punya kursi yang cukup untuk mengungguli suara partai-partai lawannya dan 250 kursi di senat yang berada di bawah konstitusi yang dirancang militer.
Di antara para senator yang ditunjuk oleh Perdana Menteri (PM) petahana Prayuth Chan-ocha, tampaknya muncul anggapan bahwa mereka akan menentang pemerintahan yang dipimpin MFP. Jika itu terjadi, akan ada kebuntuan politik yang panjang di Thailand.
Sementara itu, MFP kiranya siap untuk mengambil risiko itu, seolah-olah menantang senat yang akan mencoba menghalangi mereka.
Selain para senator, hal lain yang belum diketahui ialah apakah Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau MK Thailand. Dua lembaga tersebut terkenal karena peran mereka dalam melumpuhkan pemerintahan terpilih sebelumnya.
Kini, MFP sedang merancang pemerintahan yang akan mereka bentuk dengan anggota parlemen barunya. Beberapa dari mereka adalah aktivis politik muda yang dibayangi berbagai dakwaan akibat protes jalanan yang mereka lakukan.
Jika nantinya MFP akan berkuasa, masyarakat Thailand akan mempunyai pemerintahan termuda dan menghilangkan pengaruh militer dalam politik Thailand.
Lantas, pertanyaannya, mengapa rezim militer masih sangat berpengaruh dalam politik dan pemerintahan Thailand dan seolah dapat menjadi tantangan besar bagi MFP? Serta, apakah MFP dapat benar-benar mampu menghilangkan pengaruh militer itu?
Rezim Militer Masih Kuat?
Thailand yang menganut sistem pemerintahan monarki konstitusional adalah negara yang paling sering dilanda kudeta militer sejak revolusi 1932 yang mengakhiri monarki absolut.
Menurut Paul Chambers dan Napisa Waitoolkiat dalam tulisannya The Resilience of Monarchised Military in Thailand hubungan antara monarki dan militer di Thailand menghasilkan apa yang dapat disebut sebagai “militer yang termonarki”.
Dari tahun 1991 hingga 2014, militer monarki sebagian besar dikatakan beroperasi di belakang demokrasi yang cacat, meskipun kadang-kadang melakukan kudeta untuk menegaskan kembali otoritasnya.
Sejak 1932, elite militer Thailand telah berulang kali melakukan upaya kudeta terhadap pemerintahan yang mereka anggap tidak sejalan.
Kudeta militer terakhir sebelum 2014 terjadi pada 2006 di era PM Thaksin Shinawatra. Dengan alasan krisis politik dan tuduhan korupsi, militer Thailand memutuskan untuk turun tangan dengan mencabut konstitusi, membubarkan pemerintahan Thaksin Shinawatra dan menjanjikan reformasi politik.
Søren Ivarsson dan Lotte Isager mengatakan dalam tulisannya Saying the Unsayable: Monarchy and Democracy in Thailand bahwa pada saat kudeta PM Thaksin Shinawatra tahun 2006, militer menggunakan citra kerajaan untuk menambah legitimasi pada rezim baru mereka.
Anehnya, kudeta tersebut juga mendapat dukungan dari kelompok intelektual perkotaan dan aktivis sosial yang sepanjang tahun 1990-an berjuang untuk memastikan demokrasi di Thailand.
Para pemimpin kudeta dilaporkan dekat dengan Raja Bhumibol dan banyak militer mengenakan pita kuning yang mengacu pada keluarga kerajaan.
Melihat penjelasan di atas, kedekatan militer dengan lingkungan kerajaan membuat militer Thailand seolah mempunyai legitimasi atas tindakan kudeta yang selama ini mereka lakukan.
Hal itu karena kerajaan Thailand sendiri tetap menginginkan keamanan secara politis dan memegang pengaruh atas politik “Negeri Gajah Putih” itu. Maka dari itu, kerajaan dinilai mencoba menggunakan militer sebagai alat mereka untuk mencapai tujuan tersebut.
Maka, tidak berlebihan kiranya jika kemenangan MFP dalam pemilu kali ini akan tetap dalam bayang-bayang pengaruh maupun intervensi dari rezim militer.
Terlebih, pemilu kali ini adalah yang pertama digelar sejak protes besar pro-demokrasi yang dipimpin kaum muda meletus di seluruh Bangkok pada 2020.
Aksi protes itu menginginkan pembatasan kekuasaan dan pengeluaran raja Thailand. Selama ini, mempertanyakan monarki dianggap tabu.
Partai pimpinan Pita Limjaroenrat itu adalah satu-satunya pihak yang berjanji untuk mereformasi Hukum Lese Majeste. Lese Majeste sendiri adalah pasal yang melindungi anggota senior keluarga kerajaan Thailand dari hinaan atau ancaman.
Popularitas Pita Limjaroenrat, politisi muda di Thailand meningkat seiring aspirasi perubahan yang diusung partainya.
Di kancah politik Thailand, Pita Limjaroenrat terbilang bintang baru yang sedang naik daun. Partainya, MFP menjadi semacam jalan ketiga atau third way di tengah rivalitas antara pendukung monarki dan pendukung Thaksin Shinawatra.
Bersama MFP, Pita bertekad untuk menulis ulang konstitusi Thailand dan memulihkan kembali negara itu. Demiliterisasi, demonopolisasi, dan desentralisasi akan menjadi prioritas Pita bersama MFP.
Menariknya, hal yang hampir serupa pun pernah terjadi di Indonesia dalam upaya menggulingkan rezim Orde Baru (Orba) yang identik dengan militer. Para aktivis dan mahasiswa di Indonesia kala itu memprotes rezim militer yang dipimpin Soeharto pada tahun 1998.
Lalu, apakah yang dapat dicermati dari korelasi kemiripan fenomena MFP dengan transisi demokrasi di Indonesia pada tahun 1998?
Belajar dari Aktivis +62?
Melihat fenomena yang terjadi dalam proses politik Thailand yang mulai melibatkan anak muda sebagai motor utama penggerak untuk menjatuhkan rezim militer, membuat seolah refleksi eksis kepada hal yang hampir serupa terjadi di Indonesia.
Ya, kejatuhan rezim Orde Baru (Orba) pada tahun 1998 lalu adalah hasil perjuangan anak muda yang menginginkan perubahan politik kearah yang lebih demokratis.
Pemerintah Orba kala itu posisinya semakin melemah seiring dengan politik gerakan mahasiswa yang membesar dan mampu mengkondisikan oposisi di dalam elite-elite politik dan masyarakat.
Siddharth Chandra dan Douglas Kammen dalam tulisan yang berjudul Generating Reforms and Reforming Generations: Military Politics in Indonesia’s Democratic Transition and Consolidation menjelaskan transisi dari pemerintahan non-demokratis bergantung pada non-intervensi militer, konsolidasi demokrasi didasarkan pada pembentukan kendali sipil atas militer.
Mereka menambahkan, hal ini melibatkan pembatasan peran militer dalam perumusan dan implementasi kebijakan dan memastikan bahwa militer menerima dan mematuhi keputusan sipil.
Dalam konteks Indonesia, pembatasan peran militer itu diwujudkan dengan menghapus Dwi Fungsi ABRI oleh para elite politik dan di dukung oleh para aktivis, masyarakat, dan mahasiswa.
Ketika itu, para elite dan masyarakat sepakat bahwa militer yang memegang senjata dianggap terlalu keras saat mencampuri urusan sipil negara sehingga berisiko menimbulkan pelanggaran HAM.
Berkaca dari kasus yang terjadi di Indonesia, sebagai partai yang di dominasi anak muda, MFP kiranya harus memperoleh dukungan dari masyarakat luas dan kemudian berkonsolidasi dengan para elite politik lain yang lebih berpengalaman.
Tentunya untuk dapat merubah pasal Lese Majeste yang kemudian akan diikuti dengan terbatasnya kewenangan militer dalam urusan sipil.
Secara umum, kasus rezim militer di Thailand dan Indonesia memiliki beberapa persamaan, meskipun juga memiliki karakteristik dan tantangannya masing-masing.
Atas dasar itu, cara berkonsolidasi dengan berbagai elemen yang dilakukan di Indonesia tampaknya juga bisa saja diterapkan MFP di Thailand untuk menjatuhkan rezim militer.
Berkonsolidasi yang dimaksud disini adalah menyatukan persepsi tentang membawa negara ke arah demokrasi yang lebih baik. Dengan tekanan dari berbagai pihak yang bersatu melawan rezim militer yang dianggap kontraproduktif, akan membuat rezim tersebut lemah dan kehilangan legitimasinya.
Namun satu yang patut diperhatikan dalam konteks Indonesia adalah idealisme yang memudar, khususnya dari para aktivis 98, yang mana di era Reformasi terjun ke politik dengan bergabung parpol. Mereka jamak dianggap terbuai dalam alunan kekuasaan karena dianggap tak lagi mengamalkan perjuangan, nilai, dan esensi demokrasi konstruktif.
Menarik untuk dinantikan apakah MFP dan Pita Limjaroenrat mampu “menjatuhkan” rezim militer dan membawa Thailand menjadi negara demokrasi seutuhnya serta konsisten mengartikulasikan nilai perjuangan mereka melakukan konsolidasi demokrasi yang positif. (S83)