SBY jadi satu-satunya ketua umum parpol yang naik ke panggung di gelaran pidato kebangsaan Prabowo.
Pinterpolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]idato kebangsaan Prabowo Subianto di Plenary Hall JCC Senayan menyisakan banyak cerita. Salah satu yang dapat diperhatikan adalah kehadiran tokoh sekaliber Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di acara tersebut. Tak sekadar hadir, Ketua Umum Partai Demokrat juga sempat diajak naik panggung dan berfoto bersama Prabowo dan cawapresnya Sandiaga Uno.
Sekilas, mengajak berfoto merupakan hal yang biasa, apalagi jika sosok yang diajak adalah orang sepopuler SBY. Akan tetapi, jika melihat konteks acara tersebut, ada tokoh politik Indonesia, khususnya pemimpin partai lain yang juga hadir, tetapi mereka tidak mendapatkan ajakan serupa. Dalam konteks itu, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan dan Presiden PKS tidak mendapatkan keistimewaan serupa dengan SBY.
Hal ini tergolong unik terlebih jika melihat peran PAN dan PKS. Kedua partai itu sering kali lebih dianggap sebagai partner utama bagi Prabowo-Sandi selain Gerindra. Hal ini terutama karena kedua partai ini lebih dahulu mendukung Prabowo ketimbang dengan Demokrat.
Lalu adakah maksud dari ajakan Prabowo kepada SBY tersebut? Mungkinkah ada makna tersendiri dari foto ini jelang Pilpres 2019 nanti?
Gerakan Partai Biru
Demokrat kerap dianggap tidak sepenuh hati mendukung Prabowo-Sandi. Banyak yang menuding bahwa partai yang identik dengan warna biru ini hanya mencari aman saja di Pilpres 2019 agar tidak kehilangan sorotan.
Meski demikian, pernyataan seperti itu tampaknya tengah mulai dikikis. Demokrat mulai menunjukkan agresivitasnya dalam mendukung pasangan Prabowo-Sandi. Kehadiran SBY di Plenary Hall JCC Senayan boleh jadi salah satu indikasinya.
Demokrat sendiri tampak menunjukkan dukungannya kepada Prabowo di gelaran tersebut. Komandan Komando Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyebut bahwa ada banyak program SBY yang bergema di pidato Prabowo.
Secara khusus, SBY sebagai figur kunci Demokrat siap turun gunung untuk mengampanyekan Prabowo. AHY menyebut bahwa SBY dan dirinya siap berkampanye ke berbagai penjuru daerah melengkapi gerakan yang dilakukan oleh Prabowo maupun Sandi.
Beberapa waktu lalu, kabar bahwa SBY akan turun gunung di detik-detik akhir Pilpres 2019 sudah lebih dahulu mengemuka. Tak hanya itu, kian mesranya hubungan partai biru dengan Prabowo-Sandi juga dapat dilihat melalui momen-momen lain.
Prabowo dan Sandi misalnya pernah melakukan pertemuan dengan SBY di Mega Kuningan beberapa waktu lalu. Pertemuan itu diketahui banyak membahas strategi pemenangan dan kampanye mereka di Pileg dan Pilpres 2019.
Memang, SBY tidak terekam memberikan pernyataan apapun di depan publik kala itu. Akan tetapi, kehadiran SBY dan AHY di acara tersebut boleh jadi memang memiliki maksud khusus. Apalagi, SBY diberi panggung khusus untuk berbagi momen bersama Prabowo dan Sandi.
Menjadi Tulang Punggung
Berdasarkan pemandangan di acara Pidato Kebangsaan tersebut, boleh jadi ada semacam sinyal bahwa Demokrat akan menjadi pendukung utama langkah Prabowo-Sandi di Pilpres 2019. Bersama Gerindra, Demokrat bisa saja akan mendapat porsi besar untuk memenangkan pasangan nomor urut 02 tersebut.
Demokrat dengan berbagai kekuatan partainya boleh jadi tidak hanya akan sekadar all out bagi pasangan Prabowo-Sandi. Partai bernomor urut 4 di Pemilu 2019 ini boleh jadi akan menjadi tulang punggung bagi pemenangan Prabowo Sandi.
Dari sisi Demokrat, langkah ini tergolong wajar. Dengan tidak mengirimkan wakil di arena Pilpres, praktis mereka hanya dihadapkan pada dua pilihan pasangan capres yang tersedia. Dalam konteks ini, mereka tengah menjalankan strategi sebagai presidentialized party yang mengharapakan coattail effect atau efek ekor jas.
Dalam konteks ini, Demokrat tengah menempatkan posisi politiknya seperti yang diungkapkan oleh Thomas Poguntke dan Paul Webb. Di Pilpres 2019, Demokrat memainkan karakter mendukung politisi populer alih-alih politisi senior dari partainya. Hal ini dimaksudkan untuk memaksimalkan kemenangan di tingkat Pilpres.
Di antara kedua pilihan yang ada, Prabowo-Sandi boleh jadi yang paling aman bagi langkah mereka. Secara khusus, melalui pasangan ini, peluang untuk mendorong kader mereka di Pilpres 2024 tergolong lebih terbuka. Dalam konteks ini, ada kepentingan untuk mendorong AHY melaju di Pilpres 2024 melalui strategi mereka sebagai presidentialized party.
Pada titik ini, sebagai presidentialized party yang memiliki agenda di 2024, adalah hal yang aneh jika Demokrat tidak mengincar kemenangan di tingkat Pilpres. Konsekuensinya terlampau berat jika mereka tidak all out di Pilpres 2019 saat mendukung Prabowo.
Oleh karena itu, panggung istimewa SBY di pidato kebangsaan Prabowo boleh jadi menjadi ilustrasi bahwa Demokrat akan menjadi tulang punggung bagi pemenangan Prabowo-Sandi. Demokrat punya agenda khusus yang boleh jadi lebih besar ketimbang partai-partai lain di Pilpres 2019.
Strategi Lanjutan
Prabowo sendiri boleh jadi benar-benar amat membutuhkan kekuatan Demokrat dan terutama juga SBY. Hari pencoblosan sudah semakin dekat, sehingga dukungan all out dari presiden keenam ini akan sangat berharga bagi langkah pemenangannya.
Urgensi posisi Demokrat sebenarnya bisa dilihat dalam dimensi yang lebih spesifik. Selama ini, Prabowo kerap dianggap sebagai sosok yang memiliki pandangan populis. Gaya kampanyenya memang memiliki kemiripan dengan gaya kampanye pemimpin lain di dunia yang berhaluan populis.
Tak hanya itu, Prabowo juga cenderung diidentikkan dengan gerakan-gerakan Islam konservatif yang tengah bergeliat di Indonesia. Hal ini terjadi karena kelompok-kelompok tersebut memang secara terang-terangan mendukung pencapresan mantan Pangkostrad tersebut.
Dua hal tersebut bisa saja tidak akan menjadi faktor penting dengan semakin dekatnya hari pencoblosan. Hal ini berkaitan dengan pendapat William Liddle dalam opininya di Harian Kompas. Menurut Liddle, pada masa kampanye, gaya populis ala Soekarno memang lazim dilakukan oleh para capres. Gaya kampanye yang menyentuh wong cilik atau kaum Marhaen menjadi gaya yang dikedepankan di masa-masa kampanye.
Akan tetapi, pada saat menjabat, para pemimpin tersebut akan meniru gaya Soeharto. Liddle menyebutkan dua hal saat menggambarkan hal ini. Pertama, pemimpin akan menaruh orang-orang profesional untuk jabatan ekonomi penting, seperti Menteri Keuangan atau Gubernur Bank Indonesia. Kedua, pemimpin itu akan menunjuk orang-orang yang memiliki paham proteksionis.
Merujuk pada hal tersebut, semakin dekatnya hari pencoblosan membuat kampanye populis ala Soekarno sudah semakin berkurang urgensinya. Kebutuhan mulai bergeser kepada sosok-sosok yang bisa mengatur pengisian pos-pos tersebut dengan baik. Dalam hal ini, Demokrat tergolong lebih unggul jika dibandingkan dengan PAN dan PKS.
Kondisi tersebut bisa saja tergambar misalnya pada pembahasan strategi kampanye di kediaman SBY di Mega Kuningan. Kala itu, Prabowo diketahui meminta SBY untuk mengirimkan kader-kader terbaik Demokrat di bidang ekonomi untuk menjadi tim pakar Prabowo-Sandi.
Prabowo bisa saja sedang memasuki fase Soeharto yang diungkapkan William Liddle dengan merapatkan Demokrat. Share on XHal ini tergolong wajar karena Demokrat dan terutama SBY telah memiliki pengalaman sebagai operator di negara ini. Kemampuan Demokrat dan SBY ini penting untuk bisa meyakinkan pasar agar mau mendukung Prabowo. Tak hanya pelaku pasar tanah air, dunia Barat juga boleh jadi akan lebih tertarik pada Prabowo melalui relasinya dengan Demokrat dan SBY.
Kolaborasi Gerindra dan Demokrat kemudian akan lebih penting ketika mereka telah memasuki fase memimpin ala Soeharto. PAN dan PKS mungkin bisa menyokong di fase berkampanye ala Soekarno dengan populisme mereka, tetapi dengan hari pencoblosan yang kian dekat, kemesraan dengan Demokrat boleh jadi hal yang lebih penting.
Oleh karena itu, boleh jadi inilah yang menjadi sebab hanya SBY yang diundang naik ke panggung dan berfoto bersama Prabowo-Sandi. Pada akhirnya, penting untuk dilihat lebih jauh apakah fase Soeharto di kubu Prabowo ini apakah akan berlanjut hingga ke Istana Negara atau hanya di ujung masa Pilpres saja. (H33)