Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto memberikan klaim bahwa Jakarta masih mampu menangani lebih banyak pasien Covid-19 dengan jumlah tempat tidur tambahan dan tenaga kesehatan – seperti dokter magang dan relawan. Melihat klaim ini, strategi apakah yang sebenarnya diterapkan oleh sang Menkes?
“Seek only to preserve life, your own and those of others. Life alone is sacred” – Yasuo Kuwahara, mantan pilot Angkatan Udara Kekaisaran Jepang
Perjuangan dalam melawan musuh bersama merupakan sebuah tema yang sering diperlihatkan di banyak produk budaya seperti film. Tema-tema seperti ini banyak dijumpai di film-film kepahlawanan seperti Avengers: Infinity War (2018).
Dalam film tersebut, para pahlawan super yang tergabung dalam sebuah inisiatif bernama Avengersharus menghadapi musuh bersama yang datang dari sebuah planet dengan sebutan Titan. Musuh bersama yang bernama Thanos ini ingin menghapus separuh populasi makhluk hidup yang ada di seluruh alam semesta.
Tentu saja, apa yang diinginkan Thanos ini bertentangan dengan keyakinan dan keinginan para pahlawan super. Iron Man, Spider-Man, Captain America, dan sebagainya berjuang agar apa yang diinginkan Thanos tidak terjadi.
Namun, perjuangan mereka gagal dan sebagian dari kelompok pahlawan super tersebut harus sirna. Tidak hanya para pahlawan super, sebagian besar penduduk Bumi juga merasa sedih karena kehilangan orang-orang yang mereka sayangi.
Perjuangan untuk melawan musuh bersama oleh para Avengers ini sepertinya juga dapat menggambarkan situasi di dunia nyata saat ini. Pasalnya, setiap kalangan kini harus bergelut dengan sebuah virus yang dapat menyebabkan penyakit Covid-19.
Banyak orang harus berkorban agar virus ini dapat diatasi dan dihentikan penularannya. Para pengusaha kecil dan menengah, misalnya, harus merelakan sumber pendapatannya agar penyakit ini tidak menular akibat bisnis mereka.
Tidak hanya pengusaha, para politisi juga berkorban dengan menyisihkan sejumlah gajinya untuk penanganan Covid-19. Sebagian dari mereka yang maju dalam Pilkada Serentak 2020 juga diimbau untuk menahan diri agar tidak melaksanakan kegiatan-kegiatan yang berpotensi untuk memperparah penularan Covid-19.
Namun, dari semua kelompok tersebut, mereka yang paling berjuang dan berkorban banyak untuk melawan Covid-19 adalah tenaga kesehatan. Banyak dari mereka harus gugur dalam mengobati masyarakat yang makin hari makin banyak berjatuhan dalam melawan penyakit menular satu ini.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sendiri telah melaporkan bahwa seratus lebih dokter di Indonesia telah gugur akibat Covid-19. Tidak hanya dokter, sejumlah perawat dan tenaga kesehatan lainnya juga harus berkorban nyawa guna melawan penyakit ini.
Namun, Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto mengklaim bahwa ibu kota masih mampu menangani lebih banyak pasien Covid-19. Bahkan, sang Menkes membeberkan data bahwa kapasitas tempat tidur dan tenaga kesehatan dianggap masih mencukupi.
Tentu, klaim Terawan ini membuat bingung sejumlah orang – bahkan menimbulkan sejumlah pertanyaan. Mengapa sang Menkes tetap mengklaim bahwa fasilitas kesehatan masih mampu menangani pasien meski banyak dokter mulai berjatuhan? Lantas, strategi apa yang digunakan oleh Terawan?
Strategi Kamikaze?
Bukan tidak mungkin, pengorbanan para tenaga kesehatan ini ditujukan untuk menjaga kepentingan bersama. Apalagi, Covid-19 merupakan penyakit menular yang berdampak secara sosial dan ekonomi terhadap banyak kalangan.
Pengorbanan seperti ini bisa saja mirip dengan konsep dan istilah “kamikaze” yang banyak digunakan dalam Perang Dunia II. Kala itu, kamikaze merupakan nama dari unit khusus di angkatan udara Kekaisaran Jepang.
Shigeyuki Mori dalam tulisannya yang berjudul The Japanese Contribution to Violence in the World menjelaskan bahwa konsep kamikaze berkaitan erat dengan serangan bunuh diri dalam perang. Konsep ini juga dikaitkan dengan unsur budaya samurai di Jepang.
Dalam budaya itu, dikenal sebuah istilah yang disebut bushido – berarti jalan samurai. Konsep kamikaze di dalamnya mulai tumbuh ketika Restorasi Meiji berlangsung di Jepang yang akhirnya menumbuhkan semangat pengorbanan diri (self-sacrifice).
Meski kamikaze ini tidak berkaitan langsung dengan situasi terkini, beberapa pihak menilai bahwa pengorbanan diri ala Jepang ini menjadi relevan dengan situasi pandemi Covid-19. Bagaimana tidak? Banyak pihak dianggap harus melakukan “pengorbanan diri” dalam melawan penyakit menular satu ini.
Spanyol yang menjadi salah satu negara di mana Covid-19 merajalela, misalnya, dianggap menjadi salah satu contoh penerapan kamikaze yang relevan dengan pandemi kini. Pasalnya, di negara tersebut, banyak dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang harus mengorbankan diri guna merawat pasien-pasien Covid-19 tanpa alat pelindung diri (APD) yang lengkap.
Upaya bak kamikaze yang dilakukan oleh para tenaga kesehatan Spanyol tersebut juga dilaporkan oleh New York Times dalam salah satu videonya. Sejumlah tenaga kesehatan juga mengaku bahwa ini bentuk pengorbanan yang dilakukannya.
Tidak hanya Spanyol, upaya bak kamikaze juga terjadi Kashmir. Situasi serupa – seperti kurangnya APD – juga terlihat di wilayah tersebut.
Bahkan, pemerintah dan politisi setempat dinilai menaruh nyawa para tenaga kesehatan dalam risiko yang besar. Para politisi yang juga dinilai tidak memahami manajemen sains dinilai berharap agar para tenaga kesehatan bekerja layaknya kamikaze.
Jika para kamikaze di dunia kesehatan ini berjuang di Spanyol dan Kashmir, bagaimana dengan Indonesia? Apakah mungkin para tenaga kesehatan di Indonesia diharapkan berjuang layaknya kamikaze? Lantas, mengapa begitu?
Bak Operasi Militer?
Bukan tidak mungkin, para tenaga kesehatan di Indonesia juga berjuang layaknya kamikaze guna melawan Covid-19. Pasalnya, banyak dari mereka harus terpapar dan gugur dalam melawan penyakit menular yang bermula di Wuhan, Tiongkok ini.
Uniknya, diterjunkannya para kamikaze kesehatan ini bisa saja mirip dengan operasi militer. Terawan sendiri memiliki latar belakang dari kalangan militer, yakni Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD).
Persepsi ala operasi militer ini juga terlihat ketika Terawan membantu Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dalam menangani pandemi Covid-19 di Kota Pahlawan tersebut. Kala itu, sang Menkes memuji Risma karena penanganan pandemi di ibu kota Jawa Timur itu dilakukan layaknya menangani operasi militer.
Cara pandang ala militer ini juga menjadi masuk akal karena pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) memang dianggap menggunakan pendekatan militer dalam menangani pandemi ini. Bahkan, pendekatan ini juga diakui oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan yang mengatakan bahwa penanganan pandemi oleh pemerintah adalah semacam strategi militer.
Tangguh Chairil dalam tulisannya di The Diplomat menjelaskan bahwa strategi militer yang digunakan oleh pemerintah ini terlihat dari taktik yang diambil dalam penanganan pandemi Covid-19.
Strategi ala militer ini dapat dilihat dari bagaimana pemerintah tampak meremehkan virus ini. Menurut Chairil, taktik ini mirip dengan doktrin militer dalam menangani pemberontakan (counterinsurgency) – dengan tidak mengakui musuh sebagai lawan sepadan.
Selain itu, pendekatan militer juga terlihat dari bagaimana pemerintah kurang menjalankan transparansi dalam penanganan pandemi. Taktik ini merupakan bagian dari teknik propaganda yang biasa dilakukan dalam operasi menangani pemberontakan.
Pendekatan militer ini bisa jadi memengaruhi bagaimana strategi yang diterapkan oleh Terawan dalam menangani pandemi sebagai Menkes. Selain itu, dengan latar belakang militernya, sang Menkes bisa jadi melandaskan keputusan-keputusannya berdasarkan ability hypothesis.
Ability hypothesis sendiri merupakan refleksi atas pengetahuan praktis yang didasarkan pada pengalaman. Dalam kata lain, seseorang dengan ability hypothesis merasa dirinya memiliki pengetahuan akan cara untuk melakukan sesuatu berdasarkan pengalaman tersebut.
Meski begitu, gambaran kemungkinan yang telah dijelaskan di atas belum tentu benar melatarbelakangi apa yang diputuskan oleh Terawan. Yang jelas, dalam menangani pandemi yang kini semakin parah, sang Menkes tampaknya perlu mempertimbangkan bagaimana morale (keyakinan dalam menghadapi situasi bahaya) para tenaga kesehatan yang mulai kelelahan dan kewalahan. (A43)