Site icon PinterPolitik.com

Menyoal Hadi Tangkal LGBT di TNI

Menyoal Hadi Tangkal LGBT di TNI

Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dihadapan wartawan usai pembukaan Rapim TNI-Polri di Istana Negara Jakarta pada Januari 2019 silam. (Foto: Setkab)

Pimpinan TNI dikabarkan gusar menyusul vonis bebas terhadap anggotanya yang terkait LGBT. Disparitas landasan hukum yang ditengarai mendasari polemik tersebut dinilai bukanlah pangkal sesungguhnya dari polemik LGBT tersebut, yang mana dinilai juga erat kaitannya dengan kebijakan politik dan pemerintahan. Benarkah demikian?


PinterPolitik.com

Publik mungkin cukup terkejut atas mengemukanya kabar mengenai sejumlah anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang terkuak memiliki orientasi seksual menyimpang. Terlebih, para oknum dikatakan membentuk semacam kelompok penyuka sesama jenis.

Hal ini disampaikan oleh Ketua Kamar Militer Mahkamah Agung (MA) Mayjen TNI Purn. Burhan Dahlan saat mengungkapkan adanya kabar kelompok Lesbi, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) di dalam tubuh TNI yang diterimanya sewaktu berdiskusi di Markas Besar TNI Angkatan Darat (AD) beberapa hari lalu.

Menurut Burhan, yang menjadi persoalan adalah putusan bebas terhadap anggota yang telah didakwa bersalah karena LGBT oleh Pengadilan Militer membuat para pimpinan TNI meradang.

Burhan sendiri menekankan dengan tegas kepada para hakim militer untuk memakai Pasal 103 KUHP Militer soal Pembangkangan terhadap Perintah Dinas, di mana terdapat pula surat telegram Panglima TNI bahwa anggota TNI dilarang menjadi homoseksual dan bagi yang terbukti melanggar dapat dipecat.

Keputusan yang persis berlandaskan beleid yang Burhan tekankan itu memang langsung diimplementasikan, saat Pengadilan Militer II-10 Semarang yang memecat Praka berinisial P sebagai prajurit TNI AD plus dijatuhi hukuman kurungan 1 tahun penjara lantaran terbukti melakukan perilaku homoseksual.

Putusan tersebut juga selaras dengan pernyataan dari Markas Besar (Mabes) TNI melalui Kabidpenum Puspen TNI Kolonel Sus Aidil yang menyebut bahwa TNI akan menerapkan sanksi tegas terhadap oknum Prajurit TNI yang terbukti melakukan pelanggaran hukum kesusilaan termasuk di antaranya LGBT.

Justifikasi Mabes TNI sendiri ialah Undang-undang (UU) Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI plus surat telegram Panglima TNI ST/398/2009 tertanggal 22 Juli 2009 dan ditekankan kembali oleh Panglima TNI saat ini, Marsekal Hadi Tjahjanto melalui ST/1648/2019 tanggal 22 Oktober 2019.

ST Panglima Hadi itu menegaskan bahwa LGBT merupakan salah satu perbuatan tidak patut yang bertentangan dengan disiplin militer dan merupakan pelanggaran berat dan tidak boleh terjadi di lingkungan TNI.

Selain itu, proses hukum diterapkan secara tegas dengan diberikan pidana tambahan pemecatan melalui proses persidangan di pengadilan militer.

Lantas, mengapa dengan adanya dasar hukum tersebut vonis bebas bisa terjadi pada kasus LGBT di tubuh TNI sebelumnya? Dan adakah persoalan lain di samping konteks regulasi di dalamnya?

Tumpang Tindih Regulasi?

Burhan sendiri menyebut pangkal dari vonis bebas tersebut ialah penggunaan Pasal 292 KUHP soal pencabulan orang dewasa dengan anak-anak. Ihwal itu disebut tak hanya membuat para anggota dengan orientasi seksual menyimpang itu bebas dari jeratan hukum, namun juga terbebas dari pemecatan dan tetap dapat berdinas di TNI.

Akhirnya, kegusaran para pimpinan TNI untuk menindak puluhan anggota yang memiliki penyimpangan seksual dan telanjur bebas terpaksa harus ditempuh melalui jalan yang membutuhkan energi ekstra pada proses kasasi.

Oleh karenanya, berkaca pada yurisprudensi vonis bebas yang ada sebelumnya, polemik mengenai komitmen menindak dengan tegas anggota dengan orientasi homoseksual yang telanjur mengemuka dinilai tak sesederhana konteks pengenaan pasal semata.

Dengan asumsi untuk memberikan tindakan yang tegas pada oknum dengan penyimpangan seksual LGBT, ST yang Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto upayakan di tahun 2019 lalu pun sesungguhnya dinilai belum cukup.

Terlebih regulasi mengenai pelarangan LGBT di Indonesia sendiri memang belum sama sekali diatur secara khusus. Bahkan, Max Walden and Hellena Souisa dalam Indonesia Could Force LGBT People into Rehabilitation Under Draft ‘Family Resilience’ Law menyebut homoseksualitas dan perilaku LGBT di Indonesia tidak ilegal, namun memang realitanya acapkali disasar dengan produk hukum yang kurang relevan seperti UU Antipornografi dan sebagainya.

Lantas dengan perkara yang agaknya cukup problematis itu, apakah permasalahan sesungguhnya di balik polemik LGBT dan vonis bebas anggota TNI yang terlibat di dalamnya tersebut?

Masalah Ketegasan?

Menanggapi polemik LGBT di tubuh TNI, sikap berbeda dikemukakan oleh dua anggota DPR RI dari dua Komisi terkait. Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid hanya menilai bahwa kasus tersebut merupakan urusan internal TNI. Sementara anggota Komisi III DPR, Arsul Sani mengapresiasi langkah pimpinan TNI yang berupaya membersihkan satuannya dari orang-orang berorientasi LGBT.

Nama terakhir menjadi menarik ketika pada November 2019 silam dirinya menyebut pelarangan LGBT untuk menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS) pada Kejaksaan Agung (Kejagung) adalah praktik diskriminatif.

Ya, kontradiksi Asrul Sani seolah menggambarkan bagaimana kebijakan politik dan pemerintahan pada isu LGBT in a nut shell. Padahal kalau kita berkaca di negara lain seperti Amerika Serikat (AS), para pemangku kebijakan sangat serius dalam menentukan status LGBT secara hukum, termasuk pada konteks eksistensinya di militer.

Dalam tulisan yang berjudul Don’t Ask, Don’t Tell United States Policy, Amy Tikkanen menyiratkan betapa seriusnya pemerintah AS dan stakeholder terkait lainnya untuk mencari jalan keluar bagi kaum LGBT di militer negeri Paman Sam.

Selain keseriusan hingga menetapkan keputusan untuk melegalkan LGBT secara nasional sejak 2003, pemerintah AS di bawah kepemimpinan Presiden Barack Obama bersama Senat, House of Representatives, dan chairman of the Joint Chiefs of Staff berhasil menelurkan keputusan tegas.

Yakni terkait kebijakan diizinkannya kaum homoseksual yang bisa bertugas dalam militer tanpa persyaratan apapun, termasuk tanpa harus menyembunyikan orientasi seksual mereka dalam sebuah kebijakan pengganti “Don’t Ask Don’t Tell” yang telah ada sejak masa Presiden Bill Clinton.

Mengacu pada apa yang terjadi di AS tersebut, pelajaran yang agaknya dapat diambil Indonesia sesungguhnya tak hanya terkait melegalkan atau tidaknya status LGBT, namun lebih kepada keseriusan pemerintah dalam persoalan tersebut dalam menentukan sikap, kebijakan, dan regulasi yang tegas sehingga tak menimbulkan polemik elementer setelahnya.

Lalu, mengapa sampai saat ini seolah tidak ada keseriusan dan ketegasan pemerintah dalam menetapkan kebijakan dan status hukum yang jelas terkait dengan LGBT di Indonesia?

Terjebak Tabu atau Keengganan Politis?

Michael Ewing dalam publikasinya yang berjudul Use of The Term LGBT In Indonesia And Its Real-World Consequences menyebut bahwa di Indonesia, LGBT direpresentasikan sebagai antitesis bagi masyarakat secara sosial dan agama.

Dari aspek sosial, LGBT diberikan predikat bertentangan dengan ideologi negara, pemaksaan nilai asing, hingga musuh yang harus dilawan. Sementara antitesis agama disebut tak lepas dari sentimen negara dengan mayoritas Muslim, di mana doktrin agama begitu kuat dan kelompok agama pun sangat berpengaruh dalam tatanan politik dan pemerintahan.

Berangkat dari apa yang dikemukakan Ewing tersebut, dua antitesis yang ada tampaknya memang sangat berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung pada keputusan politik dan pemerintahan terkait dengan persoalan LGBT.

Konsekuensi politik dinilai terlampau besar jika para pemangku kebijakan secara “agresif” menetapkan kebijakan atau regulasi terkait LGBT, di mana pada saat yang sama dihadapkan pada konteks yang juga cukup dependen, yakni hak asasi manusia (HAM).

Belum lagi pada dimensi penerapannya di mana terdapat benturan budaya dan moral masyarakat yang jamak menolak LGBT secara luas. Dan andai kata LGBT diterima di tubuh TNI, tentu dapat membuat kepercayaan publik terhadap TNI berubah ke arah yang kontraproduktif. Alhasil, ini menjadi ancaman citra bagi TNI yang selama ini telah dinilai sebagai lembaga pemerintah yang paling dipercaya publik.

Yang kemudian membuat tak sulit kiranya untuk menyebut jika problematika yang terkait dengan LGBT masih akan cenderung gamang dan “abu-abu” di masa yang akan datang. Persoalan kekinian terkait LGBT di tubuh TNI menjadi salah satu contoh konkretnya.

Akan tetapi, keengganan secara politis tersebut tentu harus segera dihentikan mengingat dampak yang ditimbulkan cukup kontraproduktif, apalagi ketika bersinggungan dengan aturan main di institusi tertentu, termasuk di TNI.

Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto yang sampai harus mengeluarkan ST untuk kedua kalinya dalam persoalan LGBT cukup membuktikan bahwa kepastian instrumen hukum dan kebijakan yang tegas sangat dibutuhkan terkait status LGBT di tanah air dari para pemangku terkait.

Apalagi ST plus UU No. 34 Tahun 2004 tersebut pernah terbukti secara hukum tak mampu membendung bebasnya sejumlah anggota TNI dari sanksi seperti yang telah disampaikan sebelumnya.

Pada titik ini, ketegasan pemerintah sebagai peramu regulasi sangat dibutuhkan agar persoalan terkait LGBT tak lagi menimbulkan polemik dan keresahan tersendiri, utamanya pada institusi yang sangat vital seperti TNI. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version