Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebutkan bahwa kebijakan darurat sipil perlu diberlakukan guna dampingi pembatasan sosial skala besar dan physical distancing dalam menangani pandemi virus Corona (Covid-19). Mungkinkah darurat sipil perlu diterapkan di masa mendatang?
PinterPolitik.com
“State of emergency, the planet’s having panic attacks” – Eminem, penyanyi rap asal Amerika Serikat
Siapa yang tidak panik dengan situasi yang tidak menentu di tengah pandemi global yang disebabkan oleh virus Corona (Covid-19)? Di Indonesia saja, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan pemerintah daerah lainnya mulai memberi perhatian khusus terhadap dampak-dampak yang dapat timbul akibat pandemi global satu ini pada pertengahan Maret lalu.
Kala itu, Jokowi memutuskan untuk membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 seiring dengan bertambahnya jumlah kasus positif. Pembentukan tim ini diikuti dengan imbauan pemerintah agar publik dapat tinggal di rumah saja.
Meski begitu, laju penularan sepertinya tetap tak terbendung. Jumlah kasus pun terus bertambah hingga menembus 1.528 kasus hari ini. Selain itu, jumlah pasien meninggal turut meningkat hingga menyentuh 136 kasus.
Penyebaran yang mulanya terjadi di Jakarta juga terus melebar ke berbagai provinsi. Per 30 Maret 2020, penyebaran telah terjadi di sebanyak 31 provinsi.
Keadaan ini disebut-sebut dapat memburuk dengan kapasitas sistem kesehatan Indonesia yang dianggap minim. Keluhan akan kurangnya alat-alat pelindung diri (APD) pun kerap datang dari para tenaga medis.
Bukan tidak mungkin kesiapan pemerintah yang dianggap minim turut menyebabkan laju penularan yang tak kunjung melambat. Banyak pihak akhirnya menilai bahwa pemerintah perlu menerapkan karantina wilayah (lockdown).
Brief kami untuk pak Presiden @jokowi semoga benar-benar bisa sampai ke beliau. Bantu sundul RT ya.
Mohon Segera Karantina Wilayah. #KarantinaWilayah #Lockdown @BNPB_Indonesia @aniesbaswedan @ridwankamil @ganjarpranowo @KhofifahIP
16 halaman
~a thread~ pic.twitter.com/SGJbhF6LqU
— KawalCOVID19 (@KawalCOVID19) March 28, 2020
Situs KawalCOVID-19.id misalnya, menyebutkan bahwa lockdown adalah sebuah keniscayaan di situasi seperti sekarang karena penyebaran Covid-19 kini terjadi secara eksponensial, bukan linear. Mereka juga memprediksi bahwa tingkat kematian dapat menyentuh angka satu hingga empat persen populasi (sekitar 1,6 – 7,5 juta orang) bila situasi tetap tak terkendali.
Beberapa pemerintah daerah juga dinilai ingin menerapkan kebijakan lockdown seperti Kota Tegal. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan misalnya, kembali meminta pemerintahan Jokowi untuk mempertimbangkan kebijakan lockdown dengan mengirim surat.
Berbagai situasi dan desakan seperti ini akhirnya membuat Presiden Jokowi memberikan tanggapan. Dalam rapat virtual yang dilakukan beberapa waktu lalu, mantan Wali Kota Solo tersebut menyebutkan bahwa pembatasan sosial skala besar dengan didampingi kebijakan darurat sipil diperlukan.
Sontak, pernyataan Presiden Jokowi ini membuat heboh publik. Pertanyaan-pertanyaan akhirnya pun timbul. Mengapa Jokowi merasa perlu menerapkan kebijakan darurat sipil? Apakah mungkin darurat sipil akan benar-benar diberlakukan?
Morale Masyarakat
Minimnya kesiapan pemerintah dalam menangani Covid-19 bisa saja memengaruhi semangat juang (morale) publik. Bagaimana pun juga, semangat yang ada di benak masyarakat ini penting bagi Presiden Jokowi dalam menghadapi pandemi ini.
Apa yang dimaksud dengan morale ini pernah dijelaskan oleh Joost A. M. Meerloo – seorang ahli kedokteran dan psikoanalis kelahiran Belanda – dalam tulisannya yang berjudul Morale in Our Society. Meerloo mendefinisikan “morale” sebagai kekuatan dalam (inner strength) individu – begitu juga kekuatan kohesi kelompok sosial.
Meerloo menghubungkan konsep morale ini dengan ekspektasi survival individu atau kelompok guna menghadapi tekanan (stress). Setidaknya, morale yang baik dapat eksis apabila terdapat persiapan dari orang/kelompok dalam menghadapi tantangan dan kefrustrasian, serta kapasitas dan kesiapan untuk berkorban demi tujuan bersama.
Konsep morale ini juga berhubungan dengan kepanikan publik. Meerloo mencontohkan hal ini dengan situasi Perang Dingin pada abad ke-20 silam. Pasalnya, kala itu, publik dianggap terpapar dengan banyak sugesti-sugesti massal – seperti persuasi dan propaganda – dengan semakin canggihnya teknologi komunikasi.
Lantas, bagaimana dengan situasi pandemi Covid-19 di Indonesia? Mungkinkah publik merasakan morale sosial yang semakin menurun?
Berkaca pada penjelasan Meerloo, bukan tidak mungkin morale publik Indonesia menurun dengan meningkatnya kasus-kasus Covid-19. Panic buying misalnya, bisa menjadi refleksi terkait bagaimana masyarakat merasakan ekspektasi survival dalam menghadapi tekanan akibat pandemi.
Sugesti-sugesti massal juga bertebaran di banyak media sosial maupun media massa. Kecemasan disebut-sebut dapat meningkat dengan berita-berita buruk mengenai perkembangan Covid-19 di Indonesia.
Morale tenaga kesehatan disebut-sebut juga menipis. Pasalnya, dengan minimnya ketersediaan APD membuat sejumlah tenaga medis telah tertular – bahkan meninggal dunia.
Dengan morale publik yang terus menurun, lantas, bagaimanakah dampak yang muncul terhadap pemerintahan Jokowi?
Morale yang dimiliki oleh publik memiliki hubungan tertentu dengan kepercayaan publik terhadap pemimpin. Bukan tidak mungkin, dengan morale yang rendah, kepercayaan (confidence) masyarakat terhadap pemimpin turut menurun.
Peter J. Murphy dan Kelly M. J. Farley berusaha untuk menjelaskan hal ini dalam tulisan mereka yang berjudul Morale, Cohesion, and Confidence in Leadership. Tiga komponen – morale, kohesi, dan kepercayaan terhadap pemimpin – ini biasanya dianggap penting dalam studi pertahanan.
Menurut Murphy dan Farley, tiga komponen tersebut memiliki korelasi yang saling memberi arti. Morale misalnya, dapat meningkat dengan disertai kepercayaan terhadap pemimpin yang tinggi.
Lantas, apakah mungkin kepemimpinan Jokowi dalam menangani Covid-19 dapat terpengaruhi oleh morale publik yang rendah?
Mungkinkah Darurat Sipil?
Bukan tidak mungkin kepemimpinan Jokowi ini semakin diragukan. Hal ini terlihat dari bagaimana banyak pihak menginginkan kebijakan lockdown meski Presiden Jokowi beberapa kali menegaskan bahwa pemerintah pusat tak akan berlakukan kebijakan itu.
Pemerintah-pemerintah daerah – seperti Kota Solo dan Kota Tegal di Jawa Tengah – mulai menerapkan kebijakan-kebijakan lockdown di tingkat lokal. Bisa jadi, ini merupakan pertanda bahwa morale dan kepercayaan para pemerintah daerah pada Jokowi dalam penanganan Covid-19 semakin menurun.
Selain kepercayaan terhadap pemimpin, kepercayaan diri (self-confidence) dari pemerintah juga perlu hadir. Meerloo dalam tulisannya sebelumnya menjelaskan bahwa kepercayaan diri pemimpin dan pemerintah turut menentukan morale publik.
Meerloo pun mencontohkannya dengan kepercayaan diri Perdana Menteri Inggris Winston Churchill dalam mengobarkan kampanye Battle of Britain kala Perang Dunia II. Bagi Meerloo, kepercayaan diri Churchill ini turut menentukan kekuatan Inggris kala itu.
Ketegasan pemerintah ala Churchill inilah yang mungkin tengah diperlukan oleh publik Indonesia dalam menghadapi Covid-19. Bagaimana tidak? Pemerintahan Jokowi disebut-sebut tidak memiliki rencana yang komprehensif dalam menangani pandemi ini.
Mungkin, dengan minimnya kepercayaan ini, Presiden Jokowi akhirnya mengusulkan ide untuk memberlakukan kebijakan darurat sipil. Mengacu pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 23 Tahun 1959, darurat sipil merupakan kebijakan yang diberlakukan oleh presiden selaku Penguasa Darurat Sipil Pusat.
Keadaan darurat sipil juga dinilai dapat memperbesar kekuatan presiden dengan menentukan segala tindakan dan keputusan Penguasa Darurat Sipil Daerah – dapat dijabat oleh kepala daerah. Selain itu, Penguasa Darurat Sipil Pusat dinilai dapat memobilisasi dan menerapkan keputusannya secara lebih otoritatif.
Bukan tidak mungkin darurat sipil diterapkan di kemudian hari guna mengembalikan kontrol dan self-confidence pemerintahan Jokowi atas pemerintah-pemerintah daerah. Pasalnya, tantangan atas kontrol Presiden Jokowi terhadap penanganan Covid-19 adalah ketidakpatuhan dan perbedaan sikap kebijakan pemerintah daerah dengan pusat – seperti soal lockdown.
Meski begitu, kemungkinan atas darurat sipil ini juga belum tentu dapat dibenarkan. Jokowi bisa saja menggunakan instrumen lain melalui Peraturan Pemerintah Pembatasan Sosial Berskala Besar yang baru ditekennya – disebutkan agar pemerintah daerah kembali sejalan dengan pemerintah pusat.
Yang jelas, kesimpangsiuran kebijakan dan rencana pemerintah dalam penanganan Covid-19 bukan tidak mungkin dapat memengaruhi morale dan kepercayaan publik pada pemerintah. Lagi pula, di situasi seperti ini, publik perlu ketegasan pemerintah yang sejalan dengan ekspektasi keselamatan (survival). Bukan begitu? (A43)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.