HomeNalar PolitikMenyoal Kebijakan Jokowi Atasi Corona

Menyoal Kebijakan Jokowi Atasi Corona

Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan kewenangan izin impor alat kesehatan kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) guna menangani wabah virus Corona (Covid-19). Namun, di balik keputusan tersebut, bukan tidak mungkin telah tercipta kebijakan-kebijakan publik yang buruk.


PinterPolitik.com

Dalam seminggu lebih ini, sebuah virus yang dikabarkan bermula di Wuhan, Hubei, Tiongkok, kini mulai merongrong beberapa daerah di Indonesia. Jumlah pasien yang secara positif terjangkit oleh virus Corona (Covid-19) terus bertambah dari hari ke hari.

Akibatnya, pemerintah – baik di pusat maupun di daerah – akhirnya mulai mengambil beberapa langkah dalam menghadapi penyebaran penyakit ini. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan misalnya, mengambil beberapa langkah tanggap seperti dengan membentuk Tim Tanggap Covid-19 dan memberlakukan pembatasan kegiatan di luar rumah.

Begitu juga dengan pemerintah pusat, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) – disusul dengan Keppres No. 9/2020 yang membahas mengenai beberapa perubahan struktural.

Melalui Keppres baru tersebut pula, Presiden Jokowi menyalurkan kewenangan pemberian izin edar dan impor alat kesehatan kepada Ketua Pelaksana Gugus Tugas, yakni Ketua Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo. Kewenangan tersebut berbentuk mandat pemberian pengecualian perizinan tata niaga impor terkait alat kesehatan Covid-19.

Kebijakan tersebut ditujukan untuk mempercapat penanganan pandemi Covid-19. Namun, bukan tidak mungkin keputusan itu juga didasarkan pada kurangnya ketersediaan alat kesehatan yang dibutuhkan oleh tenaga medis dan masyarakat dalam menghadapi pandemi ini.

Pasalnya, semenjak seminggu lalu, alat pelindung diri (APD) dan alat medis lainnya dilaporkan tengah mengalami kelangkaan. Tak hanya publik yang harus merugi akibat mahalnya alat-alat kesehatan itu, tenaga-tenaga medis yang menjadi ujung tombak penanganan wabah menjadi pihak yang paling dirugikan.

Hal yang tentunya menimbulkan kekhawatiran ini nyatanya baru direspon serius pemerintah setelah beberapa kasus bermunculan.

Tawaran bantuan Singapura untuk alat medis misalnya, baru ditanggapi seminggu kemudian oleh pemerintahan Jokowi. Selain itu, wabah ini sebenarnya telah lama muncul di beberapa negara tetangga semenjak Januari dan Februari lalu.

Alhasil, keseriusan pemerintah tentu menjadi pertanyaan publik kini. Mengapa pemerintah terkesan terlambat? Apakah kebijakan tersebut menandakan kebijakan publik yang buruk?

Kebijakan Publik

Kebijakan publik terdengar bukan sesuatu hal yang mudah dipahami oleh khalayak umum. Namun, tanpa kita sadari, kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah sebenarnya turut memengaruhi banyak aspek dalam kehidupan masyarakat.

B. Guy Peters – profesor Ilmu Politik dari University of Pittsburgh, Amerika Serikat (AS) – dalam bukunya yang berjudul Advanced Introduction to Public Policy mendefinisikan kebijakan publik itu sendiri sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah guna mengubah ekonomi dan masyarakat.

Baca juga :  2029 "Kiamat" Partai Berbasis Islam? 

Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah biasanya selalu menyangkut kehidupan masyarakat. Dengan mengutip pemikir politik Harold Laswell, Peters menjelaskan bahwa proses politik selalu membahas mengenai produksi manfaat (benefit) dan biaya (cost) bagi anggota-anggota masyarakat.

Tentunya, dalam penentuan kebijakan publik ini, berbagai proses bisa saja terjadi. Berdasarkan tulisan Adam A. Anyebe yang berjudul An Overview of Approaches to the Study of Public Policy, proses-proses ini bisa diamati melalui berbagai pendekatan teoretis dalam studi Kebijakan Publik, yakni teori elite yang menekankan pada dominasi kelompok elite berkuasa dalam pengambilan kebijakan publik, teori kelompok (group theory) yang menekankan pada pertentangan antarkelompok, teori sistem (systems theory) yang menekankan pada kinerja sistem politik, teori institusional (institutional theory) yang berfokus pada aspek legal dan formal pembuatan kebijakan publik, incremental theory yang berfokus pada perubahan kecil dalam kebijakan publik, dan rational-choice theory yang didasarkan pada analisis cost-benefit.

Kebijakan publik itu adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah guna mengubah ekonomi dan masyarakat. Share on X

Lantas, bagaimana dengan kebijakan publik yang diberlakukan oleh pemerintahan Jokowi dalam menangani Covid-19? Bagaimanakah proses pengambilan kebijakan tersebut dilakukan berdasarkan pendekatan-pendekatan tersebut?

Mungkin, kebijakan pemerintah dalam menghadapi Covid-19 dapat didasarkan pada rational-choice theory. Pasalnya, dalam beberapa kesempatan, sebelumnya Presiden Jokowi memutuskan untuk tak membuka informasi soal penanganan Covid-19 ke publik karena beberapa alasan, yakni meminimalisir kepanikan masyarakat.

Selain itu, Presiden Jokowi juga menekankan tidak adanya kebijakan lockdown (karantina wilayah) karena menimbang dampak-dampak lainnya, khususnya dampak sosial dan dampak ekonomi. Maka dari itu, mantan Wali Kota Solo tersebut menyatakan bahwa kebijakan dan kondisi setiap negara berbeda – bila dibandingkan dengan negara-negara lain yang telah menerapkan lockdown.

Bukan tidak mungkin pemerintah melakukan pertimbangan atas alternatif-alternatif kebijakan penanganan lainnya. Dalam hal ini, Jokowi boleh jadi merasa alternatif kebijakan yang dapat meminimalisir kerugian ekonomi lebih penting secara rasional.

Soal penurunan jumlah wisatawan mancanegara akibat pandemi Covid-19 misalnya, sempat dianggap menjadi fokus yang lebih diutamakan oleh pemerintah meski bahaya pandemi tersebut telah menghantui. Pasalnya, pemerintah Jokowi lebih memilih untuk mempromosikan turisme Indonesia di luar negeri – melalui kerja sama dengan beberapa influencer – daripada untuk menciptakan kebijakan antisipatif.

Namun, apakah rasionalisasi kebijakan publik seperti ini benar? Mungkinkah pemerintah salah hitung dalam membuat kebijakan penanganan pandemi Covid-19?

Kegagalan Kebijakan Publik?

Kemungkinan akan adanya kesalahan dalam pengambilan kebijakan publik bukanlah hal yang aneh. Bagaimana pun juga, kebijakan publik sendiri mempunyai beberapa batasan.

Mungkin, inilah yang disebut oleh Bernardo Mueller dari University of Brasilia sebagai sistem kompleks (complex system) dalam tulisannya yang berjudul Why Public Policies Fail. Sebagai nature (sifat alamiah), Mueller menjelaskan bahwa kompleksitas kebijakan publik memiliki lima patologi atau hambatan.

Baca juga :  Segitiga Besi Megawati

Lima patologi yang dimaksud oleh Mueller adalah tidak linearnya kebijakan publik, tidak adanya ekuilibrium dalam kebijakan publik, evolusi dan ko-evolusi kebijakan publik, adanya bias kognitif dalam kebijakan publik, serta reaktivitas kebijakan publik.

Lalu, apakah mungkin patologi-patologi tersebut turut menyertai kebijakan pemerintahan Jokowi dalam menangani ancaman pandemi Covid-19?

Bukan tidak mungkin patologi-patologi yang disebutkan oleh Mueller tadi turut menyertai kebijakan publik pemerintahan Jokowi dalam menangani pandemi Covid-19 sehingga kebijakan publik yang diambil justru berujung pada konsekuensi yang dapat dianggap buruk.

Pasalnya, fokus pemerintah yang terlalu menitikberatkan pada ekonomi boleh jadi membuat publik semakin reaktif. Mengacu pada penjelasan Mueller, dengan adanya pertanyaan-pertanyaan dari publik terkait kebijakan pemerintah yang memutuskan untuk menutupi informasi dan tidak memberlakukan lockdown, masyarakat akan terus-menerus mengubah perilakunya.

Panic-buying misalnya, menandakan bahwa publik akan mengadaptasikan perilakunya dengan situasi yang ada. Hal ini akhirnya dapat berujung pada patologi yang pertama, yakni non-linearitas kebijakan publik.

Mueller menjelaskan bahwa kebijakan publik secara non-linear dapat memunculkan fenomena lain. Soal tingginya permintaan alat-alat kesehatan misalnya, menciptakan fenomena dan dampak lain – seperti tingginya harga dan kelangkaan alat-alat kesehatan.

Kompleksitas dan kegagalan kebijakan ini tentunya dapat saja berpengaruh dengan upaya pemerintah selanjutnya yang mengalihkan kewenangan izin impor alat kesehatan ke BNPB.

Bisa dibilang kebijakan ini sedikit terlambat. Pasalnya, kelangkaan alat kesehatan di banyak negara yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 ternyata bisa saja malah merugikan pemerintah dan masyarakat Indonesia sendiri. Tak hanya soal kelangkaan, nilai tukar Rupiah (sekitar Rp 16.400 per satu dollar AS saat ini) bukan tidak mungkin turut menjadi penghambat bagi kebijakan impor – meski terdapat insentif tertentu bagi impor alat kesehatan.

Hampir seluruh alat-alat kesehatan Indonesia merupakan produk impor. Dengan melemahnya nilai Rupiah, impor sendiri bisa saja menurun dalam beberapa waktu mendatang.

Maka dari itu, pada intinya, kebijakan-kebijakan publik pemerintah untuk berfokus pada ekonomi dalam menangani pandemi Covid-19 bisa saja memiliki kegagalan dan kesalahan. Dan, bukan tidak mungkin, kebijakan itu berimplikasi pada konsekuensi-konsekuensi lainnya.

Boleh jadi, pemerintah perlu memperbaiki kembali arah kebijakan publiknya. Mueller juga mengatakan bahwa kebijakan yang buruk dapat diperbaiki dengan upaya yang lebih, sumber (resources), dan kemauan yang baik (good will). Mari kita tunggu upaya perbaikan tersebut. (A43)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?