KTT Ulama di Bogor mendengungkan konsep Wasathiyah Islam atau Islam moderat sebagai solusi problematika dunia.
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]uluhan ulama dan cendekiawan Muslim dunia hadir di tanah air pada tanggal 1 hingga 3 Mei 2018. Kehadiran mereka di Indonesia bukannya tanpa sebab, karena tengah menghadiri KTT Ulama dan Tokoh Intelektual Muslim Dunia atau High Level Consultation (HLC) of World Muslim Scholars on Wasatiyat Islam.
Pertemuan para ulama ini mengusung sebuah misi besar. Mereka memiliki agenda besar untuk mempromosikan Wasathiyah Islam atau Islam moderat ke seluruh dunia. Ada keyakinan bahwa prinsip tersebut amat penting bagi kemajuan Islam dan juga dunia secara keseluruhan.
Presiden Jokowi menyebut bahwa posisi Indonesia sangat jelas, yaitu ingin mendorong gagasan tersebut dan berkomitmen untuk mewujudkan poros Wasathiyah Islam Dunia. Beberapa cendekiawan Muslim dalam negeri bahkan menilai, Indonesia bisa mengekspor cita-cita tersebut ke seluruh dunia.
Membawa gagasan Islam moderat ke seluruh dunia merupakan hal yang sangat ideal. Akan tetapi, bagaimana kondisi konsep Islam moderat di Indonesia saat ini? Apakah Indonesia benar-benar siap mengekspor hal tersebut ke seluruh dunia?
Wasathiyah Islam Sebagai Islam Moderat
KTT Ulama dan Cendekiawan Muslim dunia menyerukan pentingnya Wasathiyah Islam atau Islam moderat di seluruh dunia. Menurut Grand Sheikh Al Azhar, Ahmed Muhammad Ahmed el-Tayeb, jati diri Islam adalah moderat sebagaimana sudah termaktub di dalam kitab suci.
Menurut Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban Din Syamsudin, ada dua hal yang membuat Wasathiyah Islam adalah hal yang penting. Pertama adalah realitas Islam yang tidak menunjukkan corak yang moderat. Kedua, kehidupan manusia yang mengalami kerusakan, ketidakteraturan, dan ketidakpastian secara global.
Din sendiri menilai, secara konsep Wasathiyah Islam lebih luas dari sekadar moderat. Menurutnya di dalamnya terdapat nilai-nilai toleran, jalan tengah, menyelesaikan masalah dengan musyawarah, mengakui kemajemukan, pluralisme, penengah dan perantara penyelesaian masalah.
Berdasarkan hasil pertemuan, disebutkan bahwa Wasathiyah Islam memiliki tujuh nilai utama. Terdapat nilai tawassut yaitu posisi di jalan tengah dan lurus, i’tidal atau berperilaku proporsional dan adil dengan tanggung jawab, dan tasamuh yaitu mengenali dan menghormati perbedaan dalam semua aspek kehidupan.
Terdapat pula nilai syura, yaitu mengedepankan konsultasi dan menyelesaikan masalah melalui musyawarah untuk mencapai konsensus, Islah, terlibat dalam tindakan yang reformatif dan konstruktif untuk kebaikan bersama, dan qudwah, merintis inisiatif mulia dan memimpin umat untuk kesejahteraan manusia. Terakhir, muwatonah atau mengakui negara bangsa dan menghormati kewarganegaraan.
Wasathiyah Islam atau Islam moderat dipercaya bisa menjadi solusi bagi problematika dunia. kekacauan global, ketidakpastian dan akumulasi kerusakan global, diperparah oleh kemiskinan, buta huruf, ketidakadilan, diskriminasi, dan berbagai bentuk kekerasan, dipercaya dapat diakhiri dengan gagasan Islam moderat.
Tradisi Moderasi
Secara filsafat, konsep dari pemikir Islam kerapkali dipertemukan dengan filsafat dari Yunani. Jika melihat dari sejarah, peradaban Islam memang dapat dikatakan berutang pada filsuf-filsuf Yunani. Banyak filsuf-filsuf Islam yang mengadopsi pemikiran dari negeri para dewa tersebut sehingga tradisi pemikiran Islam mengalami kemajuan pesat.
Hal ini dipandang terjadi pula pada kasus Wasathiyah Islam yang ditawarkan oleh KTT Ulama. Sekilas Islam moderat terlihat memiliki keterkaitan dengan etika moderasi dalam tradisi filsafat Aristoteles. Menurut Aristoteles, moderasi adalah salah satu bentuk dari kebajikan (virtue).
Dalam pandangan Aristoteles, adalah perilaku yang berpijak pada jalan tengah (the golden mean) untuk menghindari keburukan dari perilaku ekstrem yang berlebihan. Bagi Aristoteles, jalan tengah adalah jalan yang utama.
“Kebhinekaan di Indonesia merupakan berkah dan simbol moderasi yang sangat luar biasa bagi negeri ini” (Grand Syaikh Al-Azhar)
Selengkapnya..https://t.co/hvSKEPqTvo via @islamramahdotco pic.twitter.com/Nnvd2pjo13
— Islam Ramah (@islamramahdotco) May 1, 2018
Aristoteles tidak membatasi konsep jalan tengah tersebut kepada hal yang bersifat material, seperti makan atau minum saja. Aristoteles menyebut bahwa sikap-sikap mental yang ekstrem juga adalah hal yang buruk. Ia misalnya, menggambarkan bahwa orang yang pemberani adalah orang yang tidak pengecut di satu sisi, tetapi juga tidak terlalu gegabah atau arogan.
Ath Thayeb mengakui bahwa ada kesamaan etika antara Islam dengan etika Yunani. Menurutnya, kedekatan terletak pada sisi bahwa Islam berada di tengah, tidak berlebihan dan ekstrem. Ekstrem merupakan hal yang dosa, yaitu terlalu berani, terlalu gegabah dan juga terlalu berlebihan.
Menurut Ath Thayeb, sangat penting untuk tidak membatasi pembahasan soal moderasi tersebut tidak hanya ditataran teoritis saja. Saat ini, baginya penting untuk melihat wacana tersebut dalam tataran praktis.
Menurutnya, dalam realitas saat ini, saat seseorang meninggalkan posisi moderat dan mengarah ke salah satu ekstrem baik liberal maupun radikal maka hasilnya adalah perpecahan umat Islam. Oleh karena itu konsep Wasathiyah mendesak untuk dipraktikkan agar perpecahan tersebut tidak terjadi.
Mengekspor Islam Moderat
Secara konsep, Wasathiyah Islam dapat dikatakan sebagai nilai yang dapat menjadi bagi kemajuan. Nilai ini mengandung nuansa moderasi yang digagas oleh Aristoteles sebagai bentuk dari suatu kebajikan. Oleh karena itu, seruan dari Bogor untuk mengusung gagasan Islam moderat ke seluruh dunia tersebut memang dapat dianggap sebagai sesuatu yang ideal.
Presiden Jokowi menyatakan, sikap Indonesia mendorong dan berkomitmen untuk mewujudkan poros Wasathiyah Islam dunia. Hal senada diucapkan oleh cendekiawan Muslim Azyumardi Azra yang menyebut bahwa Indonesia bisa mengekspor prinsip tersebut ke seluruh dunia.
Meski begitu, sebelum mengekspor gagasan itu, ada pekerjaan rumah besar di dalam negeri sendiri. Para cendekiawan Muslim boleh saja optimis bahwa Indonesia memiliki tradisi panjang soal Islam moderat. Akan tetapi, jika melihat kondisi belakangan, Indonesia justru tengah menghadapi gelombang gerakan dan gagasan Islam berhaluan ekstrem. Ketujuh nilai utama dalam Islam moderat belakangan ini tidak nampak.
Pesan Syaikh al-Azhar utk persatuan ummat, sebagaimana disampaikan al-Mukarram KH Husein Muhammad (yg saya kagumi). Terima kasih, Pak Kyai pic.twitter.com/6YIjL6LnAj
— Gerakan Islam Cinta (@Haidar_Bagir) May 2, 2018
Saat ini, di Indonesia, wacana Islam yang mengemuka memang cenderung meninggalkan titik moderatnya sehingga bergeser ke salah satu ekstrem. Dalam konteks ini, ekstrem yang dimaksud adalah ekstrem radikal. Terlihat bahwa Islam moderat yang digambarkan Din Syamsuddin melalui nilai-nilai toleran musyawarah, mengakui kemajemukan, dan pluralisme tidak terjadi belakangan ini.
Sebelum percaya diri mengeskpor Islam moderat ke seluruh dunia, idealnya Indonesia menyelesaikan munculnya gerakan Islam ekstremis terlebih dahulu. Para ulama dan umara (pemimpin) di tanah air memiliki tugas berat untuk membumikan nilai-nilai Wasathiyah Islam di negeri ini.
Saat ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memiliki program untuk membumikan Islam Wasathiyah ke berbagai daerah. MUI bahkan sempat membuat ikrar bagi para ulama agar senantiasa membawa gagasan-gagasan Islam yang moderat di Indonesia. Akan tetapi, hingga saat ini.
Indonesia memang memiliki keuntungan jika dibandingkan kebanyakan negara-negara Islam di Timur Tengah. Kondisi keamanan di Indonesia tergolong lebih kondusif dibandingkan dengan negara-negara Timur Tengah dan juga Asia Selatan yang dilanda konflik berkepanjangan.
Selain itu, secara ekonomi Indonesia juga tergolong lebih stabil ketimbang negara-negara mayoritas Muslim lainnya. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tergolong lebih baik ketimbang kebanyakan negara-negara Muslim di dunia.
Barangkali, itu yang membuat Azyumardi Azra menilai Indonesia mampu mengekspor gagasan Islam moderat ke seluruh dunia. Akan tetapi, idealnya konsep tersebut diterapkan terlebih dahulu di tanah air agar perpecahan yang digambarkan Ath Thayeb tidak terjadi. (H33)