HomeNalar PolitikMerehabilitasi Kebencian Media Sosial

Merehabilitasi Kebencian Media Sosial

Kecil Besar

Penghina Bu Iriana bahkan belum sempat kena hukum, tapi akun-akun lain yang menghina Presiden Jokowi muncul kembali. Hoax dan ujaran kebencian ternyata memang lebih dekat dibandingkan urat nadi dan cepat berlipat ganda dibanding ikan mola-mola.


PinterPolitik.com

 

[dropcap size=big]B[/dropcap]aik Kaesang maupun Gibran, mungkin terlihat santai ketika sebuah meme yang menjelekkan ibunya berseliweran di Instagram. Anak pertama Presiden Jokowi itu bahkan secara santai bilang untuk memaafkan saja si penyebar kebencian.

Sebelas dua belas dengan sang kakak, Kaesang juga tak ambil pusing. “Yo orapopo, Mas. Maafkan wae,” begitu tulisnya di Twitter. Beberapa hari kemudian, kita sudah dengar pembuat meme itu ditangkap di belahan Jawa Barat. Terduga yang bernama D (21) ini mengaku kecewa terhadap rezim pemerintahan Jokowi. Dari kekecewaan yang terpelihara itu, meme dan luapan ujaran kebencian serta hoax terus direproduksi dari gawainya.

Saat D masih dalam proses pemeriksaan di Polres Bandung, ternyata akun-akun baru yang satu aliran dengannya sudah lahir. Kemunculannya sangat cepat dan sporadis layaknya bakteri. Sempat kecewa, namun kepolisan tak lagi kaget melihatnya. Ini adalah kasus hoax dan ujaran kebencan yang kesekian kali dihadapi.

Tapi, apakah perlu pemilik akun-akun baru penghina Jokowi ini harus kembali ditelisik, ditangkapi satu persatu, lalu dijebloskan ke penjara?

Ujaran Kebencian, Tersedia Seperti Heroin

Memberantas akun-akun kebencian yang menghina Jokowi dan keluarganya akan jadi pekerjaan rumah paling sulit. Tak hanya keuletan saja yang dibutuhkan, ketelitian, kesabaran pasti selalu jalan beriringan. Membasmi ujaran kebencian dan hoax yang bertebaran di internet, tak jauh berbeda dengan membasmi narkoba, sebab mereka bekerja dalam kerangka sistem yang sama. Benar sekali, kerangka bisnis.

Baca juga :  The Danger Lies in Sri Mulyani?
Foto:CNN

Tak akan ada ujaran kebencian dan hoax jika tak ada yang meminta. Layaknya bisnis, mereka dibuat karena adanya permintaan. Penyebar kebencian dan hoax ini bisa kita ibaratkan sebagai bandar narkoba yang tahu pekerjaannya bertentangan dengan hukum. Tapi di sisi lain, ada yang memesan ‘barang’ itu. Bedanya, pihak pemesan ini tidak datang dari seseorang yang berkegantungan, tapi orang yang memiliki kepentingan.

Jika sudah ada kepentingan dan uang, tentu saja racikan paling berbahaya dan ‘sakti’ digunakan. Dengan hoax, SARA diamainkan sedemikian rupa. Tak peduli jika itu merugikan orang lain, asalkan kepentingannya terwujud, nafsunya tunai sudah.

Jika sudah begitu, si pemesan akan ketagihan luar biasa. Satu pihak untung, yang lainnya lega karena hasratnya tertampung. Dari sana, siklus bisnis akan terbentuk dengan sendirinya. Permintaan (hoax dan ujaran kebencian) akan terus datang dan direproduksi selama ada permintaan dan tentu uang di dalamnya.

Direhabilitasi, Bukan Ditangkap?

Pasti sebaran konten hoax dan ujaran kebencian itu membuat kesal setengah mati. Jika bisa memaafkan, namun bohong kiranya jika Ibu Iriana, bahkan kedua putera Jokowi tak kesal melihat hoax datang silih berganti. Tapi,sekali lagi, penyebar ‘racun’ itu tak bisa pula dianggap sebagai orang jahat. Mereka, para pembenci dan pembuan konten itu bisa jadi adalah orang-orang haus kasih sayang yang kurang kuat tanjakan finansialnya.

(foto: KOMPAS)

Bisa jadi, karena tuna asmara, mereka menjelma menjadi anonim dan bebas menghina dan merendahkan orang lain. Ditambah uang, mereka hanya akan menjadi tuna asmara anonim yang giat menyebar benci. Nah, orang-orang seperti ini akan ‘aneh’ jika dijebloskan ke penjara. Sebab konseling dan terapi mental lebih penting untuk kejiwaan mereka.

Baca juga :  2029 Anies Fade Away atau Menyala?

Jika sudah membawa unsur SARA dalam ujaran kebencian dan hoax, maka undang-undang perlu dibentuk sebab ujaran kebencian dan hoax ini menimbulkan berbagai dampak buruk yang susah untuk dilokalisir. Ujaran kebencian dan  hoax yang dilakukan haters ,tanpa pijakan informasi, data, dan logika yang masuk akal, sangat berbahaya dan tak hanya bisa ditangkal dengan penangkapan dan Surat Edaran Kapolri.

Bisnis konten ujaran kebencian juga harus ditutup sampai ke akarnya. Bisnis serupa akan laris manis di masa depan, terutama di momen-momen politik. Permintaan harus ditutup, jika tidak, jasa penyebaran konten ujaran kebencian dan berita hoax akan terus menerus bermunculan. Jika demikian, apakah kamu mau ikut mendukung? Berikan pendapatmu. (Berbagai Sumber/A27).

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo Lost in Translation

Komunikasi pemerintahan Prabowo dinilai kacau dan amburadul. Baik Prabowo maupun para pembantunya dianggap tak cermat dalam melemparkan tanggapan dan jawaban atas isu tertentu kepada publik, sehingga gampang dipelintir dan dijadikan bahan kritik.

2029 Anies Fade Away atau Menyala?

Ekspektasi terhadap Anies Baswedan tampak masih eksis, terlebih dalam konteks respons, telaah, dan positioning kebijakan pemerintah. Respons dan manuver Anies pun bukan tidak mungkin menjadi kepingan yang akan membentuk skenario menuju pencalonannya di Pilpres 2029.

The Pig Head in Tempo

Teror kepala babi dan bangkai tikus jadi bentuk ancaman kepada kerja-kerja jurnalisme. Sebagai pilar ke-4 demokrasi, sudah selayaknya jurnalisme beroperasi dalam kondisi yang bebas dari tekanan.

PDIP Terpaksa “Tunduk” Kepada Jokowi?

PDIP melalui Puan Maharani dan Joko Widodo (Jokowi) tampak menunjukan relasi yang baik-baik saja setelah bertemu di agenda Ramadan Partai NasDem kemarin (21/3). Intrik elite PDIP seperti Deddy Sitorus, dengan Jokowi sebelumnya seolah seperti drama semata saat berkaca pada manuver PDIP yang diharapkan menjadi penyeimbang pemerintah tetapi justru bersikap sebaliknya. Lalu, kemana sebenarnya arah politik PDIP? Apakah akhirnya secara tak langsung PDIP akan “tunduk” kepada Jokowi?

The Irreplaceable Luhut B. Pandjaitan? 

Di era kepresidenan Joko Widodo (Jokowi), Luhut Binsar Pandjaitan terlihat jadi orang yang diandalkan untuk jadi komunikator setiap kali ada isu genting. Mungkinkah Presiden Prabowo Subianto juga memerlukan sosok seperti Luhut? 

The Danger Lies in Sri Mulyani?

IHSG anjlok. Sementara APBN defisit hingga Rp31 triliun di awal tahun.

Deddy Corbuzier: the Villain?

Stafsus Kemhan Deddy Corbuzier kembali tuai kontroversi dengan video soal polemik revisi UU TNI. Pertanyaannya kemudian: mengapa Deddy?

Sejauh Mana “Kesucian” Ahok?

Pasca spill memiliki catatan bobrok Pertamina dan dipanggil Kejaksaan Agung untuk bersaksi, “kesucian” Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok seolah diuji. Utamanya, terkait pertaruhan apakah dirinya justru seharusnya bertanggung jawab atas skandal dan kasus rasuah perusahaan plat merah tempat di mana dirinya menjadi Komisasis Utama dahulu.

More Stories

Jangan Remehkan Golput

Golput menjadi momok, padahal mampu melahirkan harapan politik baru. PinterPolitik.com Gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 tunai sudah. Kini giliran analisis hingga euforia yang tersisa dan...

Laki-Laki Takut Kuota Gender?

Berbeda dengan anggota DPR perempuan, anggota DPR laki-laki ternyata lebih skeptis terhadap kebijakan kuota gender 30% untuk perempuan. PinterPolitik.com Ella S. Prihatini menemukan sebuah fakta menarik...

Menjadi Pragmatis Bersama Prabowo

Mendorong rakyat menerima sogokan politik di masa Pilkada? Prabowo ajak rakyat menyeleweng? PinterPolitik.com Dalam pidato berdurasi 12 menit lebih beberapa menit, Prabowo sukses memancing berbagai respon....