Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah secara mengejutkan terjaring OTT KPK. Mengapa sosok yang dikenal karismatik, bersih, dan berprestasi ini justru terjerat perkara rasuah?
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Nurdin Abdullah, Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada minggu, 28 Februari 2021, dini hari. Penangkapan tersebut karena diduga sang Gubernur menerima uang dari Direktur PT Agung Perdana Bulukumba, Agung Sucipto (AS) melalui Sekretaris Dinas PUTR Provinsi Sulsel, Edy Rahmat (ER) sejak awal Februari 2021.
AS dan ER yang menjadi perantara Nurdin telah melakukan komunikasi secara intensif. Komunikasi tersebut bertujuan untuk memastikan AS mendapatkan kembali proyek yang diinginkannya pada 2021. Sejak 2019, AS diketahui terlibat dalam proyek pembangunan jalan ruas Palampang-Munte-Bontolempangan dengan nilai sebesar Rp28,9 miliar.
Pada 2020, masih dalam proyek yang sama, dengan nilai proyek Rp 15,7 miliar dan mendapatkan lagi dengan nilai proyek senilai Rp 19 miliar. Masih di tahun yang sama, pembangunan jalan pedestrian dan penerangan jalan kawasan wisata Bira dengan nilai proyek mencapai Rp 20,8 miliar. Di tahun yang sama, pembangunan lahan parker kawasan wisata Bira dengan nilai proyek Rp7,1 miliar.
Dalam kasus ini, sejak awal Februari 2021, Nurdin diduga menerima suap sebesar Rp 2,2 miliar. Lalu, pada pertengahan Februari, kembali mendapatkan Rp 1 miliar dan pada 26 Februari mendapatkan Rp 2 miliar.
OTT yang menimpa Nurdin terbilang mengejutkan karena sosok ini dikenal sebagai pemimpin karismatik, bersih, dan berprestasi. Lantas, apa yang dapat dimaknai dari OTT Gubernur Sulawesi Selatan tersebut?
Nurdin Pemimpin Karismatik
Berbagai pihak memperlihatkan keterkejutannya atas OTT Nurdin. Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardani, misalnya, mengaku kaget karena Nurdin Abdullah dikenal sebagai Gubernur yang kreatif dan inovatif.
Pun begitu dengan Ketua DPP PDIP Bidang Pemenangan Pemilu, Bambang Wuryanto yang menegaskan bahwa Nurdin adalah Gubernur yang santun, salatnya 5 waktu, dan juga sering memberikan ceramah.
Tidak hanya dikenal baik, Nurdin juga merupakan sosok yang bergelimang prestasi. Pada 2017, Nurdin Abdullah meraih penghargaan Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA) bersama Dirjen Bea-Cukai RI, Heru Pambudi. Ketika itu Nurdin masih menjabat Bupati Bantaeng, Sulawesi Selatan.
Baca Juga: Corona dan Bahaya Laten Korupsi
Di tahun yang sama, Ia juga meraih penghargaan atas predikat kepatuhan terhadap standar pelayanan publik dari Ombudsman. Setahun sebelumnya, atau pada 2016, Nurdin menerima Tanda Bintang Jasa Utama Bidang Koperasi dan UKM dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Selain penghargaan, Nurdin juga memiliki jaringan yang mumpuni. Pertama, jaringan pendidikan. Ini ditunjukkan dengan dia menjadi Ketua Persatuan Alumni dari Jepang – Sulawesi Selatan, Ketua Umum Persatuan Sarjana Kehutanan Sulawesi Selatan, dan Badan Penasihat PGRI Kabupaten Bantaeng.
Kedua, jaringan bisnis, yaitu pernah menjadi Presiden Direktur PT Maruki Internasional Indonesia, President Director of Global Seafood Japan, dan Director of Kyusu Medical Co. Ltd. Japan. Ketiga, jaringan pemerintah. Nurdin pernah menjadi Koordinator Wilayah Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) Provinsi Sulawesi Selatan.
Keempat, jaringan organisasi sipil seperti dia pernah menjadi Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Kabupaten Bantaeng, dan Ketua Umum Masyarakat Perhutanan Indonesia Reformasi Sulawesi Selatan.
Kelima, jaringan Islam dengan menjadi Ketua Badan Majelis Jami’ah Yayasan Perguruan Islam Athirah Bukit Baruga.
Atas berbagai penghargaan dan jaringan yang ada, tidak sedikit yang menilai Nurdin sebagai sosok pemimpin karismatik yang dapat membawa perubahan. Selain kedua hal itu, karisma Nurdin juga tersirat dalam kampanye politik yang dilakukannya. Ada dua pesan kunci dalam kampanye politik Nurdin, yakni partisipasi dan integritas akademisi.
Pertama, partisipasi ditunjukkan melalui jargon “Partisipasi untuk Sulsel Jaya” yang mengajak masyarakat untuk berdonasi 10 ribu rupiah untuk membangun Sulawesi Selatan. Jargon ini juga ditambahkan dengan istilah nostalgik yang digunakan seperti untuk kembali ke masa kejayaan Sulawesi Selatan. Kedua, integritas akademisi ditunjukkan dengan menggunakan istilah Profesor Andalan.
Sebagai konsekuensi dari karier politik yang dibangun berbasis karisma, Nurdin membuat berbagai kebijakan populis guna membendung ketidakpuasan dari DPRD. Di bidang pendidikan, Ia memiliki program 1 desa 1 PAUD, dan program ini dibimbing oleh istrinya, Liestiaty.
Di bidang kesehatan, Ia membangun rumah sakit internasional dan menginisiasi pembentukan Brigade Siaga Bencana (BSB). Unit layanan kesehatan ini melakukan kegiatan terpadu layanan kesehatan gratis dengan melibatkan 20 dokter, delapan perawat, dan ditunjang mobil ambulans.
Penelitian Darmawan Syah, Hafied Cangara, dan Iqbal Sultan mengenai Opini Dan Sikap Masyarakat Terhadap Pembaharuan Dan Kepemimpinan Bupati Nurdin Abdullah mendokumentasikan sejumlah pendapat soal Nurdin. Dari sisi legislatif, Nurdin dianggap sukses menyelesaikan pembebasan lahan Bantaeng Industrial Park.
Baca Juga: Menteri Korupsi, Jokowi-Fadli Zon Sehati?
Dari sisi eksekutif, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Bantaeng menyatakan masyarakat yang berada di titik-titik pembangunan memiliki prioritas untuk menempati kios yang dibangun pemerintah daerah tanpa dibebankan pembayaran dan retribusi. Lalu, dari sisi warga sipil, seorang kepala sekolah menyatakan bahwa berbagai fasilitas yang dibangun membuat rasa bangga dan dapat diakses masyarakat karena gratis.
Akan tetapi, karisma yang tersematkan nyatanya tetap membawa Nurdin berurusan dengan kasus rasuah. Mengapa ihwal itu sekiranya terjadi?
Citra Anti Korupsi vs Realitas Korupsi
Anna Person, Bo Rothsein, dan Jan Teorell membuka artikelnya The failure of Anti-Corruption Policies dengan realitas menyedihkan di Afrika soal anti-korupsi. Mereka membedah bahwa masalah utama gagalnya anti-korupsi disebabkan salahnya mendefinisikan korupsi yang selalu didasarkan pada principal agent theory.
Dalam teori ini, tindak pidana korupsi dipahami sebagai akibat adanya asimetri informasi dan kepentingan antara agen (baik berupa birokrat maupun penguasa) dan pelaku (baik dalam bentuk penguasa atau warga negara). Tujuan utama dari setiap upaya anti-korupsi karenanya harus meningkatkan biaya tindakan korupsi untuk agen.
Teori tersebut punya implikasi pada kebijakan. Dengan teori tersebut, berarti perlu dibuat berbagai mekanisme dan kelembagaan formal, termasuk mekanisme pemantauan, peningkatan transparansi, checks and balances, mekanisme pemilihan yang demokratis, kebebasan pers, pembentukan lembaga anti-korupsi yang independen, kenaikan upah untuk pejabat publik, penguatan masyarakat sipil, serta pengenalan sistem pengadilan independen.
Nah, kebijakan anti-korupsi yang dibangun di Sulawesi Selatan mengikuti cara berpikir principal agent theory tersebut. Pemerintah daerah Sulawesi Selatan mengklaim usaha anti-korupsi tercermin dalam beberapa aspek.
Pemda Sulsel mengembangkan apps android Baruga Pelayanan Masyarakat untuk menyampaikan keluhan masyarakat termasuk korupsi. Lalu, indeks reformasi birokrasi di Sulawesi Selatan mendapatkan Kategori Baik Sekali (BB) pada 2021 yang ini berubah dari Kategori Baik (B) di 2020 dan cukup (CC) pada 2019.
Selain itu, berbagai survei yang berkaitan dengan korupsi di lakukan di berbagai lembaga daerah seperti indeks persepsi korupsi BNN Sulsel, Pengadilan Tinggi Negeri Makassar, hingga survei Ombudsman menunjukkan kategori bersih dari korupsi dalam persepsi masyarakat. Selain survei, berbagai banner dan baliho anti-korupsi juga dipasang di kantor pemerintah daerah seperti di BKTM Makassar.
Baca Juga: Memahami Logika Juliari Korupsi Bansos Covid-19
Namun, seperti yang diketahui, OTT Nurdin justru berkata sebaliknya. Dalam blog yang ditulis oleh Anti-Corruption Committee (ACC) Sulawesi, pada 2013 korupsi di bidang infrastruktur menempati posisi ketiga.
Pengadaan barang dan jasa menempati posisi pertama sebesar kurang lebih Rp 518 miliar, sumber daya alam sebesar Rp 500 miliar dan infrastruktur sebesar Rp 273 miliar. Pada 2019, ada 132 kasus tindak pidana korupsi (tipikor) yang ditangani penegak hukum di Sulawesi Selatan (Sulsel) yang diketahui mandek.
Artinya apa? Berbagai langkah yang dilakukan oleh berbagai lembaga daerah nyatanya tidak dapat mendeteksi korupsi Nurdin. Fokus hanya pada penguatan lembaga bukan berarti apa-apa, tanpa melihat bahwa bukan hanya agen, dalam hal ini Gubernur, yang akan bertindak korup, tapi juga semua pihak.
Di sinilah pentingnya collective action theory. Melalui teori ini, kita bisa mengetahui bahwa motif Nurdin untuk melakukan korupsi tidak terlepas dari motif Agung Sucipto. Masing-masing dari mereka punya alasan rasional. Keputusan Edy Rahmat untuk terlibat dalam ini juga sangat tergantung pada tindakan kedua orang ini dan mungkin saja berpikir “orang boleh korup, kenapa saya engga”.
Setiap aktor baru muncul, maka akan langsung terserap ke dalam pusaran ini yang akhirnya korupsi menjadi laku kolektif dan di sinilah korupsi mempunyai apa yang disebut sebagai structure of incentives. Korupsi bukanlah satu tragedi/sekali pentas, tapi rantai yang terus mengundang tiap aktor baru untuk masuk. (F65)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.