Site icon PinterPolitik.com

Menyingkap Narasi Kebapakan Jokowi

narasi kebapakan Jokowi

Jokowi (Foto: Setkab)

Dalam salah satu iklan resmi yang diunggah oleh kanal KPU, Jokowi menggunakan narasi tentang kebapakan.


Pinterpolitik.com

[dropcap]A[/dropcap]khirnya, iklan resmi dari kandidat-kandidat yang akan berlaga di Pilpres 2019 dirilis juga oleh KPU. Masing-masing kubu memiliki tiga jenis iklan yang diunggah oleh akun resmi YouTube lembaga penyelenggara Pemilu tersebut.

Ada satu hal yang menarik dari perilisan iklan-iklan kampanye tersebut. Pasangan kandidat nomor urut 01, Joko Widodo (Jokowi) dan Ma’ruf Amin membawa narasi tentang bapak dalam iklan kedua dari total tiga iklan tersebut.

Terlihat bahwa ada pesan khusus yang disampaikan dalam iklan berbau kebapakan milik Jokowi tersebut. Dalam iklan tersebut, seolah digambarkan bahwa memilih presiden sama dengan memilih figur seorang bapak. Selain itu, dalam iklan tersebut juga digambarkan bahwa bapak yang baik itu harus peduli dan selalu hadir ketika dibutuhkan.

Melalui iklan tersebut, terlihat bahwa narasi tentang Bapak boleh jadi akan menjadi salah satu narasi utama dari kampanye Jokowi. Lalu, sejauh mana narasi tentang Bapak tersebut dapat membawa sang petahana untuk menduduki kembali kursi di Istana Negara?

Menjual Kebapakan

Perkara tentang Bapak dan politik sebenarnya lazim terjadi di dalam gelaran Pemilu. Narasi soal menjadi Bapak kerap kali menjadi salah satu hal yang ampuh dalam menarik para pemilih untuk mau bergerak ke TPS.

Salah satu bentuk upaya membawa narasi tentang Bapak itu terlihat misalnya dalam gaya kampanye milik mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama. Pada tahun 2012, mantan Senator asal Illinois tersebut terlihat lebih kebapakan jika dibandingkan dengan kampanyenya di tahun 2008.

Obama yang semakin berumur meninggalkan narasi tentang hope and change atau harapan dan perubahan yang berhasil digunakan di tahun 2008. Gaya bicaranya di tahun 2012 lebih bijak dan terkadang terdengar seperti petuah orang tua pada anaknya. Hal ini ditambah dengan gambaran Obama sendiri yang memang secara pribadi adalah ayah yang loyal pada keluarganya.

Strategi untuk terlihat lebih kebapakan ini memang tergolong efektif dari beberapa sisi. Salah satu nuansa utama yang ingin ditonjolkan melalui gaya kampanye seperti ini adalah soal trust atau kepercayaan. Setidaknya, itulah yang digunakan Obama dalam kampanye dengan narasi kebapakan tersebut.

Pentingnya narasi tentang Bapak ini tergambar juga misalnya dalam Pemilu di Italia. Alessandro Amadori, seorang psikolog dan penulis asal negara tersebut menggambarkan bahwa Pemilu di Italia adalah tentang mencari sosok seorang ayah. Ia menyebut bahwa untuk memahaminya, maka perlu untuk melihat pemikiran Sigmund Freud.

Dalam wawancaranya dengan Deustsche Welle, Amadori menyebutkan bahwa memilih dalam Pemilu bukanlah hal yang rasional. Pemilu menurutnya lebih berkaitan dengan emosi, sehingga tidak semua mudah untuk dimengerti.

Merujuk pada hal tersebut, ia menggambarkan bahwa politik Italia adalah pencarian abadi sosok seorang ayah atau bapak. Amadori menggambarkan bahwa jauh di lubuk hati, hampir semua orang secara politik tidak dewasa. Alih-alih bertumbuh, kita justru mencari sosok bapak yang memberi tahu apa yang harus kita lakukan. Dari sinilah ia menganggap bahwa politik perlu pemahaman tentang Freud yang berbicara tentang personalitas.

Memutar Memori

Merujuk pada kondisi-kondisi di atas, menggunakan narasi kebapakan dalam kampanye boleh jadi memang dapat memberikan keuntungan tersendiri. Akan tetapi, narasi kampanye seperti ini sebenarnya dapat dimaknai secara lain, terutama dalam konteks Indonesia.

Selama bertahun-tahun, Indonesia hidup dalam era Orde Baru yang sangat menekankan pada kebapakan, sehingga banyak yang menyebutnya dengan Bapakisme. Istilah asal Bapak Senang (ABS) kerap menjadi hal yang terkait erat dengan rezim tersebut.

Menurut Saya S. Shiraishi, di era tersebut, Soeharto bertindak sebagai bapak tertinggi bagi bangsa Indonesia. Soeharto kala itu dianggap mengadaptasi gagasan tentang kekeluargaan milik Ki Hajar Dewantara.

Dalam kadar tertentu, penggunaan narasi kebapakan dapat menggambarkan stratifikasi khusus, sehingga terjadi ketidaksetaraan antara pihak-pihak yang terlibat. Ada kecenderungan relasi kuasa muncul ketika istilah ini digunakan terutama di era Orde Baru. Shiraishi misalnya menggambarkan bagaimana Soeharto menggunakan istilah Bapak untuk mencegah anak muda dan anak buah bersikap keras kepada dirinya sebagai sang Bapak.

Pandangan seperti itu diungkapkan misalnya oleh Michael van Langenberg. Sebagaimana dikutip oleh Fitri Lestari, Langenberg menyebut bahwa pengertian tentang Bapak adalah dasar dari seluruh stratifikasi sosial di Indonesia.

Ada nuansa patron-klien yang disebutkan oleh Langenberg saat menggambarkan kebapakan di era Soeharto. Setiap patron adalah Bapak, dan semua klien memiliki Bapak. Hal ini membuat semua aparat harus tunduk dalam hubungan Bapak dan klien tersebut.

Dalam kadar tertentu, penghormatan melalui istilah Bapak tentu adalah hal yang penting. Akan tetapi, perkara patron-klien yang terlampu dalam hanya melanggengkan budaya ABS, sehingga tindakan kebijakan tak selalu hadir maksimal karena dimaksudkan hanya ingin menyenangkan Bapak selaku klien.

Kondisi tersebutlah yang berpotensi menjadi gangguan bagi Jokowi saat membawa narasi tentang kebapakan lewat iklan kampanyenya. Ada potensi jebakan bahwa istilah tersebut hanya melanggengkan budaya patron-klien yang kaya akan tindakan berbau ABS.

Belum Teruji

Dalam kasus Soeharto, istilah Bapak tidak hanya menjadi gambaran dari stratifikasi semata. Istilah tersebut juga digunakan untuk memberikan legitimasi khusus kepada rezim yang berkuasa lebih dari 30 tahun tersebut.

Melalui gelar Bapak Pembangunan, Soeharto mendapatkan legitimasi untuk melakukan banyak hal di negeri ini. Pandangan seperti ini diungkapkan misalnya oleh Kathryn Robinson yang menyebut bahwa istilah Bapak ini menjadi sumber bagi otoritas sang jenderal untuk melakukan berbagai kebijakan.

Merujuk pada hal tersebut, ada unsur otoritas yang dapat dihadirkan melalui istilah Bapak. Pada titik ini, apakah Jokowi sudah bisa dianggap melakukan banyak hal, sehingga bangsa ini sudah bisa memanggilnya sebagai Bapak?

Hal tersebut tentu masih bisa diperdebatkan. Meski begitu, dengan masa jabatan yang terbilang pendek, pengistilahan Bapak kepada Jokowi tergolong masih terburu-buru. Jika mau adil, tidak banyak yang bisa dinilai dalam lima tahun ini untuk memberi gelar Bapak kepada Jokowi.

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu baru-baru ini misalnya dinobatkan sebagai Bapak Pembangunan Desa oleh sejumlah perangkat desa. Dalam kadar tertentu, gelar ini masih bisa diperdebatkan – terutama oleh oposisi – karena minimnya waktu memimpin Jokowi untuk mendapatkan gelar tersebut.

Oleh karena itu, minimnya jam terbang Jokowi membuat gelar tersebut dan narasi kebapakan dalam iklannya boleh jadi terbatas pada pembentukan otoritas belaka. Jokowi boleh jadi memerlukan sumber legitimasi baru untuk dapat meneruskan kepemimpinannya hingga periode kedua.

Jokowi menggunakan narasi kebapakan dalam iklan terbarunya. Share on X

Pada akhirnya, narasi tentang Bapak yang digambarkan dalam iklan Jokowi-Ma’ruf boleh jadi adalah sebagai upaya untuk membangun otoritas kepada kandidat nomor urut 01 tersebut. Apalagi, strategi ini sendiri memang lazim digunakan di seluruh dunia. Meski demikian, perkara pengujian apakah gelar Bapak itu sudah layak disandang oleh Jokowi masih perlu pembicaraan lebih panjang. Terlebih strategi ini juga amat kental nuansa Orde Baru-nya.

Lalu, apakah narasi kebapakan ala Jokowi ini bisa benar-benar efektif mendongkrak suaranya di Pilpres 2019 nanti? Mampukah ia memenuhi syarat pencarian Bapak yang digambarkan oleh Amadora? Jawabannya mungkin baru akan terungkap setelah 17 April 2019 nanti. (H33)

Exit mobile version