Seri pemikiran Fareed Zakaria #21
Setelah sempat dinantikan, pada akhir pekan lalu Presiden Jokowi akhirnya memberikan pernyataan resmi atas isu yang terus berkembang di Prancis. Lalu, apakah respons yang agaknya lekat dengan pertimbangan momentum dan simbolisasi tertentu itu memiliki makna politis tersendiri?
Sebagai pemimpin dari negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, pernyataan dan sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap dinamika isu yang terus berkembang di Prancis memang cukup dinantikan.
Terbukti, setelah dirilis pada akhir pekan kemarin, pernyataan Presiden Jokowi langsung menghiasi berbagai media mancanegara, mulai dari negeri tetangga Malaysia dan Singapura, hingga Turki, Amerika Serikat (AS), serta Britania Raya.
Meski tidak segesit beberapa pemimpin negara lain seperti Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan ataupun Perdana Menteri (PM) Pakistan Imran Khan, nyatanya apa yang dikemukakan RI-1 pada Sabtu lalu juga mendapat apresiasi dari sejumlah kalangan di tanah air.
Presiden sendiri terlebih dahulu mengecam kekerasan yang terjadi di Paris dan Nice, sebelum kemudian mengecam keras pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron yang dinilai melukai umat Islam.
Kebebasan berekspresi yang mencederai kesakralan nilai dan simbol agama dikatakan eks Wali Kota Solo itu sebagai sesuatu yang tidak dapat dibenarkan dan harus dihentikan.
Nada apresiasi atas pernyataan tersebut salah satunya hadir misalnya dari pengamat geopolitik internasional, Teuku Rezasyah, yang menyebut bahwa belum ada pemimpin dunia yang memberikan kecaman terhadap Macron dengan santun, tanpa memusuhi, dan tidak melibatkan rakyat untuk melakukan boikot.
Dalam sebuah kesempatan pada pertemuan World Culture Forum yang diselenggarakan di Bali beberapa waktu silam, Fareed Zakaria sempat menyoroti bahwa dunia membutuhkan para pemimpin moderat yang lebih aktif dalam korelasinya pada konteks Islam dan toleransi.
Menjadi menarik ketika dalam menyatakan pernyataan dan sikapnya atas isu Prancis dan Macron, Presiden Jokowi seolah berupaya merepresentasikan apa yang disampaikan Zakaria tersebut dengan tampil bersama sejumlah tokoh lintas agama terkemuka.
Lantas pertanyaannya, mengapa Presiden Jokowi tampak memilih momentum dan simbolisasi tertentu dalam menyampaikan sikap resminya itu? Apakah semata-mata memang sebagai upaya untuk menghembuskan narasi yang tepat dan menyejukkan di tanah air, atau terdapat tujuan politis tersendiri pula yang mengiringinya?
Kalkulasi Tak Mudah?
Ya, momentum menjadi sorotan tersendiri dari reaksi yang diungkapkan Presiden Jokowi mengingat pernyataan yang menimbulkan polemik dari Macron telah sepekan menggegerkan dunia.
Namun mengingat sensitivitas isu, terdapat kemungkinan bahwa “keterlambatan” reaksi resmi dari Presiden Jokowi merupakan bagian dari delaying tactic. Brad Spangler dalam Decision-Making Delay menyebut frasa delaying tactics sebagai upaya memperlambat proses pengambilan keputusan yang dianggap “sulit” dan dapat digunakan dalam konteks seperti dalam dunia bisnis, kebijakan publik, hingga negosiasi diplomatik.
Sebelum Presiden Jokowi memberikan pernyataan resmi, terdapat berbagai reaksi baik dari dalam maupun luar negeri yang memang seolah bernarasi konfrontatif dan bahkan tak jarang pula yang beratmosfer konfliktual.
Mulai dari pengungkitan narasi imperialisme yang sempat dilontarkan Erdoğan serta eks PM Malaysia Mahathir Muhammad, sampai aksi boikot produk Prancis yang telah diimplementasikan di negara seperti Turki, Kuwait, hingga Qatar.
Di tanah air sendiri, lembaga dan organisasi Islam prominen mulai dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), sampai Muhammadiyah menyampaikan “reaksi alamiah” masing-masing untuk mengecam Macron.
Bersamaan dengan itu, isu untuk memboikot produk asal negeri Menara Eiffel pun menggema seantero negeri, yang juga diikuti sejumlah demonstrasi di sejumlah kota seperti Bandung, Medan, hingga Yogyakarta.
Apalagi ketika konteksnya berbicara mengenai boikot-memboikot, Indonesia sendiri secara bilateral sempat “diselamatkan” oleh Prancis saat Uni Eropa mengampanyekan untuk memboikot kelapa sawit, yang notabene merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia pada tahun 2018 silam.
Oleh karenanya, sensitivitas isu, dinamika reaksi yang ada dan menyangkut kemaslahatan ratusan juta masyarakat Muslim di Indonesia, plus variabel lainnya, membuat Presiden Jokowi agaknya “terpaksa” menggunakan delaying tactic untuk setidaknya dapat mengolah narasi yang baik dan kemudian mengeluarkan sikap yang tidak bernada konfrontatif atau bahkan konfliktual menyangkut isu kontroversi pernyataan Macron.
Inilah yang kemudian berbuah apresiasi bahwasanya presiden dapat mengartikulasikan sikap yang mewakili negara dengan santun, tanpa aroma permusuhan, dan tak melibatkan rakyat untuk melakukan boikot.
Andrew Colman dalam A Dictionary of Psychology menyebut kontrol terhadap ekspresi dapat dikatakan merupakan bagian dari aktualisasi sebuah emotional intelligence atau intelijensi emosional, yakni pengidentifikasian emosi, baik dari diri sendiri maupun orang lain, sebelum memberi label, reaksi, maupun keputusan yang tepat.
Mengacu pada Colman tersebut, sikap Presiden Jokowi sendiri pada akhirnya meninggalkan impresi bahwa sang kepala negara berhasil menampilkan emotional intelligence yang cukup baik dengan sikap dan pernyataannya untuk memahami aspek emosi dan psikologis masyarakat Muslim di tanah air.
Kendati demikian, dalam sebuah tulisan yang berjudul The Dark Side of Emotional Intelligence, Adam Grant menyebut emotional intelligence lebih terkait kepada skill atau kemampuan dibandingkan dengan kualitas moral. Grant menambahkan, terdapat sisi berbeda yang dapat secara terencana dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu.
Terlebih dalam melakukan rilis pernyataannya, Presiden Jokowi tampaknya berupaya menampilkan sesuatu yang berbeda dengan diapit oleh sejumlah tokoh lintas agama – selain Wakil Presiden (Wapres) dan menteri terkait – yang di antaranya berasal dari MUI, NU, Muhammadiyah, Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi), dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN).
Tepis Dugaan Tarik Ulur Politik?
Masih dalam kesempatan World Culture Forum dan masih dalam konteks urgensi sosok pemimpin moderat yang aktif, Fareed Zakaria juga sempat menyebut bahwa kaum Muslim acapkali terjebak dan kehilangan kemampuan dalam beradaptasi, berinovasi, dan menyerap tren modern, akibat narasi-narasi negatif yang berhulu dari pencampuradukan agama yang kurang tepat dalam politik dan pemerintahan.
Masa vakum reaksi Presiden Jokowi atas isu kontroversi pernyataan Macron sendiri sempat diwarnai oleh preseden tertentu, yang salah satunya disampaikan oleh Miftah Maulana Habiburrahman atau Gus Miftah.
Dirinya merasa heran dengan sikap pemerintah Indonesia, terutama sikap bungkam dari presiden saat itu. Menurutnya, jika teguran tidak disampaikan langsung oleh kepala negara, akan timbul kecurigaan dari umat Islam yang kemungkinan merasa hanya dimanfaatkan untuk kepentingan politik semata.
Berangkat dari preseden yang cukup “mengganggu” inilah, dapat terjawab mengapa kiranya Presiden Jokowi menampilkan simbolisasi khusus, dengan merangkul para pemuka dan tokoh lintas agama ketika menyampaikan kecaman terhadap pernyataan Macron.
Pada titik tersebut, Presiden Jokowi mungkin saja ingin menghindari substansi campur aduk yang kurang tepat dengan mengkorelasikan kepentingan politik dan umat Islam secara spesifik.
Bahwasanya, dalam memberikan reaksi pada isu kontroversi Macron, Presiden Jokowi mungkin ingin agar Muslim di tanah air tak terjebak dalam narasi bahwa persoalan yang juga terkait toleransi ini hanyalah mengenai Islam belaka, apalagi sampai ditarik pada tuduhan kepentingan politik yang berpotensi menghilangkan kemampuan dalam beradaptasi secara progresif dalam konteks yang Zakaria sampaikan di atas.
Dengan menggandeng tokoh lintas agama tersebut, mantan Gubernur DKI Jakarta itu juga tampaknya ingin menjadikan momentum mengecam Macron untuk membawa pesan sekaligus mempromosikan persatuan dan toleransi di dalam negeri.
Yang jelas, satu kemungkinan yang cukup kuat dan dapat diterjemahkan dari pengambilan sikap yang cukup baik dari Presiden Jokowi atas kontroversi pernyataan Macron ialah, bertujuan agar tidak terpantik hal-hal bertendensi emosional dari publik Indonesia yang justru dapat kontraproduktif bagi toleransi maupun kondusivitas keamanan.
Tinggal tantangannya kini bagi Presiden Jokowi adalah bagaimana membuat konstruksi kohesivitas dan toleransi tersebut dapat berjalan dengan konkret di lapangan. Yakni bahwa diskriminasi dan perlakuan tidak adil terhadap pemeluk agama lainnya dapat dienyahkan tanpa terkecuali. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.