Site icon PinterPolitik.com

Menyibak Strategi Sun Tzu PDIP

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto (Foto: Fajar Onlines)

Belakangan ini Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto melayangkan berbagai kritik terhadap pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Yang paling menarik, ternyata ada program beasiswa untuk membandingkan era pemerintahan SBY dengan Joko Widodo (Jokowi). Apakah ini cara PDIP untuk mengantisipasi kekalahan di Pemilu 2024?


PinterPolitik.com

“In the end, nothing is lost. Every event, for good or evil, has effects forever.” — Will Durant, penulis Amerika Serikat

Cerita ketegangan banteng dan mercy telah lama terdengar. Disebutkan, ini bermula pada Peristiwa Kudatuli atau Peristiwa Rabu Kelabu pada 27 Juli 1996. Saat itu, serangan terhadap kantor pusat PDI (sebelum menjadi PDIP) di Jalan Diponegoro 58, Jakarta, menewaskan 5 orang, 149 luka-luka, dan 23 orang hilang.

Meskipun tidak pernah terbukti di pengadilan, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang saat itu menjabat Kepala Staf Komando Daerah Militer (Kasdam) Jaya disebut-sebut bertanggung jawab. Konteksnya juga semakin kompleks ketika SBY maju dan menang di Pilpres 2004 mengalahkan Megawati. 

Menurut berbagai pihak, sampai saat ini Megawati masih menyimpan dendam dengan SBY. Melihat gestur-gestur politik yang ada, sangkaan tersebut sekiranya dapat dibenarkan. Ada tiga gestur yang dapat digunakan sebagai indikasi.

Pertama, meskipun ditawari gabung koalisi dan diberi berbagai jatah menteri, Megawati menolak masuk pemerintahan SBY. Hal tersebut diungkapkan dalam Kongres V PDIP di Bali pada Agustus 2019. Tuturnya, PDIP sangat berkesempatan untuk masuk kabinet dan ditawari berbagai posisi menteri. 

Meskipun berbagai kader PDIP mendorongnya mengambil tawaran tersebut, Megawati tetap pada pendirian berada di kubu oposisi. Tidak sekadar menolak, Megawati bahkan meminta kader yang tertarik pada tawaran tersebut untuk keluar dari PDIP.

Kedua, berbagai pihak menilai Megawati merupakan ganjalan utama mengapa Partai Demokrat gagal masuk koalisi Jokowi. Secara tersirat, pada 25 Juli 2018, SBY mengeluarkan pernyataan yang jamak ditafsirkan menggambarkan persoalan tersebut. 

“Saya tidak mengatakan hambatan dengan Jokowi tetapi ada hambatan dengan koalisi. Nah bisa ditafsirkan sendiri soal itu,” begitu ungkapnya.

Baca Juga: PDIP Dendam dengan Demokrat-PKS?

Ketiga, pada 1 Oktober 2019, Megawati terlihat tidak menyalami Surya Paloh dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) saat pelantikan anggota DPR RI periode 2019-2024. Kendati dibantah, berbagai pihak tidak bisa menghilangkan dugaan bahwa itu bukanlah sebuah ketidaksengajaan.

Jika AHY berkaitan dengan SBY, Surya Paloh terkait dengan manuver Partai Nasdem di Pemilu 2019 yang disebut membuat PDIP begitu marah. Pasalnya, Nasdem disebut mengambil berbagai kader potensial parpol lain, termasuk PDIP, sebagai strategi untuk memperbesar kemenangan di Pemilu 2019.

Selain ketiga gestur tersebut, pernyataan berulang berbagai kader PDIP yang menyinggung Peristiwa Kudatuli merupakan indikasi yang tidak terbantahkan. Terbaru, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto juga tengah gencar mengkritik pemerintahan SBY.

Mulai dari gaya komunikasi yang membuat lagu dan buku, hingga gelontoran dana bantuan sosial senilai Rp 22 triliun yang disebut merugikan APBN dan merupakan politik populis. Lebih menarik lagi, Hasto mengungkapkan sudah ada 53 orang yang mendaftar untuk menerima beasiswa kajian akademis perbandingan kinerja Presiden Jokowi dan Presiden SBY. 

Tidak hanya begitu menarik, pemberian beasiswa semacam itu rasa-rasanya merupakan gestur politik baru di Indonesia. Lantas, mengapa itu dilakukan?

Soft Power ala PDIP

Secara cepat, kita dapat menjawabnya menggunakan konsep contrast effect. Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of Thinking Clearly menjelaskan bahwa konsep tersebut yang memungkinkan kognisi manusia dapat membuat penilaian. Dengan adanya contrast effect, kita dimungkinkan untuk mengenali perbedaan antar objek.

Cara kerjanya sederhana, penilaian atau pemaknaan ternyata baru bisa dilakukan apabila suatu objek dapat kita bandingkan dengan yang lainnya. Kita dapat mengetahui objek X kasar karena tidak sehalus objek Y. 

Singkatnya, beasiswa perbandingan kinerja Jokowi dengan SBY dapat dikatakan sebagai strategi untuk menentukan mana pemerintahan yang lebih baik. 

Dalam ilmu hubungan internasional, strategi tersebut dapat dipahami melalui konsep soft power. Joseph Nye, Jr. dalam tulisannya Public Diplomacy and Soft Power menjelaskan soft power merupakan kekuatan untuk membuat aktor lain menginginkan hal yang sama.

Lebih rinci, soft power adalah pendekatan yang berkarakter inspirasional, yakni kekuatan menarik orang lain dengan kekuatan kecerdasan emosional, seperti membangun hubungan atau ikatan yang erat melalui karisma, komunikasi yang persuasif, daya tarik ideologi visioner, serta pengaruh budaya, sehingga membuat orang lain terpengaruh.

Baca Juga: Ketika AS-Tiongkok Rebutan NU

Pada praktiknya, penggunaan soft power kerap dilakukan dengan memberikan beasiswa kepada suatu negara. Sue Enfield dalam tulisannya Evidence for Soft Power Created via Scholarship Schemes menyebutkan, pemberian beasiswa pendidikan adalah alat yang biasa digunakan sebagai soft power. Program beasiswa dirancang sedemikian rupa untuk melayani kepentingan negara tuan rumah untuk memengaruhi negara yang diberikan beasiswa dalam jangka panjang.

Pemberian beasiswa semacam itu, tidak hanya untuk memengaruhi, melainkan juga sebagai sarana bertukar budaya, yang nantinya dapat memengaruhi persepsi penerima beasiswa terhadap negara tujuannya.

Kita dapat melihat Amerika Serikat (AS) sebagai salah satu negara yang paling kentara menerapkannya. Sebagaimana diketahui, telah lama AS memberikan program beasiswa kepada pelajar Tanah Air untuk kuliah di sana. Sejak tahun 2000-an, program-program beasiswa AS juga mulai diperuntukkan kepada siswa-siswi pesantren dan madrasah.

Selain AS, Tiongkok juga disebut tengah melakukan upaya yang sama. Jon Emont dalam tulisannya How China Persuaded One Muslim Nation to Keep Silent on Xinjiang Camps mengungkapkan sebuah laporan investigatif yang menyebutkan Tiongkok melakukan manuver terhadap ormas-ormas Islam di Indonesia, seperti Muhammadiyah dan NU, untuk menekan kritik atas dugaan diskriminasi terhadap kelompok Muslim Uighur di Xinjiang. 

Disebutkan, Tiongkok memberikan sejumlah donasi dan program beasiswa pada NU dan Muhammadiyah sejak tahun 2018 ketika isu Uighur mencuat ke publik. 

Nasihat Perang Sun Tzu

Nah, bertolak pada program beasiswa AS dan Tiongkok yang memiliki tujuan diplomatis dan politis, sulit rasanya mengatakan beasiswa perbandingan kinerja Jokowi dengan SBY tidak memiliki tendensi yang sama. Mengacu pada konsep soft power dan hubungan panas PDIP dengan Partai Demokrat, mungkin dapat disimpulkan, beasiswa itu diperuntukkan untuk menekankan betapa berprestasinya pemerintahan Jokowi.

Apalagi, seperti pernyataan Hasto, cara perbandingan yang lebih objektif adalah membandingkan pembangunan infrastruktur yang dilakukan kedua pemerintahan. 

“Bagaimana jumlah jembatan yang dibangun antara 10 tahun Pak SBY dengan Pak Jokowi saat ini saja. Jumlah pelabuhan, jalan tol, lahan-lahan pertanian untuk rakyat, bendungan-bendungan untuk rakyat, itu kan bisa dilakukan penelitian yang objektif,” ungkapnya pada 23 Oktober 2021.

Jika penekanannya demikian, rasanya mudah menyimpulkan siapa yang lebih baik. Ya, tentu saja adalah Presiden Jokowi. Sebagaimana diketahui, mantan Wali Kota Solo ini dikenal begitu giat membangun proyek-proyek infrastruktur seperti jalan tol.

Pada kampanye Pilpres 2019 kemarin, capaian-capaian pembangunan infrastruktur juga terlihat menjadi andalan tim pemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin. Contohnya, terdapat berbagai gambar dan pemaparan yang memperlihatkan bagaimana unggulnya Presiden Jokowi dalam membangun jalan tol ketimbang presiden-presiden sebelumnya.

Baca Juga: Megawati Lebih Kuat Dibanding Soekarno?

Selain persoalan ini, apabila kita membaca nasihat-nasihat perang Sun Tzu, PDIP tampaknya mempersiapkan strategi jitu dalam menghadapi Pemilu 2024. Kajian-kajian akademis tersebut tampaknya akan digunakan sebagai bahan kampanye politik untuk menunjukkan betapa berprestasinya pemerintahan Jokowi.

Seperti kata Sun Tzu dalam buku The Art of War, “Siapapun datang lebih dulu ke medan perang dan menunggu kedatangan musuh akan lebih segar bugar saat pertempuran terjadi”. 

Singkatnya, PDIP tengah bersiap untuk masuk ke dalam medan tempur elektoral lebih dahulu. Mereka sedang menyiapkan logistik bahan kampanye. 

Selain itu, apabila kita sedikit berspekulasi, logistik tersebut juga dapat menjadi strategi dalam menghadapi kekalahan di 2024. Katakanlah PDIP tidak lagi menjadi pemenang pemilu dan kehilangan kursi eksekutif, kajian-kajian akademis tersebut dapat digunakan untuk membandingkan pemerintahan selanjutnya. Sekali lagi, contrast effect diterapkan.

Well, sebagai penutup, harus digarisbawahi, tulisan ini hanyalah analisis teoretis semata. Bagaimana pun, hanya pihak-pihak terkait yang mengetahui alasan beasiswa ini diadakan. Mungkin hanya niat baik yang berdiri di belakangnya. “Demi kemajuan pendidikan”, kira-kira demikian. (R53)

Exit mobile version