Site icon PinterPolitik.com

Metaverse, Feodalisme dan Pengkhianat Demokrasi?

CEO Meta, Mark Zuckerberg (Foto: LINE TODAY)

Metaverse menjadi salah satu topik yang paling dibicarakan di media sosial, dunia virtual itu bahkan dianggap sebagai bentuk baru internet. Di sisi lain, banyak yang khawatir metaverse justru dapat menjadi ancaman bagi negara dan masyarakat. Benarkah anggapan itu?


PinterPolitik.com

The more voluntary the society, the more feudalistic it is,” – Murray Rothbard, ekonom Amerika Serikat

Belum lama ini, dunia dihebohkan dengan yang namanya ‘metaverse‘. Meskipun sebenarnya bukanlah sebuah istilah baru, pergantian nama perusahaan raksasa media sosial Facebook Inc. menjadi Meta Inc., jadi pemantiknya. Orang-orang kemudian bertanya, apa sebenarnya metaverse?

Singkatnya, metaverse adalah sebuah dunia virtual dengan ekosistem sendiri yang mampu berfungsi secara utuh dan menyerupai dunia nyata. Di dalamnya, komponen teknologi internet modern seperti non-fungible token (NFT) dan mata uang kripto tidak hanya akan jadi fitur, tetapi juga akan diperkuat sehingga orang-orang bisa membangun jaringan bisnis sendiri di dunia virtual, kata Wakil Presiden divisi Metaverse Meta.

Ya, metaverse digadang-gadangkan akan menjadi bentuk baru internet.

Meski janji-janji yang disebutkan dalam beberapa artikel berita tentang metaverse terlihat sebagai solusi modern dari berbagai keterbatasan dunia nyata, beberapa pihak, utamanya pemerintah, mulai mengkritisi dan membatasi kekuatan yang dimiliki para perusahaan besar teknologi (big tech). Kekhawatirannya adalah, kapabilitas teknologi big tech yang semakin berkembang dapat mengganggu tatanan sosial, ekonomi, bahkan politik.

Baca Juga: Mark Zuckerberg Terlalu Disalah-salahkan?

Bukan hal yang aneh, di Amerika Serikat (AS), Meta dalam beberapa tahun terakhir ini dikenakan kasus pelanggaran data pribadi, hoaks, sampai penyebaran ujaran kebencian.  Mantan karyawan Meta, Frances Haugen bahkan sempat bertestimoni bahwa bekas perusahaannya tahu tentang ujaran kebencian yang berkeliaran di platform-nya, namun tidak mau berbuat apa-apa untuk meredamnya karena ada kepentingan ekonomi.

Di Indonesia sendiri, kabar terbarunya adalah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) berencana membuat regulasi hak penerbit atau publisher rights media lokal di platform digital. Tujuannya adalah untuk mengikis dominasi big tech seperti Meta dan Google atas penerbitan konten di dunia maya.

Lantas, apa sesungguhnya konsekuensi metaverse yang perlu kita waspadai?

Feodalisme Digital

Peneliti teknologi informasi dari Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi menilai pembuatan regulasi publisher rights tampaknya tidak akan mudah, sejumlah negara lain pun saat ini kesulitan dalam membuat regulasi semacam ini. Hal tersebut dinilainya karena ada tarik ulur kepentingan dengan para pemilik platform digital.

Tidak heran, campur tangan big tech, khususnya Meta dalam politik terkenal memiliki reputasi yang buruk. Berkaca pada skandal Facebook-Cambridge Analytica, misalnya, tim kampanye mantan Presiden AS, Donald Trump diduga menggunakan data pengguna Facebook untuk membangun profil psikografis dan menentukan ciri kepribadian pengguna berdasarkan aktivitas mereka di Facebook.

Dengan pengetahuan ini, tim pemenangan mampu melakukan kampanye micro-targeting yang berupa penyebaran iklan dan semacamnya, yang dibentuk secara spesifik untuk kepribadian targetnya yang berbeda-beda.

Sementara itu, melihat bagaimana big-tech telah masuk ke jajaran perusahaan paling kaya di dunia hanya dalam waktu dua dekade, tidak aneh jika banyak orang yang kemudian khawatir kekuatan ekonomi dan politik mereka dapat mengganggu tatanan negara, terlebih lagi sampai saat ini negara masih kesulitan mengatur gerak-gerik para big tech.

Filsuf ekonomi asal Yunani, Yanis Varoufakis dalam video Capitalism has Become Techno-Feudalism mengenalkan konsep techno-feudalism untuk memperingatkan bagaimana perkembangan teknologi internet yang semakin tidak terpantau tidak hanya mengancam perlindungan data pribadi, tetapi juga sistem ekonomi dan politik secara keseluruhan. Ia melihat bahwa dewasa ini, big tech semakin menunjukkan potensinya sebagai aktor monopoli ekonomi modern.

Yanis menilai, kemampuan teknologi luar biasa yang dimiliki para big tech tidak hanya membuat mereka menjadi aktor yang paling berkuasa di dunia maya, tetapi kekuatan tersebut juga bisa kapan saja dikapitalisasi menjadi sesuatu yang bisa menggoyahkan legitimasi negara sebagai entitas politik tertinggi.

Baca Juga: Google, Facebook, dan Twitter Mengancam Demokrasi?

Bagaimana tidak, mereka adalah garda terdepan dalam pengembangan teknologi siber, mereka memantau dan tahu secara langsung bagaimana informasi dapat merubah atau membuat sebuah opini publik. Terkait dengan metaverse serta lingkungan ekonomi virtual, mereka menjadi penyedia ‘lahan’, yang tentu harga dan situasi kondisinya diatur oleh mereka.

Semua kekuatan yang dimiliki big tech ini sejalan dengan bagaimana feodalisme terjadi pada masa lampau. Kalau kita berkaca pada feodalisme klasik, para pemilik tanah dapat mempengaruhi kebijakan politik seorang raja, maka dalam techno-feudalism, para elite big tech lah yang menjadi tuan tanah dunia virtual, layaknya sekelompok aristokrat yang mampu merundingkan, bahkan mungkin mengatur, negosiasi kepentingan dengan otoritas negara.

Berbeda dengan kapitalisme, dalam tulisannya Techno-Feudalism is Taking Over, Yanis menjelaskan bahwa techno-feudalism memiliki satu perbedaan signifikan, yaitu pasar didominasi oleh segelintir orang yang jumlahnya sangat sedikit namun kuat tanpa tandingan. Sementara itu, segelintir orang tersebut tidak hanya menguasai pasar tetapi juga dapat menentukan perilaku pasar sesuai keinginan mereka.

Di sisi lain, Profesor informasi dan teknologi dari Imperial College London, Jeremy Pitt, dalam tulisannya The BigTech-Academia-Parliamentary Complex and Techno-Feudalism, mengatakan kekhawatiran utama dari techno-feudalism yang diperingatkan Yanis sesungguhnya adalah ancamannya kepada nilai kebebasan berpendapat di internet. Big tech seperti Meta mampu mendistorsi proses agregasi informasi, yang pada akhirnya menggiring publik ke pemahaman yang keliru akan suatu isu.

Dalam konteks pandemi Covid-19, contoh Jeremy, adalah penyebaran misinformasi tentang vaksin. Ada risiko yang nyata bagi kesehatan masyarakat jika pencarian informasi mengenai vaksin harus berhadapan dengan kelompok “anti-vaksin” dan penganut paham “corona adalah konspirasi” yang sangat gencar berkampanye di internet. Terlepas apakah ada kepentingan politik atau bisnis yang tidak ingin program vaksinasi berhasil, pengaturan informasi ini ujung-ujungnya dapat menumbangkan korban nyawa.

Lantas, sebagai paham yang seharusnya sejalan dengan perkembangan internet sebagai ruang publik, mampukah demokrasi bersanding dengan techno-feudalism?

Metaverse, Musuh Dalam Selimut?

Dalam bukunya yang berjudul Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment, Francis Fukuyama mengatakan sejak awal dikembangkan pada tahun 1990-an, banyak pengamat politik yakin internet akan menjadi kekuatan penting dalam mempromosikan nilai-nilai demokrasi. Informasi adalah kekuatan, dan jika internet dapat menjadi gerbang akses bagi orang-orang untuk memperoleh informasi, internet seharusnya menjadi simbol yang kuat bagi masyarakat negara demokrasi.

Namun sayangnya, internet telah menjadi alat untuk memobilisasi opini publik, bahkan identitas politik. Teori konspirasi yang secara tradisional umumnya dibantah melalui proses pengecekan fakta oleh editor dari suatu media kabar, akan dengan bebasnya berseliweran di media sosial, bahkan mampu mendapatkan penganut yang jumlahnya banyak, contohnya adalah kelompok anti-vaksin tadi.

Perkembangan sosial media menurut Fukuyama juga dapat memfasilitasi upaya untuk menodai dan bahkan merusak lawan politik dari seorang pejabat. Dan anonimitas yang muncul akibat kemajuan teknologi dapat menghilangkan batasan sejauh apa pejabat tersebut berkeinginan merusak oposisinya.

Nilai kebebasan berpendapat tidak lagi tercorengkan, melainkan telah menjadi ilusi dan kapital politik, serta ekonomi. Pada akhirnya, yang menjadi penguasa mutlak adalah para bos big tech, mereka mampu mendikte pemegang kekuasaan karena memiliki kendali penuh atas data yang ada di platform-nya.

Baca Juga: Facebook Cs Lampaui Jokowi?

Di sisi lain, skenario seperti inilah yang diperingatkan oleh filsuf Slovenia, Slavoj Žižek dalam Democracy and Capitalism Are Destined to Split Up. Ia melihat bahwa bentuk sistem ekonomi yang dianut sekarang semakin tidak membutuhkan demokrasi, karena para aktor yang terlibat dalam aktivitas politik dan ekonomi sadar bahwa opini publik akan lebih efisien dan efektif jika dijadikan hanya sebagai modal politik dan ekonomi.

Dari sini, kita bisa melihat bahwa metaverse dan masa depan internet bukanlah surga bagi demokrasi. Justru nilai demokrasi akan dimainkan untuk menjadi keuntungan pihak tertentu. Di sisi lain, dalam negara yang tidak bisa menerapkan sistem otoritarianisme, big tech akan semakin leluasa karena tanpa adanya ketegasan aturan, upaya untuk meredam big tech akan selalu diganggu oleh lobi-lobi kepentingan.

Inilah kemudian yang perlu kita renungi. Indikasi ancaman big tech sudah ada di depan mata, yang perlu dilakukan negara sebenarnya hanyalah penentuan sikap. Apakah Indonesia hanya berkeinginan menjadi negara penjaga malam?

Atau justru Indonesia berkeinginan dan memiliki keberanian untuk mengikuti negara seperti Tiongkok yang dengan keras melarang big tech asing berkecimpung di negaranya? Well, kita perlu tunggu dan lihat. (D74)

Exit mobile version