Dalam sebulan terakhir, publik dibuat heboh dengan kasus penyelundupan barang-barang mewah. Aksi tersebut dilakukan baik lewat udara, darat, maupun laut. Menariknya, praktik haram tersebut justru dilakukan oleh pihak-pihak “berkantong tebal” alias mereka yang berduit.
PinterPolitik.Com
Aksi penyelundupan barang-barang mewah – mobil dan motor mewah – mulai terkuak setelah terungkapnya kasus penyelundupan onderdil Harley Davidson dan sepeda Brompton di dalam pesawat Airbus A330-900 baru milik PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) yang didatangkan langsung dari Prancis.
Kasus tersebut terungkap usai para petugas Bea Cukai melakukan pemeriksaan terhadap pesawat baru tersebut yang akhirnya menemukan ada 18 kardus yang berisi onderdil Harley bekas dan 3 kardus lainnya yang berisikan dua unit sepeda Brompton baru beserta aksesorisnya.
Atas kejadian tersebut, sontak membuat publik geram dan meminta supaya diusut tuntas siapa saja pelaku di balik aksi haram tersebut.
Melihat derasnya desakan publik, aparat bergerak cepat menindak para pelaku yang diduga terlibat dalam penyelundupan ini.
Berdasarkan hasil penyelidikan, diduga kuat ada keterlibatan Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Ari Askhara bersama sejumlah direksi lainnya.
Ari Askhara akhirnya dicopot dari jabatannya bersama empat direksi lainnya, yakni Direktur Teknik dan Layanan Iwan Joeniarto, Direktur Kargo dan Pengembangan Usaha Mohammad Iqbal, Direktur Human Capital Heri Akhyar, dan Direktur Operasi Bambang Adisurya Angkasa.
Menurut perhitungan, harga Harley tersebut berkisar Rp 800 juta dan sepeda Brompton sekitar Rp 50-60 juta per unit. Dengan demikian, kerugian negara ditaksir mencapai Rp 532 juta – 1,5 miliar.
Belum juga mereda, kasus serupa kembali terulang selang dua hari terakhir ini. Sejumlah mobil dan motor mewah berhasil diselundupkan melalui pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Kasus ini baru terungkap setelah Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) bersama dengan Kepolisian Republik Indonesia,TNI, dan Kejaksaan mengungkap adanya penyelundupan mobil dan motor mewah di pelabuhan Tanjung Priok.
Dalam keterangannya, Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani menyebut sebanyak 19 unit mobil dan 35 unit, rangka, dan mesin motor mewah diselundupkan melalui pelabuhan Tanjung Priok.
Jika ditotal, nilai sejumlah mobil mewah tersebut mencapai Rp 312,92 miliar. Sedangkan, untuk motor mewah nilainya mencapai Rp 10,83 miliar. Dengan kejadian ini, negara diperkirakan mengalami kerugian sebesar Rp 647,5 miliar.
Usut punya usut, ternyata kejadian ini bukan baru terjadi di tahun 2019 saja. Dalam pernyataannya, Sri Mulyani mengaku kejadian serupa sudah sering terjadi sebelumnya.
Sri Mulyani bahkan mengakui sepanjang 2016 hingga 2019, kasus penyelundupan mobil dan motor dari luar mengalami peningkatan cukup drastis. Pada 2018, misalnya, tercatat sebanyak 127 kasus penyelundupan motor mewah. Sedangkan, sepanjang 3 tahun terakhir setidaknya tercatat 67 kasus penyelundupan mobil mewah dan 2.693 motor mewah.
Pertanyaan muncul, mengapa tren penyelundupan mobil dan motor mewah sejak beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan cukup tajam? Apakah kejadian ini menunjukkan performa pengawasan pemerintah yang semakin membaik atau justru kurangnya pengawasan di sektor kepabeanan?
Mengapa Diselundupkan?
Menarik untuk ditelisik terkait kasus ini adalah apa yang menjadi alasan pelaku di balik aksi penyelundupannya.
Sri Mulyani mengatakan, modus penyelundupan cukup bervariasi, mulai dari tanpa pemberitahuan, pengeluaran tanpa izin, salah pemberitahuan, bongkar luar kawasan tanpa izin, dan pindah lokasi impor sementara tanpa izin.
Namun, beberapa mengatakan alasan kuat di balik penyelundupan tersebut ialah untuk menghindari pajak.
David Merriman dalam Understand, Measure, and Combat Tobacco Smuggling menyebut, penyelundupan barang dilakukan atas dua alasan: pertama, untuk menghindari bea cukai (pembayaran pajak), dan menghindari regulasi yang melarang barang-barang tersebut.
Selain itu, Merriman juga mengatakan, aksi penyelundupan umumnya meliputi aktivitas ilegal dan tindakan menghindari pajak.
Pandangan Merriman ini senapas dengan pendapat Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, yang menilai modus menghindari pajak itu ditempuh melalui beragam cara, salah satunya lewat pemalsuan dokumen impor, seperti kejadian belakangan dengan modus “batu bata” dalam kontainer. Padahal, di dalamnya berisi sejumlah mobil mewah dan motor mewah.
Disebutkan importasi kendaraan tersebut diberitahukan dalam dokumen sebagai batu bata, suku cadang mobil, aksesoris, dan perkakas serta dilakukan oleh tujuh perusahaan berbeda. Perusahaan-perusahaan tersebut mengimpor mobil dan motor mewah dari negara Singapura dan Jepang.
Terkait alasan penyelundupan menurut mantan Menkeu Chatib Basri, hal itu dilakukan karena 3 alasan: pertama, karena perbedaan harga antara harga barang di dalam negeri dengan produk di luar negeri, kedua, barang itu dilarang, dan Ketiga, tingginya tarif impor atau ekspor.
Mengenai kisah penyelundupan ini, Gautam Basu dalam Combating illicit trade and transnational smuggling: key challenges for customs and border control agencies mengatakan kalau fenomena penyelundupan memiliki sejarah cukup panjang, khususnya di Inggris pada abad ke-13.
Dia menuturkan, di Inggris, kasus penyelundupan wol marak terjadi setelah Raja Edward I membentuk lembaga Bea Cukai nasional dengan menetapkan bea atas barang-barang yang diperdagangkan saat itu. Pada masa yang sama, John Jacob Astor, lewat aksi penyelundupan alkohol ilegalnya berhasil tampil sebagai seorang jutawan pertama Amerika Serikat (AS) kala itu.
Kisah jutawan AS Jacob Astor bukan satu-satunya cerita tentang orang kaya yang berkiprah di bidang perniagaan dengan cara-cara culas. Di Indonesia, kisah serupa juga benar-benar terjadi sejak era Orde Baru.
Adalah Robby Tjahjadi, seorang pengusaha kelahiran Solo, sebagaiamna diceritakan Hoegeng dalam Hoegeng, Polisi, Idaman dan Kenyataan, merupakan seorang penyelundup ulung yang mampu meraup banyak keuntungan lewat aksi-aksi penyelundupannya.
Robby diduga menggunakan modus peminjaman paspor orang-orang tertentu. Mobil-mobil mewah yang ia selundupkan dibelinya dari luar negeri, dan kemudian diklaim milik pemegang paspor tersebut.
Untuk menghindari pajak, Robby seperti diceritakan mantan Kapolri Hoegeng, mencantumkan keterangan di surat jalan bahwa kendaraan mahal tersebut statusnya pindahan si pemilik, yang diklaim pernah bertugas di luar negeri.
Menjadi penyalur mobil mewah selundupan dilakukan Robby sejak 1960-an. Sejumlah mobil mewah selundupan itu di antaranya Alfa Romeo, Fiat, Quick, BMW, Marcedes Benz, Ford, Continental, Roll Royce, dan lian-lain. Atas kasinya itu, Robby menjadi salah satu orang terkaya ketika itu.
Robby ketika itu diduga tidak melakukan praktik kotornya itu secara sendirian. Ia disebut melibatkan beberapa petugas Bea Cukai dalam memuluskan aksi-aksi culasnya itu.
Mencari Sisi Lain
Apabila diperhatikan, hampir semua media, khususnya media arus utama (mainstream) secara kompak membingkai narasi tersebut sebagai sebuah bukti keberhasilan pemerintah.
Nyaris tak satupun media yang memberitakan sisi lain dari peristiwa ini. Alhasil, berkat pemberitaan positif yang dihembuskan secara masif, publik mendapatkan bias informasi dari tindakan pemerintah ini.
Padahal, jika dilihat sisi lainnya, dengan kejadian ini mestinya pemerintah melalui Kementerian terkait yang mengurusi persoalan ini patut melakukan evaluasi total atas kinerja di sektor bea cukai.
Dalam kadar tertentu, apa yang tengah dilakukan Kemenkeu bersama sejumlah instansi terkait yang diliput media bisa mengangkat citra positif pemerintah. Boleh jadi, ada nuansa framing dalam isu ini.
Secara konsep, framing memiliki keterkaitan erat dengan tradisi agenda-setting. Pada dasarnya framing merupakan sebuah pendekatan yang meyakini bahwa media cenderung memusatkan perhatian pada peristiwa-peristiwa tertentu dan kemudian meletakkanya ke dalam makna tertentu.
Upaya penggiringan opini tersebut menimbulkan apa yang dikenal sebagai framing effects atau suatu kondisi di mana masyarakat terpengaruh oleh informasi (bias) yang diproduksi berbagai sumber informasi, termasuk dari media.
Chong and Druckman dalam Framing Theory, menyebut fenomena framing effects merupakan sebuah kondisi dimana produksi (penyampaian) informasi atau kejadian secara langsung memiliki dampak terhadap perubahan opini masyarakat.
Dengan begitu, bisa dipahami jika kekompakan media akhir-akhir ini menyoroti sisi lain dari kasus penyelundupan, sembari memberikan penegasan kesan “kegesitan” pemerintah menangani persoalan ini, secara tak langsung telah membangun opini tentang kesuksesan pemerintah.
Alhasil, berkat pemberitaan media yang hanya fokus mengangkat sisi positif atas kasus ini, membuat publik tak lagi fokus pada hal lain di bidang ekonomi seperti ancaman resesi dan depresi ekonomi Indonesia di 2020 mendatang.
Seperti disentil Ekonom Unika Atma Jaya, A. Prasetyantoko, bahwa hal-hal yang perlu dipertimbangkan menghadapi potensi resesi tahun depan adalah krisis finansial, aliran modal keluar (capital outflow), dan depresiasi nilai tukar.
Dengan demikian, Kemenkeu seharusnya fokus membenahi masalah mendasar ini, menimbang kondisi keuangan negara yang saat ini sedang mengalami problem serius, baik dari sisi penerimaan negara yang meleset dari target, defisit APBN, hingga target penerimaan pajak yang justru mengalami shortfall (tidak sesuai target). (H57)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.