Para peserta Pilpres seperti berlomba melakukan kunjungan ke Singapura.
Pinterpolitik.com
[dropcap]S[/dropcap]ingapura memang mempesona. Negara tetangga Indonesia ini menjadi salah satu negara tujuan wisata utama masyarakat tanah air jika ke luar negeri. Konon, wisatawan mancanegara yang berkunjung ke negeri singa itu memang terbanyak dari Indonesia.
Ternyata, pesona Singapura tidak hanya berlaku bagi para wisatawan. Dalam beberapa waktu terakhir, para peserta Pilpres 2019 bergantian melakukan kunjungan ke negara bekas jajahan Inggris tersebut. Tidak sekadar berkunjung, capres dan cawapres tersebut hadir di panggung yang cukup mentereng.
Berbagai forum penting mulai dari panggung di universitas hingga konferensi internasional menjadi wahana bagi para peserta kontesasi politik Indonesia tersebut. Di sela-sela agenda tersebut, terselip pula agenda para kandidat untuk bertemu dengan Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Hsien Loong.
Terlihat bahwa ada pola yang berulang dalam kunjungan para capres dan cawapres ke Singapura. Merujuk pada kondisi tersebut, boleh jadi ada maksud khusus dari mereka. Lantas, ada apa di balik kunjungan ke Singapura para capres dan cawapres?
Kunjungan Beruntun
Singapura seperti kebanjiran agenda kunjungan dari capres dan cawapres negeri ini. Sepanjang Oktober dan November 2018, negara tersebut menerima lawatan dari peserta Pilpres 2019 secara bergantian. Negeri jiran itu seperti menjadi panggung bagi mereka untuk unjuk gigi di mata dunia.
Ma’ruf Amin jadi kandidat pertama yang menjejakkan kaki di negeri singa tersebut. Cawapres nomor urut 01 itu memberikan kuliah umum di sebuah panggung akademik di S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS) yang adalah sebuah think tank di Nanyang Technological University (NTU). Di sana, ia berbicara tentang Islam Wasatiyyah atau Islam garis tengah.
Tak hanya menjadi pembicara di panggung tersebut, Ma’ruf juga sempat menyelipkan agenda bertemu dengan PM Lee Hsien Loong. Ma’ruf menitipkan pesan harapan agar hubungan Indonesia dan Singapura tetap baik pada pertemuan tersebut.
Tak lama setelah Ma’ruf, cawapres nomor urut 02, Sandiaga Uno menyusul ke Singapura. Kala itu, Sandiaga diundang dengan kapasitas untuk memberi Public Lecture di Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) Yusof Ishak Insitute tentang masa depan ekonomi Indonesia.
Saat memberikan kuliah umum tersebut, Sandi sempat membahas pembangunan infrastruktur di era Jokowi. Dalam pernyatannya, meski mengakui pembangunan tersebut berjalan baik, mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu menyoroti persoalan lapangan kerja.
Sementara itu, kandidat petahana, Joko Widodo (Jokowi) hadir di negara tersebut dengan kapasitasnya sebagai kepala negara. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN jadi agendanya saat berkunjung ke negara yang identik dengan Lee Kuan Yew tersebut.
Hal tersebut boleh jadi agenda rutin bagi seorang kepala negara seperti Jokowi. Akan tetapi, bukan berarti kunjungan ke Singapura milik Jokowi sama sekali tidak memiliki makna. Di sana, tak hanya bertemu dengan kepala-kepala negara di wilayah ASEAN, mantan Wali Kota Solo tersebut juga sempat bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dan Wapres Amerika Serikat (AS) Mike Pence.
Prabowo Subianto jadi capres teranyar yang hadir ke Singapura. Agenda yang dihadiri oleh capres nomor urut 02 tersebut adalah menjadi pembicara di Gala Dinner The World in 2019 yang dihelat oleh majalah The Economist.
Seperti kunjungan-kunjungan lain, lawatan ini juga memberi kesempatan Prabowo untuk satu panggung dengan sejumlah tokoh. Ia misalnya berada satu forum dengan politisi Malaysia sekaligus putri Anwar Ibrahim, Nurul Izzah. Selain itu, ia juga sempat bertemu secara langsung dengan PM Lee Hsien Loong.
Politik Domestik
Berdasarkan pola tersebut, terlihat bahwa masing-masing capres dan cawapres menganggap serius keberadaan Singapura. Dalam beberapa kesempatan, hubungan antara Indonesia dan Singapura memang sempat mengalami pasang surut. Akan tetapi, hal itu tidak menyebabkan posisi penting Singapura mengalami penurunan.
Jika melihat pada sejarah, posisi penting Singapura ini dapat terlihat dari pola hubungan yang terbangun pada era Soeharto. Kala itu, terjadi perubahan hubungan dari semula diwarnai ketegangan, berubah menjadi hubungan yang lebih bersahabat.
Menurut Terence Lee Chek Liang, langkah tersebut dilakukan terkait dengan kepentingan politik Soeharto saat itu. Penjagaan rezim merupakan hal yang sangat mewarnai kebijakannya termasuk dalam urusan hubungan dengan Singapura. Oleh karena itu, hubungan baik dengan Singapura sebenarnya memiliki motif kepentingan politik domestik.
Tadi malam saya mendapat kesempatan untuk mengisi public lecture Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) Seminar dengan tema “Indonesia’s Future Economy” di Singapura. pic.twitter.com/ULRNEfFcHz
— Sandiaga Salahuddin Uno (@sandiuno) October 30, 2018
Ada tiga hal yang menyebabkan hubungan dengan Singapura memiliki dampak dalam politik domestik. Pertama, adalah urusan validasi eksternal terhadap berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kala itu, melalui hubungan dengan Singapura, berbagai kebijakan Soeharto untuk pembangunan mendapat pengakuan dari negara tersebut. Hal ini berlaku terlepas Soeharto menjalankan kebijakan represif untuk mendukung pembangunan tersebut.
Tak hanya itu, validasi eksternal ini penting untuk urusan yang lain. Kala Soeharto dianggap sebagai pemimpin yang korup, dukungan dari Perdana Menteri Lee Kuan Yew seolah menjadi tameng dari berbagai kritik padanya.
Kedua, adanya urusan ekonomi yang membantu pembangunan Indonesia. Menurut Chek Liang, hubungan dengan Singapura membantu rehabilitasi Indonesia, sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat terjadi secara berkesinambungan. Melalui pertumbuhan ekonomi ini, legitimasi pemerintahan Soeharto menjadi semakin kuat.
Terakhir, adanya keterlibatan konglomerat yang menjadi patronase bagi rezim. Memang, dalam konteks ekonomi secara keseluruhan, hubungan antara Indonesia dan Singapura sudah cukup menguntungkan. Akan tetapi, secara pribadi, ada beberapa kasus yang menggambarkan hubungan dua negara ini memberikan keuntungan tersendiri. Chek Liang menggambarkan proyek Pulau Bintan dan Batam yang ia sebut memberikan keuntungan kepada kroni Soeharto.
Meminta Restu?
Jika melihat pola-pola tersebut, boleh jadi langkah para peserta Pilpres dengan melakukan kunjungan ke Singapura memiliki motif serupa. Sekilas, mereka mungkin hanya ingin menghadiri forum-forum internasional saja. Akan tetapi, jika melihat posisi penting negeri singa, bukan tidak mungkin ada kepentingan politik domestik yang ingin ditempuh masing-masing kandidat.
Dari segi validasi eksternal misalnya, boleh jadi masing-masing capres seperti tengah meminta pengakuan internasional dengan kehadiran mereka di Singapura. Apalagi, negara tersebut kerap dianggap sebagai wajah dunia Barat di Asia Tenggara.
Dengan mengunjungi dan mendapat panggung besar di Singapura, para capres dapat mencari validasi eksternal tersebut dari jauh-jauh hari. Validasi ini berpotensi tidak hanya berlaku di tingkat bilateral dengan Singapura saja, tetapi juga secara global. Hal ini terkait dengan posisi Singapura yang dianggap sebagai wajah Barat di Asia.
KTT ASEAN-AS di Singapura, pagi tadi. Satu dekade ini, ekspor Amerika Serikat ke ASEAN meningkat 81%, menciptakan 550.000 lapangan kerja di AS dan 3.000-an perusahaan AS beroperasi di ASEAN.Sebaliknya, investasi ASEAN di AS meningkat 1.000%.
Ini hubungan yang sangat produktif. pic.twitter.com/GpBILUkmVF
— Joko Widodo (@jokowi) November 15, 2018
Dari sisi ekonomi, menjaga hubungan baik dengan Singapura bagi para capres akan sangat bermanfaat. Bagaimanapun, Singapura adalah negara dengan investasi asing paling besar di Indonesia. Terlihat bahwa kekuatan ekonomi negeri tersebut cukup kuat di Inegeri ini.
Kunjungan capres dan cawapres ini dapat memastikan agar investasi dari negeri tersebut tidak pergi ke mana-mana. Investasi ini dapat menjadi portofolio penting bagi capres dan cawapres nanti ketika menjabat. Seperti Soeharto, melalui langkah ini, presiden dan wakil presiden yang berkuasa nanti bisa mendapatkan legitimasi.
Selain itu, dalam urusan minyak, Indonesia sendiri mengalami ketergantungan pada negara yang bertetangga dengan Malaysia tersebut. Indonesia banyak melakukan sistem sewa kilang dengan negara tersebut untuk memproduksi minyak. Jika capres dan cawapres tidak menjalin hubungan baik dengan Singapura, bukan tidak mungkin urusan minyak ini jadi petaka bagi mereka di masa depan.
Sulit untuk tidak menilai bahwa tidak ada muatan politik di balik kunjungan capres-cawapres ke Singapura. Share on XDari sisi konglomerasi, sudah bukan rahasia bahwa banyak orang kaya asal Indonesia yang tinggal atau menyimpan dananya di Singapura. Oleh karena itu, boleh jadi sangat penting bagi para capres dan cawapres terlihat baik di Singapura agar dapat membangun patronase dengan para konglomerat yang beraktivitas di Singapura.
Melalui patronase dengan konglomerat-konglomerat itu, mereka bisa saja mendapatkan sejumlah keuntungan. Secara finansial, potensi aliran dana dari kocek konglomerat tersebut kepada mereka. Dari segi pengaruh, dukungan mereka juga penting untuk menjaga legitimasi kekuasaan saat memimpin.
Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, boleh jadi kunjungan ke Singapura ini memiliki kaitan dengan urusan politik domestik para peserta Pilpres 2019. Memang, sempat ada klaim bahwa beberapa kunjungan tak terkait Pilpres. Akan tetapi, melalui pola-pola yang ada, sulit untuk tidak melihat ada sesuatu di balik kunjungan mereka. (H33)