HomeNalar PolitikMenyoal “Jalan Ninja” Dahnil dan Febri

Menyoal “Jalan Ninja” Dahnil dan Febri

Alasan di balik mundurnya Febri Diansyah dari KPK di satu sisi tampak menyingkap persoalan pelik dalam tatanan politik dan hukum Indonesia kekinian. Lantas, mengapa hal ini bisa terjadi dan apakah mundurnya Febri merupakan semacam simbol kekalahan “orang baik” dalam ekosistem politik, hukum, maupun pemerintahan tanah air?


PinterPolitik.com

Pengunduran diri Febri Diansyah dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih menjadi perbincangan dan meninggalkan berbagai impresi tersendiri. Utamanya jika berangkat dari alasan personal hengkangnya Febri akibat kondisi politik dan hukum di lembaga anti-rasuah yang telah berubah, termasuk terkait revisi Undang-Undang KPK.

Alasan spesifik itulah kemudian tampaknya memantik bermacam reaksi dari berbagai pihak. Dari kalangan internal sendiri, dua wakil pimpinan KPK bahkan sampai menyampaikan reaksi yang tak saling akur.

Awalnya Nurul Ghufron menyatakan bahwa seorang pejuang tidak akan meninggalkan gelanggang sebelum kemenangan diraih. Namun kemudian, Nawawi Pomolango keberatan dengan kecenderungan adanya pendefinisian pejuang dan pecundang di balik mundurnya Kepala Biro Humas KPK itu.

Sementara meski belakangan reaksinya dianggap kurang objektif, sorotan Indonesian Corruption Watch (ICW) dinilai tak sepenuhnya keliru. Diketahui sebelumnya, ICW mengaitkan kepemimpinan Firli Bahuri dan tendensi adanya gimmick politik tertentu yang dimainkan menjadi salah satu faktor pendorong cabutnya Febri.

Namun satu hal yang menarik dan entah bagaimana dapat terkonstruksi, mundurnya eks juru bicara (jubir) KPK semakin menegaskan persepsi sebagian kalangan bahwa Febri adalah sosok protagonis atau “orang baik”, dalam konteks tupoksinya di KPK tentunya.

Ihwal senada disiratkan oleh cendekiawan muslim Nadirsyah Hosen yang menyebut bahwa tantangan terbesar bekerja di “dalam” ialah harus banyak melakukan kompromi. Gus Nadir menambahkan, jika kompromi sudah melanggar batas integritas seseorang, mundur adalah pilihan satu-satunya.

Akan tetapi, langkah yang menjadi keputusan Febri dinilai menguak sebuah tendensi yang kurang konstruktif atas impresi publik secara luas terhadap tatanan dan proses politik, hukum, dan pemerintahan tanah air. Tatanan dan proses yang dianggap tak bersahabat bagi “orang baik” untuk berkontribusi di dalamnya.

“Orang baik” yang memutuskan mundur dari perjuangannya di “dalam” memang sangat disayangkan. Padahal, dalam sebuah wawancara bersama Pinter Politik, jubir Menteri Pertahanan (Menhan) Dahnil Anzar Simanjuntak sempat mengingatkan akan pentingnya peran para “orang baik” dalam tatanan politik dan pemerintahan tanah air.

Jika dielaborasikan, Dahnil kembali mengulang sebuah adagium politisi Jerman abad ke-19 Friedrich Naumann, yang juga pernah disampaikan oleh sosok mulai dari Budiman Sudjatmiko hingga Recep Tayyip Erdoğan, bahwa “ketika orang-orang baik menjaga jarak dari politik, tak mengherankan jika politik menjadi tidak baik”.

Dahnil menekankan bahwa dirinya yang notabene berasal dari kalangan kampus, juga memiliki idealisme yang terkadang harus diselaraskan dengan kompromi politik.

Singkatnya, bentuk kompromi pada dimensi politik dan lini pemerintahan manapun yang terjadi, sesungguhnya dapat tetap berjalan selaras bersama idealisme “orang-orang baik”.

Baca juga :  Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Lantas, apakah postulat yang disampaikan Dahnil tersebut relevan dan masih memungkinkan untuk terjadi dalam realita tatanan politik, hukum, dan pemerintahan Indonesia saat ini jika mengacu pada mundurnya Febri Diansyah dari KPK?

Perdebatan Abadi

Jalan dan paradigma berbeda yang dipilih oleh Febri Diansyah dan Dahnil Anzar Simanjuntak pada kontribusi dan domain perannya masing-masing, tampaknya kembali membuka perdebatan klasik antara moralitas dan realita – baik politik, hukum, dan pemerintahan – yang sekali lagi dianggap cukup sulit untuk beriringan.

Salah satu yang menyoroti perdebatan tersebut ialah filsuf berkebangsaan Italia, Nicollo Machiavelli dalam karyanya yang berjudul The Prince. Asumsi dasar publikasi tersebut adalah demi meraih kesuksesan, “seorang pangeran” atau penguasa harus mengabaikan moralitas dan bergantung sepenuhnya pada kekuatan dan kelicikan.

Memang jika ditinjau secara objektif, The Prince sendiri ditulis sekitar tahun 1513, yaitu ketika sebuah negara republik sedang berada dalam ancaman kejatuhan akibat berbagai rongrongan eksternal, intrik dalam kekuasaan Gereja, intrik dan kebusukan kekuasaan para bangsawan serta korupsi yang merajalela.

Artinya, secara kontekstual Machiavelli tak serta merta mendorong kelicikan dan keburukan sebagai realita yang harus diterima begitu saja.

Dirinya justru mencitrakan sosok yang menjunjung moralitas dalam karyanya pasca The Princeyakni Discourses, saat merumuskan patriotisme sebagai kekuatan moral terbaik dalam melawan tirani.

Sayangnya, esensi yang jamak dipahami secara parsial dari The Prince menjadikannya konon digunakan sebagai panduan, buku teks, serta justifikasi bagi sejumlah pemimpin, politisi, hingga pejabat publik, yang kemudian turut menciptakan sebuah ekosistem dan tatanan di mana seolah terdapat jurang terjal antara moralitas dan realita politik, hukum, dan pemerintahan kontemporer.

Oleh karenanya, istilah Machiavellian kemudian muncul untuk mendefinisikan sosok-sosok pemimpin, politisi, hingga pejabat publik dengan karakteristik yang demikian. Baik mereka yang mengakui telah menggunakannya sebagai pedoman, maupun mereka yang secara sembunyi-sembunyi mempraktikan esensinya.

Napoleon Bonaparte, Benito Mussolini, Joseph Stalin hingga sosok kekinian seperti Donald Trump, hingga Mohammed Bin Salman disebut menjadi sosok-sosok yang disebut sebagai Machiavellian dalam menjalankan perannya masing-masing.

Pengabaian terhadap moralitas pada praktiknya tampak tak hanya tercermin pada karakteristik kepemimpinan belaka. Lebih dalam, esensinya dianggap telah merasuk lebih dalam pada sendi-sendi politik dan pemerintahan.

Pada konteks politik domestik, jalannya pemerintahan di bawah Soeharto dianggap menggunakan strategi Machiavelli, utamanya dalam mempertahankan dan melanggengkan kekuasaan.

Setelah reformasi, dinamika politik dan pemerintahan tanah air juga secara tersirat mencitrakan gagasan Machiavelli bahwa “siapa yang memiliki senjata akan mengalahkan mereka yang tak memilikinya”.

Hal tersebut dinilai relevan dengan apa yang disampaikan Mahfud MD dalam Politik Hukum di Indonesia, bahwa yang terjadi di Indonesia ialah politik determinan atas hukum. Hukum dikatakan merupakan hasil dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bahkan saling bersaingan.

Saran seorang Dahnil bahwa “orang baik” semestinya tak perlu takut untuk berkontribusi dalam politik dan pemerintahan memang secara normatif dapat diterima.

Baca juga :  Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Akan tetapi, hal itu dinilai cukup sulit dalam tatanan praktis bagi mereka yang dianggap tak memiliki “senjata” mumpuni untuk mempertahankan idealisme dan moralitasnya di tengah ekosistem politik, hukum, dan pemerintahan yang ada. Mundurnya Febri Diansyah dari KPK dinilai menjadi pengejawantahannya.

Lantas, apakah peluang bagi “orang baik” untuk membuat tatanan politik, hukum, maupun pemerintahan yang lebih baik menjadi tertutup seketika?

Pentingnya Mindset Negarawan

Publik tentu diharapkan tak lantas skeptis dan pesimistis akan kecenderungan tergeser atau mundurnya sosok yang dianggap menjunjung tinggi moralitas dan idealisme karena berbenturan ekosistem politik, hukum, dan pemerintahan yang dinilai kurang mendukung belakangan ini.

Jika mengacu pada Mahfud MD yang menyebut bahwa di Indonesia, politik determinan terhadap hukum, perbaikan apapun yang diinginkan memang semestinya dimulai di ranah politik.

Oleh karenanya, memperbaiki kemudaratan dalam ekosistem politik, hukum, dan pemerintahan akan sangat ideal jika dimulai dari kontribusi secara konkret dalam politik itu sendiri. Pada titik inilah peran para “orang baik” sesungguhnya diharapkan.

Esensi penting yang dinilai menjadi diskursus utama dalam hal ini ialah meluruskan mindset antara politisi dan negarawan. James Freeman Clarke menyebutkan bahwa jika politisi berpikir tentang pemilihan berikutnya, negarawan berpikir tentang generasi berikutnya.

Dan Nimmo dalam Political Communication and Public Opinion in America mengutip Daniel Katz dan menyebutkan dua orientasi kepentingan politisi dalam sebuah proses politik, yakni politisi negarawan dan politisi partisan.

Berbeda dengan politisi partisan yang hanya mementingkan kelompoknya, politisi negarawan lebih menyibukkan dirinya untuk menetapkan tujuan kebijakan yang lebih luas, mengusahakan reformasi, bahkan mendukung perubahan revolusioner, jika hal ini mendatangkan kebaikan lebih bagi bangsa dan negara tanpa lelah.

Bagi politisi negarawan, perjuangan yang berlandaskan moralitas adalah maraton panjang yang bernilai luhur. Karenanya, tak hanya bagi politisi, nilai dari aspek kenegarawanan inilah yang kiranya juga dapat diadopsi bagi para “orang baik” yang berkontribusi dalam level bidang pemerintahan lainnya.

Karenanya, paradigma dan advis dari Dahnil terhadap para “orang baik” untuk berkontribusi dalam politik dan pemerintahan pada titik ini tetap memiliki relevansi dan signifikansinya tersendiri.

Namun demikian, garis demarkasi integritas atas dinamika politik dan hukum seperti yang ditunjukkan Febri Diansyah atas pengunduran dirinya dari KPK tetap harus dihargai dan dimaknai lebih mendalam dan objektif.

Yang jelas, optimisme terhadap perbaikan tatanan politik dan pemerintahan yang dianggap belum ideal tentu harus tetap dijaga.

“Orang baik” masih sangat memungkinkan untuk menempuh cara-cara politis untuk masuk, beradaptasi, dan berkompromi secara konstruktif dalam politik, hukum, dan pemerintahan dengan berpegang pada sikap dan prinsip kenegarawanan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?