Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Revisi Undang-Undang (RUU) tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) menjadi sebuah Undang-Undang (UU) yang berlaku. Apa utilitas (manfaat) dari UU ini terlepas dari kontroversi yang ditimbulkannya?
PinterPolitik.com
“Cash rules everything around me. CREAM, get the money. Dollar dollar bill, y’all” – Wu Tang Clan, grup rap asal Amerika Serikat (AS)
Di tengah pandemi virus Corona (Covid-19) yang kini tengah menghantam Indonesia – baik dalam hal ekonomi maupun kesehatan masyarakat, sebagian besar dari kita mungkin mengisi waktu di rumah dengan bermain berbagai permainan (games). Salah satu permainan yang mungkin banyak dimainkan adalah Minecraft.
Game populer satu ini sebenarnya sudah cukup lama dirilis pada beberapa tahun lalu. Namun, Minecraft kabarnya kini kembali menjadi salah satu permainan yang digunakan di tengah pandemi, khususnya dunia virtual yang memungkinkan banyak orang untuk “bertemu”.
Dunia virtual Minecraft ini disebut-sebut dapat menjadi alternatif bagi dunia nyata yang kini dalam belenggu lockdown dan pembatasan sosial (social distancing). Bahkan, beberapa pagelaran – seperti wisuda dan pertemuaan keagamaan – dilaksanakan dalam dunia maya ala Minecraft.
Bagi mereka yang kenal dengan Minecraft, game ini bisa dibilang mirip dengan kondisi di dunia nyata. Layaknya planet bumi, game ini uniknya juga menyediakan beberapa material dari alam yang dapat digunakan, seperti kayu, tanah, batu, logam, dan sebagainya.
Tentunya, beberapa material yang dapat digunakan adalah batu bara dan beberapa mineral lainnya. Material-material ini dapat digunakan untuk membangun bangunan – atau hal-hal yang lain – yang ornamental.
Menurut saya ini 4 hal paling jahat dalam UU Minerba yang baru diputuskan DPR di tengah pandemi. pic.twitter.com/nqcVUMHshU
— Dandhy Laksono (@Dandhy_Laksono) May 14, 2020
Bila pemain di Minecraft dapat menggunakan bahan-bahan tersebut, begitu juga umat manusia di dunia nyata. Pasalnya, bahan-bahan mineral – seperti batu bara – tak dapat dipungkiri telah lama menjadi salah satu sumber energi bagi dunia, termasuk Indonesia.
Namun, tak seperti di Minecraft, pemberdayaan batu bara di dunia nyata sepertinya turut menimbulkan beberapa persoalan. Dalam hal keberlanjutannya terhadap lingkungan misalnya, batu bara dinilai turut berdampak pada emisi karbon yang berlebihan.
Belum lagi, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru saja mengesahkan Revisi Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU Minerba) menjadi UU di tengah pandemi Covid-19. Masyarakat akhirnya menilai pengesahan tersebut terkesan tergesa-gesa dan menguntungkan beberapa pihak tertentu tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan bagi masyarakat sekitar tambang.
Meski begitu, beberapa pihak menilai bahwa RUU Minerba ini memiliki urgensi tertentu di tengah pandemi Covid-19. Anggota Komisi Energi atau Komisi VII DPR, Maman Abdurrahman, misalnya mengklaim bahwa RUU tersebut mendesak untuk disahkan karena industri tambang memerlukan kepastian hukum.
Dengan dampak buruk sekaligus urgensi tertentu di balik pengesahannya, beberapa pertanyaan pun timbul di benak masyarakat soal RUU ini. Mengapa sebenarnya RUU ini terkesan tergesa-gesa disahkan? Bagaimana utilitas (manfaat) dari pengesahan RUU ini?
Plutocracy at Its Best?
Banyak orang menilai RUU Minerba dapat menguntungkan beberapa pihak tertentu. Kabarnya, pengesahan RUU ini dinilai untuk memberikan “karpet merah” pada para elite dan pengusaha.
Bisa dibilang, pengesahan RUU Minerba ini banyak menarik tanggapan negatif dari berbagai kalangan. Salah satu tanggapan negatif datang dari Indonesia Corruption Watch (ICW).
Lembaga watchdog di bidang antikorupsi ini menilai bahwa terdapat sosok pengusaha besar di balik pengesahan RUU Minerba ini. Asumsi ini didasarkan pada banyaknya elite politik yang memiliki afiliasi bisnis di bidang pertambangan batu bara.
Asumsi ini diungkapkan oleh Egi Primayogha – seorang peneliti dari ICW – pada tanggal 13 Mei lalu. Egi menyebut pengesahan RUU ini sebagai upaya state capture (pembajakan negara) yang dilakukan oleh elite-elite berkepentingan yang memiliki kekayaan dalam jumlah besar.
Plutokrasi adalah sebuah entitas yang dijalankan berdasarkan metode plutokratis, yang mana orang-orang yang memiliki kekayaan turut berkuasa. Share on XEgi juga menyebutkan beberapa nama dan perusahaan yang disebutnya turut bergerak di industri batu bara, seperti Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menkomarves) Luhut Binsar Pandjaitan dan Toba Group. Kekuatan-kekuatan besar inilah yang dianggap menggerakkan pengesahan oleh DPR dan pemerintah.
Dugaan yang Egi jelaskan ini sebenarnya bukanlah hal baru dalam sebuah negara. Adapun sebuah konsep yang disebut sebagai plutokrasi (plutocracy atau plutarchy) yang kerap digunakan untuk menjelaskan fenomena semacam ini.
Richard B. Wells dalam tulisannya yang berjudul Plutocratic Leadership menjelaskan bahwa plutokrasi adalah sebuah entitas yang dijalankan berdasarkan metode plutokratis, yang mana orang-orang yang memiliki kekayaan turut berkuasa.
Metode seperti inilah yang menurut Noam Chomsky tengah dijalankan di Amerika Serikat (AS). Bagi Chomsky, AS adalah negara di mana para perwakilan rakyatnya tak mendengarkan aspirasi dan opini masyarakat.
Bukan tidak mungkin plutokrasi ini juga berlaku di Indonesia. Bagaimana tidak? DPR dan pemerintah bisa jadi telah mengesahkan RUU Minerba tanpa memperhatikan kritik dan keluhan dari masyarakat.
Meski begitu, dengan kritik dan keluhan tersebut, RUU ini bisa saja memiliki manfaat tertentu. Terlepas dapat menguntungkan elite yang memiliki kekayaan, bagaimanakah utilitas RUU ini bagi Indonesia secara keseluruhan?
Utilitarianisme
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, RUU Minerba ini masih menuai kritik di masyarakat setelah disahkan oleh DPR. Meski begitu, beberapa pihak menilai pengesahan RUU ini juga disertai urgensi tertentu.
Setidaknya, seperti apa yang dikatakan oleh Maman, RUU Minerba ini dapat memberikan kepastian hukum bagi pelaku industri batu bara. Pasalnya, banyak produsen batu bara besar akan kehabisan masa berlaku izin Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) pada periode tahun 2020 hingga tahun 2025.
Bila PKP2B-nya habis, lahan tambang yang dikelola nantinya akan kembali ke tangan negara. Dari sini, persoalan muncul karena UU Minerba yang lama dinilai tidak memberikan jaminan soal perpanjangan izin-izin tersebut.
Persoalannya adalah perusahaan-perusahaan yang akan habis masa izinnya ini adalah produsen-produsen terbesar di Indonesia. Bukan tidak mungkin Indonesia secara nasional masih membutuhkan suplai batu bara dari perusahaan-perusahaan ini.
Ekonom Faisal Basri menilai bahwa terdapat urgensi – meski mengkritik cara DPR – di balik pengesahan RUU ini karena perusahaan-perusahaan tersebut merupakan penyumbang produksi batu bara sebesar hingga 70 persen. Hal ini bisa jadi berhubungan dengan kebutuhan energi Indonesia secara nasional.
Berdasarkan laporan capaian kinerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tahun 2019, batu bara masih menjadi energi yang dominan dalam bauran energi primer pembangkit listrik, yakni sebesar 60,5 persen.
Di sisi lain, RUU Minerba ini juga dinilai memusatkan kewenangan pemberian izin pertambangan dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat. Boleh jadi, hal ini dilakukan agar dapat menghindari lambatnya birokrasi perizinan di pemerintah daerah yang tak jarang juga disertai praktik perburuan rente (rent-seeking).
Selain itu, RUU ini bisa jadi berguna untuk menarik investasi pasca-pandemi Covid-19. Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) menilai RUU ini dapat memberikan kepastian bagi investor pertambangan dalam jangka panjang.
Dengan berbagai pertimbangan telah disebutkan, bukan tidak mungkin RUU Minerba memiliki utilitas (manfaat) tertentu bagi Indonesia – terlepas dari kontroversi yang diciptakannya. Hal ini bisa jadi sejalan dengan pendekatan utilitarianisme. Beberapa pemikir dari pendekatan ini adalah Jeremy Bentham dan John Stuart Mill.
Utilitarianisme setidaknya melihat bahwa tindakan moral yang paling benar adalah tindakan yang menciptakan kebaikan yang paling baik (the most good). Benar tidaknya suatu tindakan ini didasarkan pada konsekuensi yang diciptakannya. Dalam pandangan utilitarian, kebaikan dari setiap pihak perlu diseimbangkan menjadi kebaikan untuk semua (overall good).
Lantas, bagaimana dengan pengesahan RUU Minerba?
Mungkin, pemerintah dan DPR berdasarkan kontroversi dan urgensi dari RUU Minerba telah mempertimbangkan overall good yang diinginkan dalam cara pandang utilitarian. Bagaimana pun juga, good yang ada perlu dimaksimalkan melalui kebijakan pemerintah.
Meski begitu, berbagai pertimbangan ini belum pasti menjadi perhatian pemerintah dan DPR dalam pengesahan RUU Minerba. Yang jelas, masing-masing pihak memiliki good versinya sendiri yang nantinya dapat menjadi overall good bagi semuanya, entah good yang mana yang lebih dominan. (A43)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.