Site icon PinterPolitik.com

Meredam Sekam Kebencian

Aksi 411 (Foto: Istimewa)

Politik kebencian ibarat bara dalam sekam, hanya redam sekejap dan dapat dipantik membara lagi bila dibutuhkan.


PinterPolitik.com

Liputan dari Vice berjudul Facebook Fueled Violence and Hatred in Rohingya Crisis, UN Investigator Says menarik untuk diperhatikan lebih jauh. Tulisan tersebut tak hanya mengupas bagaimana genosida di Rakhine, Myanmar terus terjadi, namun juga dapat membuka cakrawala pandang baru tentang konflik sosial, khususnya yang berbasis identitas politik di era kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.

Yanghee Lee, penyidik HAM PBB yang dikutip dalam liputan itu, mengatakan bahwa Facebook menjadi medium yang sangat berkontribusi, bahkan determinan, dalam kasus Rohingya. Sangat mungkin, berkat ujaran kebencian kepada Muslim Rohingya—dual identitas minoritas di Myanmar—maka pemerintah Myanmar mendapatkan legitimasi penuh untuk melakukan pembersihan etnis.


Senada dengan tulisan tersebut, Time menulis tentang adanya kelompok-kelompok Buddha ultranasionalis di Myanmar yang memiliki banyak akun buzzer di Facebook. Kelompok ini disebut cukup dekat dengan rezim militer Myanmar, dan tentu saja tak menutup kemungkinan keduanya saling mendukung dalam kasus Rohingya. Facebook, sebagai pihak yang berkapasitas mengontrol konten dalam mediumnya, telah memblokir salah satu akun biksu ultranasionalis Myanmar terbesar bernama Wirathu.

Sebanyak lebih dari 671 ribu penduduk Rohingya telah melarikan diri dari tanah mereka di Rakhine, sejak bulan Agustus 2017. Kejahatan sistematis yang dilakukan oleh rezim ultranasionalis dengan legitimasi kalangan religius mayoritas terus langgeng hingga saat ini.

Ujaran kebencian terus menerus menjadi minyak bagi api kebencian etno-religius di Myanmar. Mirip dengan yang terjadi di Myanmar, Indonesia juga memiliki api kebencian yang sama di tengah masyarakatnya.

Bara dalam Sekam

Peribahasa “bara dalam sekam” sangat tepat digunakan untuk masalah-masalah kebencian di Indonesia. Masyarakat Indonesia memang punya perekat nasionalisme yang kokoh, yang tertuang dalam slogan-slogan dan ikatan sejarah-geografis. Akan tetapi, ikatan tersebut nyatanya tidak cukup meredam bara kebencian yang masih terjadi hingga detik ini. (Baca juga: Khayalan Nasionalisme Jokowi)

Dalam sejarahnya, Indonesia memang telah sukses mengakomodasi banyak identitas, dengan melahirkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Pancasila yang tidak bias etnis maupun agama tertentu. Minoritas nampak dirangkul dengan baik oleh para Bapak Bangsa.

Hal ini kontras dengan Myanmar yang telah mengerdilkan hak politik Rohingya sejak memorandum di awal negara tersebut berdiri pada tahun 1948. Kondisi lebih parah terjadi setelah junta militer berkuasa di tahun 1962. Penduduk Rohingya kehilangan identitas warga negaranya, menjadikan mereka masyarakat tanpa negara (stateless society).

Fakta ini menjadikan konflik di Rakhine menjadi sesuatu yang “dapat dimaklumi” karena merupakan ekses dari masalah ketiadaan status warga negara masyarakat Rohingya. Sementara di Indonesia, masalah kebencian terhadap minoritas bagaikan bara dalam sekam, kondisi perpecahan yang terjadi di dalam persatuan.

Masih banyak terjadi konflik horizontal di Indonesia

Menyusul gelombang gerakan kelompok Islam konservatif yang semakin masif, banyak pengamat menilai Indonesia saat ini tidak lagi menjadi rumah bagi minoritas. Parahnya, pihak-pihak tertentu menggunakan “pemasaran moral” eksklusif milik mereka, guna menjawab permasalahan sosial-ekonomi yang tidak dapat diselesaikan negara. (Baca juga: Moral Marketing Menjegal Jokowi)

Politik antarkelas sosial menjadi inti dari masalah, namun yang nampak di permukaan adalah politik kebencian berbasis Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan (SARA). Kampanye-kampanye berbau kebencian terhadap kelompok masyarakat tertentu amat mudah digunakan, karena masyarakat lebih mudah mencerna doktrin-doktrin dan dogma-dogma ketimbang memahami kompleksitas permasalahan ekonomi.

Doktrin-doktrin anti “asing dan aseng”, atau kampanye anti calon gubernur (cagub) DKI Jakarta yang Kristen dan Tionghoa, sampai kampanye fitnah yang menyerang cagub Jawa Tengah yang disebut ”Kristen berkedok Islam” adalah beberapa contohnya. Kampanye SARA—termasuk yang berbalut fitnah—sangat mudah memancing kebencian dan menggiring suara pemilih.

Bagi politisi yang mendapatkan kampanye SARA dari produk fitnah, mereka dapat menghindar dan menyebut kampanye lawannya sebagai fitnah—bahkan menghantam balik lawannya. Tapi, bila kampanye SARA menyerang seseorang yang memang minoritas, maka amat tidak beruntung baginya. Pemahaman akan politik kebencian ini berpeluang menjadi alat politik yang efektif jika digunakan. Politisi Partai Gerindra Fadli Zon misalnya, sempat berujar mengenai diperbolehkannya kampanye SARA selama tidak menghina. Bagi sebagian pihak, klaim tersebut tentu saja aneh dan patut dipertanyakan.

Sementara pihak pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo sebaliknya bersikap tegas bahwa penegak hukum (polisi, Komisi Pemilihan Umum/KPU) dapat menindak segala bentuk kampanye SARA dalam Pemilu.

Penindakan ini berlandaskan pada Pasal 4 huruf a dan b serta Pasal 16 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Dan bila ujaran kebencian itu dilakukan di ruang digital, maka penindakan berlandaskan Pasal 28 juncto Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Polisi saat meringkus The Family MCA, pelaku bisnis ujaran kebencian

Hukum-hukum memang harus ditegakkan untuk menopang demokrasi. Bagi demokrasi, hal seperti ini jelas menjadi poin minus, karena pembelengguan kebebasan minoritas tentu bukan bagian dari demokrasi.

Tapi, apakah berarti demokrasi itu anti-keikutsertaan agama dalam politik? Hal ini juga masih diperdebatkan.

Michael Driessen, pengamat politik dari University of Notre Dame setidaknya meyakini bahwa agama justru dapat menjadi landasan negara yang demokratis. Driessen memberi dua syarat, bahwa kelompok agama mayoritas harus melindungi minoritas dan tidak ada elemen dalam agama tersebut yang meragukan demokrasi sebagai sistem terbaik yang mampu merangkul semua pihak.

Tapi kalau kebencian berbasis SARA yang terus dibawa, bagaimana demokrasi Indonesia bisa merangkul semua golongan? Kalau masih ada kelompok yang anti-demokrasi, bagaimana demokrasi bisa hidup?

Kampanye Bersih Tanpa SARA

 

Kampanye berbasis isu SARA adalah satu bentuk kampanye lain selain kampanye hoaks dan kampanye investigatif. (Baca juga: Kampanye Investigatif, No Hoax!)

Kampanye hoaks adalah fitnah dan kebohongan yang dijadikan materi kampanye. Lawan yang terkena jenis kampanye ini memang dapat membantah dan selamat dari kerugian. Namun, kasus berbeda bila masyarakat mudah termakan kampanye-kampanye bohong.

Sementara, kampanye investigatif adalah hasil dari pengulikan “borok” lawan untuk keuntungan kampanye. Berbeda dengan hoaks, di sini lawan politik tidak dapat berbuat banyak melihat dosa masa lalunya dikorek-korek.

Bila keduanya berimplikasi pada hasil Pemilu dalam jangka pendek, tidak halnya dengan kampanye SARA. Kampanye jenis ini sangat dapat semakin memperburuk demokrasi, bahkan kesatuan bangsa dalam jangka panjang.

Pencari suaka dari Rakhine

Pelajaran penting dari kasus Rohingya dan kasus-kasus ujaran kebencian di Indonesia adalah bahwasanya kampanye kebencian bisa menjadi perusak kesatuan bangsa.

Girindra Sandino, Wakil Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) menyepakatinya. Menurutnya, kampanye yang sehat adalah yang sekaligus menjadi pendidikan politik. Pendidikan politik adalah proses pengenalan dan pembentukan karakter bangsa sesuai dengan nilai-nilai luhur yang dimiliki Indonesia sejak berdirinya.

Kampanye yang baik tentu saja adalah yang tidak menghasilkan politik partisan di tengah masyarakat, tapi justru dapat menumbuhkan partisipasi yang lebih produktif bagi demokrasi.

Bila kampanye kebencian yang diteruskan, tidakkah hal itu berdampak negatif bagi demokrasi?

Karenanya, di tahun politik ini penting bagi masyarakat untuk dapat membedakan ketiga jenis kampanye tersebut. Publik harus mampi memilah mana yang hanya sekedar menjadi alat penarik dukungan politik dan mana yang bisa berdampak bagi kepentingan bangsa dalam jangka panjang. (R17)

Exit mobile version