HomeNalar PolitikMeramal #ReformasiDikorupsi Jilid 2

Meramal #ReformasiDikorupsi Jilid 2

Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) kembali tuai kontroversi di masyarakat pada tahun 2021. Padahal, pada tahun 2019 silam, RKUHP menjadi salah satu rancangan undang-undang (RUU) yang timbulkan gelombang protes #ReformasiDikorupsi. Mungkinkah terjadi #ReformasiDikorupsi jilid kedua?


PinterPolitik.com

Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sempat menjadi kontroversi dan menjadi penyebab mencuatnya gerakan #ReformasiDikorupsi pada 2019 kini dibahas kembali oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah. Beberapa pasal yang berpotensi mendegradasi kualitas demokrasi Indonesia tetap dipertahankan dalam RKUHP ini, termasuk pasal mengenai penghinaan terhadap Presiden.

Salah satu pasal yang dimaksud yaitu Pasal 218 ayat 1 yang berbunyi, “Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.” Apabila penghinaan tersebut dilakukan melalui media sosial, sebagaimana termaktub dalam Pasal 219, maka hukuman pidana penjara diberlakukan paling lama hingga 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan.

Menurut Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly, pasal tersebut tetap dibutuhkan mengingat banyaknya penghinaan yang merendahkan Presiden. Selain itu, menurut politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani, berbeda dengan RKUHP sebelumnya, pasal ini merupakan delik aduan sehingga hanya berlaku ketika Presiden atau Wakil Presiden membuat laporan kepada aparat hukum.

Sebelumnya, pasal mengenai penghinaan presiden telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, tepatnya pada Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137. Namun, pasal-pasal tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2006 melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006.

Dalam putusan tersebut MK menilai bahwa pasal-pasal tersebut menegasikan prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum. Oleh karena itu, MK mengamanatkan pasal-pasal yang memuat penghinaan terhadap presiden tidak lagi dimuat dalam RKUHP karena mengancam proses demokrasi Indonesia.

Lalu, pertanyaan yang terlontar adalah apakah negara lain juga menerapkan pasal mengenai penghinaan terhadap Presiden. Apakah hukum tersebut malah memberikan preseden yang buruk?

Menyoal Pasal Penghinaan Presiden

Tidak hanya di Indonesia, pasal penghinaan presiden juga berlaku di sejumlah negara. Di Polandia, misalnya, menghina presiden di depan umum diancam penjara hingga tiga tahun.

Hukum ini tidak hanya berlaku untuk ‘melindungi’ presiden Polandia saja, melainkan juga berlaku untuk kepala negara yang berkunjung ke Polandia. Contohnya, ketika Presiden Rusia Vladimir Putin pada 2005 berkunjung ke Polandia, sebanyak 28 demonstran ditangkap akibat protes yang dilontarkan padanya.

Baca juga :  Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Selain Polandia, Turki dalam KUHP-nya mengatur hukuman bagi seseorang yang menghina presiden dengan hukuman pidana dalam jangka waktu satu hingga empat tahun penjara – dan hukuman tersebut bertambah hingga enam tahun bila penghinaan terhadap Presiden dilakukan di depan umum. Tidak hanya penghinaan terhadap presiden, KUHP Turki juga mengatur hukuman terhadap penghinaan yang dilayangkan kepada founding father Turki, Mustafa Kemal Ataturk.

Namun, dua negara yang disebutkan merupakan negara yang masuk dalam kategori flawed democracy (demokrasi tidak sempurna) dan hybrid regime (rezim hibrida) sebagaimana pemeringkatan indeks demokrasi negara-negara dunia oleh The Economist Intelligence Unit (EIU). Lantas, apakah pasal mengenai penghinaan terhadap Presiden juga diterapkan di negara yang masuk ke dalam kategori full democracy (demokrasi penuh)?

Ternyata, walaupun Belanda merupakan salah satu negara yang masuk pada kategori full democracy, Belanda juga menerapkan pasal mengenai penghinaan terhadap kepala negara. Karena bentuk pemerintahan Belanda adalah monarki konstitusional, maka kepala negara Belanda merupakan raja sehingga pasal penghinaan terhadap kepala negara ditujukan untuk melindungi harkat dari Raja.

Penghinaan terhadap raja secara sengaja akan dikenai hukuman penjara hingga lima tahun atau dikenakan denda. Sementara itu, apabila penghinaan ditujukan untuk keluarga raja, maka hukuman penjara yang diberlakukan adalah hingga empat tahun kurungan penjara.

Menurut pendapat ahli hukum Prof. Mardjono Reksodiputro dalam putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006, pasal ini diberlakukan lantaran dalam sebuah negara monarki, pribadi raja melekat pada kepentingan negara sehingga membutuhkan perlindungan khusus. Oleh karena itu, pasal ini tidak diberlakukan pada perdana menteri yang merupakan kepala pemerintahan dan berpotensi sarat akan kritik dari setiap kebijakan yang dibuat olehnya.

Berbeda dengan Indonesia – di mana presiden merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, sehingga pasal mengenai penghinaan Presiden dinilai dapat menghambat saluran kritik dan aspirasi dalam setiap proses kebijakan publik. Lantas, apakah wacana pasal penghinaan presiden ini berpotensi menjadi alat persekusi di masa mendatang?

Jadi Alat Persekusi?

Dalam sejarahnya, artikel Amal Clooney dan Philippa Webb bertajuk The Right to Insult International Law, menyebutkan sedition laws atau hukum tentang penghasutan kepada publik dijadikan alat untuk membungkam suara minoritas oleh rezim yang berkuasa. Korban dari pemberlakuan hukum ini dimulai dari Gandhi, Galileo, hingga Nelson Mandela yang mendapatkan perlakuan persekusi akibat pandangannya.

Mahatma Gandhi dipenjara karena dianggap melakukan penghasutan kepada warga India untuk membangkang kepada pemerintah Inggris lewat ajaran Satyagraha. Sementara, Galileo dihukum penjara lantaran pendapatnya mengenai Bumi yang mengitari matahari telah bertentangan dengan keyakinan Gereja Katolik dan karyanya berjudul Dialogue Concerning the Two Chief World Systems harus ditarik peredarannya.

Baca juga :  Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Sementara, Nelson Mandela dihukum penjara seumur hidup disebabkan oleh anggapan bahwa dirinya bersekongkol untuk menggulingkan pemerintahan lewat perlawanannya terhadap politik apartheid.

Di Indonesia, sebelum putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006, pasal mengenai penghinaan Presiden telah menelan berbagai korban. Pada tahun 2003, Redaktur Eksekutif Harian Rakyat Merdeka Sumarto divonis hukuman penjara selama 6 bulan dengan masa percobaan 12 bulan lantaran judul pemberitaan yang dibuatnya dianggap menghina Presiden Megawati Soekarnoputri.

Bila benar pasal penghinaan presiden ini bisa disalahgunakan menjadi alat persekusi, apa konsekuensi lanjutan yang dapat timbul? Mungkinkah terjadi semacam ‘normalisasi’ terhadap upaya persekusi semacam ini?

Berujung Alat Hegemoni?

Dengan kejadian-kejadian masa lampau, sekiranya hukum yang awalnya digunakan sebagai alat sosial kontrol malah melenceng dari tujuannya. Menurut ahli hukum Amerika Serikat (AS)  Roscoe Pound, hukum berperan sebagai pedoman ke mana arah geraknya masyarakat serta bagaimana masyarakat seharusnya diatur sehingga hukum hadir guna memberikan pembaharuan yang memenuhi kepentingan dan kebutuhan manusia dalam masyarakat. Dengan demikian, kepentingan masyarakat untuk menyalurkan kritik dan aspirasi dalam proses kebijakan publik wajib diakomodasi oleh negara.

Hukum dalam konteks pasal mengenai penghinaan terhadap presiden malah menjadi alat hegemoni untuk mempertahankan status quo. Menurut filsuf asal Italia, Antonio Gramsci, untuk membangun kesadaran masyarakat atas hal apa saja yang dianggap benar atau salah, maka kelas yang dominan membentuk hegemoni dengan memanipulasi nilai dan budaya pada masyarakat.

Oleh karena itu, kelas yang dominan dapat memproduksi dan mereproduksi cara pandang masyarakat dalam melihat suatu peristiwa. Kedudukan hukum sebagai instrumen pengatur ‘harmonisasi’ masyarakat yaitu menjadi katalisator guna mengembangkan narasi yang ingin disebarkan oleh negara.

Bisa jadi, dalam hal ini, negara berusaha untuk membuat nilai bahwa kritikan terhadap presiden dalam proses kebijakan publik bukanlah merupakan hal yang lumrah. Padahal, kembali lagi sebagaimana hasil putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006, presiden tidak boleh mendapatkan privilege hukum yang membedakan dirinya dengan kedudukan rakyat sehingga nilai yang seharusnya berkembang terutama di negara demokrasi adalah kelancaran saluran untuk memberikan kritik terhadap pejabat publik, termasuk presiden.

Bukan tidak mungkin, bila pemerintah tetap kukuh memasukkan pasal penghinaan presiden, gelombang protes #ReformasiDikorupsi kembali mencuat jika tujuan dari RKUHP merupakan bentuk untuk mempertahankan status quo. Semoga tidak demikian. (V71)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

More Stories

Jokowi dan Sekuritisasi Minyak Goreng

Presiden Jokowi akhirnya melarang ekspor kelapa sawit di tengah kelangkaan minyak goreng. Apakah ini bentuk sekuritisasi ala Jokowi?

Sulit Jokowi Selesaikan Isu Papua

Di tengah pembahasan revisi Undang-Undang (UU) No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan penyelesaian persoalan Papua dan...

Siasat Sri Mulyani di Pajak Karbon

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memunculkan sinyal bahwa pemerintah berencana untuk memberlakukan pajak karbon pada individu ataupun badan usaha yang memiliki barang atau...