Dengarkan artikel ini:
Pemerintahan Prabowo Subianto disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Presiden Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali untuk mengontrol kabinetnya, yakni sebuah konsep yang disebut panoptikon.
“Look. It’s 20 feet up in the air and it’s in the middle of the most heavily guarded part of the prison. It’s impossible to get up there without being seen.” – Peter Quill, Guardians of the Galaxy (2014)
Penjara panoptikon dalam film Guardians of the Galaxy (2014) menjadi simbol menarik yang menunjukkan bagaimana pengawasan ketat dapat membentuk perilaku. Dalam salah satu adegan ikonik, para penjaga memantau setiap pergerakan tahanan dari ruang pengawasan sentral yang dikelilingi oleh sel-sel tahanan.
Tahanan di penjara ini bisa melihat ruang pengawasan tersebut, meskipun mereka tidak selalu tahu apakah mereka sedang diawasi atau tidak. Sistem pengawasan seperti ini menciptakan situasi di mana para tahanan merasa harus selalu berperilaku sebaik mungkin karena ketidakpastian apakah mereka sedang diawasi atau tidak.
Adegan ini menggambarkan prinsip dasar konsep panoptikon, sebuah desain penjara yang dirancang oleh filsuf Jeremy Bentham pada abad ke-18. Dalam konsep ini, seorang pengawas tunggal bisa memantau seluruh tahanan dari pusat bangunan tanpa diketahui apakah pengawasan benar-benar sedang berlangsung.
Kondisi ini membuat tahanan merasa selalu diawasi, meskipun mereka tidak bisa memastikan kapan pengawasan terjadi. Ketidakpastian ini secara psikologis menekan mereka untuk terus berperilaku seolah-olah mereka selalu dalam pengawasan.
Dengan cara ini, panoptikon bukan hanya alat untuk mengontrol fisik tahanan, tetapi juga pikiran dan tindakan mereka. Dalam ranah politik, konsep panoptikon ini sering diadaptasi untuk menunjukkan bagaimana pengawasan pemerintah terhadap rakyat bisa menciptakan ketakutan dan kepatuhan tanpa perlu pengawasan fisik langsung.
Dengan perkembangan teknologi, banyak negara sekarang dapat memantau percakapan dan aktivitas warganya melalui berbagai metode digital, menciptakan efek pengawasan yang sama seperti panoptikon.
Lantas, bagaimana panoptikon bekerja dalam politik? Mungkinkah ini berkaitan dengan dinamika politik Indonesia terkini?
Panoptikon dalam Politik
Panoptikon, konsep yang diperkenalkan oleh filsuf Jeremy Bentham pada abad ke-18, adalah sebuah model penjara yang memungkinkan seorang pengawas mengawasi semua tahanan dari satu pusat tanpa diketahui kapan pengawasan terjadi. Bentham merancang bangunan ini untuk menciptakan efek psikologis pada tahanan: mereka merasa selalu diawasi dan, karenanya, terdorong untuk berperilaku sebaik mungkin.
Dalam bukuunya yang berjudul Discipline and Punish, Michel Foucault menyebut konsep ini sebagai bentuk “teknologi disipliner” yang tidak hanya membentuk tubuh, tetapi juga pikiran. Menurut Foucault, panoptikon tidak hanya tentang pengawasan fisik, tetapi lebih dalam menciptakan internalisasi kepatuhan, yang menghasilkan kontrol sosial yang kuat tanpa perlu kekerasan atau paksaan langsung.
Dalam dunia modern, konsep panoptikon tidak hanya diterapkan pada penjara fisik, tetapi juga dalam bentuk pengawasan negara terhadap warganya. Banyak negara menggunakan teknologi untuk mengawasi aktivitas dan komunikasi masyarakat, menciptakan efek pengawasan panoptik yang membuat warga merasa diawasi secara konstan.
Teknologi seperti kamera CCTV, pengawasan internet, dan pelacakan data digital memungkinkan pemerintah memantau gerak-gerik individu tanpa perlu kehadiran fisik. Hal ini membuat warga secara tidak langsung mengatur diri mereka sendiri untuk mematuhi aturan dan norma, seolah-olah pengawasan selalu ada.
Contoh nyata dari penerapan konsep ini dapat dilihat pada pemerintahan Tiongkok di bawah kepemimpinan Xi Jinping. Pemerintah Tiongkok menggunakan teknologi pengenalan wajah dan aplikasi khusus untuk mengawasi aktivitas masyarakat.
Sistem “kredit sosial” di Tiongkok, misalnya, memberikan peringkat perilaku kepada warga berdasarkan kepatuhan mereka terhadap hukum dan norma sosial. Konsep ini secara efektif mengendalikan perilaku sosial tanpa kekerasan langsung, tetapi melalui ketakutan akan konsekuensi dari pelanggaran yang tercatat dalam sistem.
Bagaimana konsep panoptikon dapat diterapkan dalam sistem politik yang lebih luas? Apakah efek panoptik ini juga terjadi dalam dinamika politik di Indonesia saat ini?
Kabinet Panoptikon ala Prabowo?
Dalam dunia politik, pengawasan sering kali digunakan sebagai alat untuk memastikan kesetiaan dan kepatuhan di antara pejabat pemerintah. Konsep pengawasan ini mengingatkan pada ide panoptikon yang dicetuskan oleh filsuf Michel Foucault dalam bukunya Discipline and Punish, di mana sebuah pusat kekuasaan mampu mengawasi individu-individu tanpa kehadiran fisik yang nyata. Dengan demikian, individu merasa selalu diawasi dan secara tidak langsung terdorong untuk mengikuti aturan dan menjaga kesetiaan.
Kabinet pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka di Indonesia dapat dianggap sebagai sebuah “kabinet panoptikon,” di mana pengawasan menjadi elemen penting dalam menjaga stabilitas dan kesatuan di dalam kabinet. Meskipun kabinet ini memiliki banyak menteri, Prabowo tampaknya telah menyusun jaringan pengawasan dengan menempatkan orang-orang terdekatnya di berbagai posisi strategis.
Di Kementerian Keuangan (Kemenkeu), misalnya, Prabowo memilih Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan (Menkeu), sementara posisi Wakil Menkeu (Wamenkeu) dipegang oleh Thomas Djiwandono, yang dikenal dekat dengan Prabowo. Penempatan ini memastikan bahwa kendali dan pengawasan terhadap kebijakan keuangan tetap berada di bawah pengaruh Prabowo, meskipun ia tidak langsung memimpin kementerian tersebut.
Dengan menempatkan perwakilan di berbagai kementerian, Prabowo menciptakan jaringan pengawasan yang efektif, di mana setiap pejabat seolah berada di bawah kendali dan pengawasan konstan. Struktur kabinet ini mirip dengan panoptikon, di mana kontrol dari pusat dapat dirasakan oleh semua anggota kabinet tanpa perlu kehadiran langsung.
Well, mungkin, saat ini, Prabowo sedang duduk di menara pengawas sambil mengontrol para menteri dan pejabatnya. Bukan tidak mungkin, para menteri ini akhirnya harus bekerja dengan baik agar tidak ketahuan keburukan mereka oleh sang presiden. (A43)