Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan kewenangan izin impor alat kesehatan kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) guna menangani wabah virus Corona (Covid-19). Namun, di balik keputusan tersebut, bukan tidak mungkin telah tercipta kebijakan-kebijakan publik yang buruk.
PinterPolitik.com
Dalam seminggu lebih ini, sebuah virus yang dikabarkan bermula di Wuhan, Hubei, Tiongkok, kini mulai merongrong beberapa daerah di Indonesia. Jumlah pasien yang secara positif terjangkit oleh virus Corona (Covid-19) terus bertambah dari hari ke hari.
Akibatnya, pemerintah – baik di pusat maupun di daerah – akhirnya mulai mengambil beberapa langkah dalam menghadapi penyebaran penyakit ini. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan misalnya, mengambil beberapa langkah tanggap seperti dengan membentuk Tim Tanggap Covid-19 dan memberlakukan pembatasan kegiatan di luar rumah.
Begitu juga dengan pemerintah pusat, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) – disusul dengan Keppres No. 9/2020 yang membahas mengenai beberapa perubahan struktural.
Melalui Keppres baru tersebut pula, Presiden Jokowi menyalurkan kewenangan pemberian izin edar dan impor alat kesehatan kepada Ketua Pelaksana Gugus Tugas, yakni Ketua Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo. Kewenangan tersebut berbentuk mandat pemberian pengecualian perizinan tata niaga impor terkait alat kesehatan Covid-19.
Pandemi Covid-19 yang telah menyebar di 189 negara di dunia, benar-benar sulit dicegah masuk ke satu negara, atau ke daerah.
Maka itu, pemerintah pusat dan daerah harus memiliki kebijakan yang sejalan, menghitung dampak kesehatan dan sosial ekonomi dari setiap kebijakan. pic.twitter.com/lEWMrFWLNk
— Joko Widodo (@jokowi) March 24, 2020
Kebijakan tersebut ditujukan untuk mempercapat penanganan pandemi Covid-19. Namun, bukan tidak mungkin keputusan itu juga didasarkan pada kurangnya ketersediaan alat kesehatan yang dibutuhkan oleh tenaga medis dan masyarakat dalam menghadapi pandemi ini.
Pasalnya, semenjak seminggu lalu, alat pelindung diri (APD) dan alat medis lainnya dilaporkan tengah mengalami kelangkaan. Tak hanya publik yang harus merugi akibat mahalnya alat-alat kesehatan itu, tenaga-tenaga medis yang menjadi ujung tombak penanganan wabah menjadi pihak yang paling dirugikan.
Hal yang tentunya menimbulkan kekhawatiran ini nyatanya baru direspon serius pemerintah setelah beberapa kasus bermunculan.
Tawaran bantuan Singapura untuk alat medis misalnya, baru ditanggapi seminggu kemudian oleh pemerintahan Jokowi. Selain itu, wabah ini sebenarnya telah lama muncul di beberapa negara tetangga semenjak Januari dan Februari lalu.
Alhasil, keseriusan pemerintah tentu menjadi pertanyaan publik kini. Mengapa pemerintah terkesan terlambat? Apakah kebijakan tersebut menandakan kebijakan publik yang buruk?
Kebijakan Publik
Kebijakan publik terdengar bukan sesuatu hal yang mudah dipahami oleh khalayak umum. Namun, tanpa kita sadari, kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah sebenarnya turut memengaruhi banyak aspek dalam kehidupan masyarakat.
B. Guy Peters – profesor Ilmu Politik dari University of Pittsburgh, Amerika Serikat (AS) – dalam bukunya yang berjudul Advanced Introduction to Public Policy mendefinisikan kebijakan publik itu sendiri sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah guna mengubah ekonomi dan masyarakat.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah biasanya selalu menyangkut kehidupan masyarakat. Dengan mengutip pemikir politik Harold Laswell, Peters menjelaskan bahwa proses politik selalu membahas mengenai produksi manfaat (benefit) dan biaya (cost) bagi anggota-anggota masyarakat.
Tentunya, dalam penentuan kebijakan publik ini, berbagai proses bisa saja terjadi. Berdasarkan tulisan Adam A. Anyebe yang berjudul An Overview of Approaches to the Study of Public Policy, proses-proses ini bisa diamati melalui berbagai pendekatan teoretis dalam studi Kebijakan Publik, yakni teori elite yang menekankan pada dominasi kelompok elite berkuasa dalam pengambilan kebijakan publik, teori kelompok (group theory) yang menekankan pada pertentangan antarkelompok, teori sistem (systems theory) yang menekankan pada kinerja sistem politik, teori institusional (institutional theory) yang berfokus pada aspek legal dan formal pembuatan kebijakan publik, incremental theory yang berfokus pada perubahan kecil dalam kebijakan publik, dan rational-choice theory yang didasarkan pada analisis cost-benefit.
Lantas, bagaimana dengan kebijakan publik yang diberlakukan oleh pemerintahan Jokowi dalam menangani Covid-19? Bagaimanakah proses pengambilan kebijakan tersebut dilakukan berdasarkan pendekatan-pendekatan tersebut?
Mungkin, kebijakan pemerintah dalam menghadapi Covid-19 dapat didasarkan pada rational-choice theory. Pasalnya, dalam beberapa kesempatan, sebelumnya Presiden Jokowi memutuskan untuk tak membuka informasi soal penanganan Covid-19 ke publik karena beberapa alasan, yakni meminimalisir kepanikan masyarakat.
Selain itu, Presiden Jokowi juga menekankan tidak adanya kebijakan lockdown (karantina wilayah) karena menimbang dampak-dampak lainnya, khususnya dampak sosial dan dampak ekonomi. Maka dari itu, mantan Wali Kota Solo tersebut menyatakan bahwa kebijakan dan kondisi setiap negara berbeda – bila dibandingkan dengan negara-negara lain yang telah menerapkan lockdown.
Bukan tidak mungkin pemerintah melakukan pertimbangan atas alternatif-alternatif kebijakan penanganan lainnya. Dalam hal ini, Jokowi boleh jadi merasa alternatif kebijakan yang dapat meminimalisir kerugian ekonomi lebih penting secara rasional.
Soal penurunan jumlah wisatawan mancanegara akibat pandemi Covid-19 misalnya, sempat dianggap menjadi fokus yang lebih diutamakan oleh pemerintah meski bahaya pandemi tersebut telah menghantui. Pasalnya, pemerintah Jokowi lebih memilih untuk mempromosikan turisme Indonesia di luar negeri – melalui kerja sama dengan beberapa influencer – daripada untuk menciptakan kebijakan antisipatif.
Namun, apakah rasionalisasi kebijakan publik seperti ini benar? Mungkinkah pemerintah salah hitung dalam membuat kebijakan penanganan pandemi Covid-19?
Kegagalan Kebijakan Publik?
Kemungkinan akan adanya kesalahan dalam pengambilan kebijakan publik bukanlah hal yang aneh. Bagaimana pun juga, kebijakan publik sendiri mempunyai beberapa batasan.
Mungkin, inilah yang disebut oleh Bernardo Mueller dari University of Brasilia sebagai sistem kompleks (complex system) dalam tulisannya yang berjudul Why Public Policies Fail. Sebagai nature (sifat alamiah), Mueller menjelaskan bahwa kompleksitas kebijakan publik memiliki lima patologi atau hambatan.
Lima patologi yang dimaksud oleh Mueller adalah tidak linearnya kebijakan publik, tidak adanya ekuilibrium dalam kebijakan publik, evolusi dan ko-evolusi kebijakan publik, adanya bias kognitif dalam kebijakan publik, serta reaktivitas kebijakan publik.
Lalu, apakah mungkin patologi-patologi tersebut turut menyertai kebijakan pemerintahan Jokowi dalam menangani ancaman pandemi Covid-19?
Bukan tidak mungkin patologi-patologi yang disebutkan oleh Mueller tadi turut menyertai kebijakan publik pemerintahan Jokowi dalam menangani pandemi Covid-19 sehingga kebijakan publik yang diambil justru berujung pada konsekuensi yang dapat dianggap buruk.
Pasalnya, fokus pemerintah yang terlalu menitikberatkan pada ekonomi boleh jadi membuat publik semakin reaktif. Mengacu pada penjelasan Mueller, dengan adanya pertanyaan-pertanyaan dari publik terkait kebijakan pemerintah yang memutuskan untuk menutupi informasi dan tidak memberlakukan lockdown, masyarakat akan terus-menerus mengubah perilakunya.
Panic-buying misalnya, menandakan bahwa publik akan mengadaptasikan perilakunya dengan situasi yang ada. Hal ini akhirnya dapat berujung pada patologi yang pertama, yakni non-linearitas kebijakan publik.
Mueller menjelaskan bahwa kebijakan publik secara non-linear dapat memunculkan fenomena lain. Soal tingginya permintaan alat-alat kesehatan misalnya, menciptakan fenomena dan dampak lain – seperti tingginya harga dan kelangkaan alat-alat kesehatan.
Kompleksitas dan kegagalan kebijakan ini tentunya dapat saja berpengaruh dengan upaya pemerintah selanjutnya yang mengalihkan kewenangan izin impor alat kesehatan ke BNPB.
Bisa dibilang kebijakan ini sedikit terlambat. Pasalnya, kelangkaan alat kesehatan di banyak negara yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 ternyata bisa saja malah merugikan pemerintah dan masyarakat Indonesia sendiri. Tak hanya soal kelangkaan, nilai tukar Rupiah (sekitar Rp 16.400 per satu dollar AS saat ini) bukan tidak mungkin turut menjadi penghambat bagi kebijakan impor – meski terdapat insentif tertentu bagi impor alat kesehatan.
Hampir seluruh alat-alat kesehatan Indonesia merupakan produk impor. Dengan melemahnya nilai Rupiah, impor sendiri bisa saja menurun dalam beberapa waktu mendatang.
Maka dari itu, pada intinya, kebijakan-kebijakan publik pemerintah untuk berfokus pada ekonomi dalam menangani pandemi Covid-19 bisa saja memiliki kegagalan dan kesalahan. Dan, bukan tidak mungkin, kebijakan itu berimplikasi pada konsekuensi-konsekuensi lainnya.
Boleh jadi, pemerintah perlu memperbaiki kembali arah kebijakan publiknya. Mueller juga mengatakan bahwa kebijakan yang buruk dapat diperbaiki dengan upaya yang lebih, sumber (resources), dan kemauan yang baik (good will). Mari kita tunggu upaya perbaikan tersebut. (A43)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.