HomeNalar PolitikMereklamasi Lagu Indonesia Raya

Mereklamasi Lagu Indonesia Raya

Kecil Besar

Rencananya Juli nanti, setiap siswa sekolah harus menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dengan versi lengkap. Mengapa?


PinterPolitik.com

“Cara kita memantapkan rasa nasionalisme ya seperti ini. Jangan banyak melarang. Lebih baik kita counter dengan aktivitas yang lebih produktif. Yang akhirnya bisa mengurangi aktivitas yang tidak mendukung nasionalisme.”

[dropcap size=big]B[/dropcap]agi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhajir Effendy salah satu aktivitas yang dapat meningkatkan kebangsaan, salah satunya adalah dengan mewacanakan seluruh siswa SD, SMP, SMA/SMK untuk menghapalkan tiga stanza lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Sebelumnya, menurut Muhadjir, kita hanya mengenal lagu Indonesia Raya hanya satu stanza saja. Ia berharap dengan menghapalkan seluruh syair Indonesia Raya dan menyanyikannya di awal dan akhir pelajaran kelas setiap hari, rasa nasionalisme generasai muda dapat dipupuk sejak dini, sehingga mampu mengikis ajaran radikalisme.

“Sementara kita wajibkan satu stanza dulu, nanti bertahap tiga stanza. Yang penting anak-anak hapal dahulu,” kata Muhadjir, Sabtu (20/5). Kewajiban menyanyikan lagu Indonesia Raya ini tertuang dalam surat edaran Mendikbud sejak April lalu, namun pelaksanaannya harus menunggu Peraturan Presiden terlebih dulu.

Terlalu Berlebihan

“Sepertinya berlebihan. Orang akan bosan bernyanyi hingga tiga stanza.”

Pengamat Pendidikan Itje Chodijah menilai, rencana pemerintah mewajibkan siswa menyanyikan lagu Indonesia Raya dalam tiga stanza, berlebihan. Ia setuju kalau siswa harus sering menyanyikan lagu kebangsaan, namun satu stanza cukup. Maknanya yang seharusnya lebih dijelaskan pada siswa. “Tentu dijelaskan sesuai umur. Penjelasan untuk kelas 1 SD berbeda dengan kelas 1 SMA,” katanya, Minggu (21/5).

Itje menilai, menyanyikan lagu Indonesia Raya setiap hari tanpa mengetahui maknanya, tidak akan membuat para murid memahami jiwa dari lagu tersebut. Karena itu, ia berharap para guru dapat aktif memberikan penjelasan. “Perlu ada penjelasan dan diskusi agar murid paham setiap lirik serta perjuangan saat itu, sehingga nyanyinya khidmat,” sarannya.

Baca juga :  Hegemoni Dunia dan Misteri “Three Kingdoms” 

Sementara itu, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid mengatakan, Peraturan Mendikbud (Permendikbud) ini diperkirakan akan diterbitkan Juli 2017, yaitu pada tahun ajaran baru. “Tahun ini (target Peraturan Mendikbud). Tahun ajaran baru kita sudah pakai, Juli,” katanya di Kantor Kemendikbud, Jakarta, Kamis (1/6).

Hilmar menerangkan, kalau Kemendikbud juga masih menyusun pedomannya. Karena untuk menyanyikannya secara utuh, hanya dibutuhkan waktu sekitar 3,5 menit. Sehingga, ia yakin tidak akan menganggu pelajaran jika dinyanyikan seminggu sekali. “Ini peraturan baru, pedomannya lagi kami buat. Mempertimbangkan waktu, saya kira kalau seminggu sekali masih bisa,” terang Hilmar.

Sejarah Lagu Kebangsaan

 “Nasibkoe soedah begini. Inilah jang disoekai oleh Pemerintah Hindia Belanda. Biarlah saja meninggal, saja ichlas. Saja toch soedah beramal, berdjoeang dengan tjarakoe, dengan biolakoe. Saja jakin, Indonesia pasti merdeka.”

Itulah pesan terakhir WR Soepratman menjelang kematiannya, pada 17 Agustus 1938. Ia meninggal dalam kondisi sakit sebagai tahanan Belanda, karena lagu yang ia ciptakan tahun 1924 itu dianggap berbahaya. Tahun 1928, ia sengaja meninggalkan Makassar menuju Jakarta, khusus untuk memainkan lagu Indonesia Raya dihadapan peserta Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928, hari lahirnya Sumpah Pemuda.

WR Soepratman yang juga wartawan koran Sin Po, kemudian memuat lirik lagu tersebut pada edisi 27 Oktober 1928. Atas alasan keamanan, ia menyamarkan liriknya dengan mengganti Indonesia menjadi “Indoneis” dan Merdeka dengan “Moelia”. Menurut Des Alwi yang merupakan saksi sejarah, WR Soepratman menjual hak memperbanyak lagu itu pada Yo Kim Tjan, pemilik NV Populair.

Yo Kim Tjan kemudian membuat salinannya dan dikirim ke luar negeri untuk direkam dalam piringan hitam. Pada tahun 1929, Des Alwi mendengar rumor bahwa lagu itu digandakan dalam piringan hitam oleh Firma Tio Tek Hong. Konon, salah satu piringan hitam berisi lagu Indonesia Raya versi 3 stanza itu diproduksi di Lokananta, Solo – satu-satunya perekaman piringan hitam di saat itu.

Baca juga :  2029 Anies Fade Away atau Menyala?

Pada tahun 1944, Bung Karno mengetuai Panitia Panitia Lagu Kebangsaan Indonesia yang salah satu anggotanya Koesbini dan C Simandjuntak. Panitia ini menetapkan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan Indonesia, namun hanya stanza pertamanya saja. Kemudian, di tahun 1950, Kepala Studio RRI Jakarta Jusuf Ronodipuro meminta Jos Cleber dari Belanda menyusun aransemen baru untuk menyempurnakan lagu Indonesia Raya berdasarkan masukan dari Presiden Soekarno.

Upaya Menghalau Transnasional

“Yang mau kita lakukan, agar (kewajiban menyanyikan Indonesia Raya) tidak menjadi seremoni, adalah terus-menerus berbicara keterkaitan sejarah, siapa penciptanya, banyak cerita lainnya.”

Peraturan resmi mengenai lagu kebangsaan ini ditetapkan dalam PP No 44/1958 (dikeluarkan 26 Juni 1958), menyangkut Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, terdiri dari tiga stanza. Sejarah di balik lagu kebangsaan tersebut, menurut Hilmar, juga akan disosialisasikan. Sehingga lagu tersebut tak hanya sekedar seremoni semata.

Hilmar mengakui, kalau kewajiban ini juga dilatari oleh adanya gerakan transnasional keagamaan yang telah merambah dunia pendidikan. “Kita lihat sudah ada serangan-serangan terhadap pondasi negara, seperti Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Simbol-simbol negara mulai ditinggalkan, bendera sekarang ada yang dianggap lebih unggul. Ini mesti ditangani dan dihadapi secara sistematis,” kata Hilmar.

Mirisnya, ada juga pihak yang menganggap lagu Indonesia Raya dengan tiga stanza ini sebagai salah satu aksi menyebarluaskan paham komunisme. “Itu sebabnya, kami ingin membuat usaha ini universal, artinya semua sekolah harus menjalani dan menjalankan sesuai cara yang tengah dibuat aturannya,” papar Hilmar yang juga akan menyisipkan materi sejarah di balik perjalanan lagu kebangsaan itu.

(Berbagai sumber/R24)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Kongres, Mengapa Megawati Diam Saja?

Dengarkan artikel ini. Audio ini dibuat dengan teknologi AI. Kongres ke-6 PDIP disinyalir kembali tertunda setelah sebelumnya direncanakan akan digelar Bulan April. Mungkinkah ada strategi...

Di Balik Kisah Jokowi dan Hercules?

Tamu istimewa Joko Widodo (Jokowi) itu bernama Rosario de Marshall atau yang biasa dikenal dengan Hercules. Saat menyambangi kediaman Jokowi di Solo, kiranya terdapat beberapa makna yang cukup menarik untuk dikuak dan mungkin saja menjadi variabel dinamika sosial, politik, dan pemerintahan.

Prabowo dan Strategi “Cari Musuh”

Presiden Prabowo bertemu dengan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri pada Senin (7/4) kemarin. Mengapa Prabowo juga perlu "cari musuh"?

Hegemoni Dunia dan Misteri “Three Kingdoms” 

Di dalam studi politik internasional, perdebatan soal sistem seperti unipolarisme, bipolarisme, dan multipolarisme jadi topik yang memicu perbincangan tanpa akhir. Namun, jika melihat sejarah, sistem hegemoni seperti apa yang umumnya dibentuk manusia? 

The Game: PDIP Shakes the Cabinet?

Pertemuan Prabowo dan Megawati menyisakan tanda tanya dan sejuta spekulasi, utamanya terkait peluang partai banteng PDIP diajak bergabung ke koalisi pemerintah.

Saga Para Business-Statesman

Tak lagi seputar dikotomi berlatarbelakang sipil vs militer, pengusaha sukses yang “telah selesai dengan dirinya sendiri” lalu terjun ke politik dinilai lebih ideal untuk mengampu jabatan politis serta menjadi pejabat publik. Mengapa demikian?

Yassierli, PHK, dan Kegagalan Menteri Dosen

Gelombang PHK massal terjadi di banyak tempat. Namun, Menaker Yassierli tampak 'tak berkutik' meski punya segudang kajian sebagai dosen.

Titiek Puspa: ‘Pinnacle’ Nyanyian Soeharto?

Penyanyi legendaris, Titiek Puspa, yang meninggal dunia pada Kamis (10/3) kemarin kerap disebut "penyanyi Istana." Mengapa demikian?

More Stories

Informasi Bias, Pilpres Membosankan

Jelang kampanye, pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oposisi cenderung kurang bervarisi. Benarkah oposisi kekurangan bahan serangan? PinterPolitik.com Jelang dimulainya masa kampanye Pemilihan Presiden 2019 yang akan dimulai tanggal...

Galang Avengers, Jokowi Lawan Thanos

Di pertemuan World Economic Forum, Jokowi mengibaratkan krisis global layaknya serangan Thanos di film Avengers: Infinity Wars. Mampukah ASEAN menjadi Avengers? PinterPolitik.com Pidato Presiden Joko Widodo...

Jokowi Rebut Millenial Influencer

Besarnya jumlah pemilih millenial di Pilpres 2019, diantisipasi Jokowi tak hanya melalui citra pemimpin muda, tapi juga pendekatan ke tokoh-tokoh muda berpengaruh. PinterPolitik.com Lawatan Presiden Joko...