Sejak kasus penyiraman air keras menimpa Novel Baswedan pada 11 April 2017, kasus ini belum juga menunjukkan titik terang bahkan hingga dua tahun. Tak kunjung cerahnya kasus ini menjadi catatan hitam bagi penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di era Jokowi.
Pinterpolitik.com
[dropcap]D[/dropcap]ua tahun adalah waktu yang harus ditempuh oleh penyidik senior KPK Novel Baswedan untuk menanti titik terang atas kasus penyiraman air keras yang menimpa dirinya. Selama dua tahun itu pulalah potret keadilan dan penegakan hukum Indonesia tergambar amat muram. Secara khusus, pemberantasan korupsi juga berada dalam tanda tanya selama dua tahun akibat kejadian tersebut.
Tak kunjung terungkapnya kasus Novel ini membuat Wadah Pegawai KPK memberi rekomendasi cukup terang dan jelas pada peringatan dua tahun kasus ini. Pemerintah harus membuat Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) agar kasus yang gelap ini dapat menjadi terang.
Sayang, ternyata tak semua sepakat dengan para pegawai KPK serta pegiat hukum dan HAM di Indonesia. Ada segelintir orang yang justru berunjuk rasa di acara peringatan dua tahun kasus Novel dan merendahkan Novel dengan tuduhan politis.
Meski kasus Novel ini menjadi potret muram bagi penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, nyatanya pemerintah maupun kepolisian tampak belum bisa menemukan formula yang ampuh untuk mengungkap kasus ini.
Masalahnya, perkara berlarut ini kemudian tak hanya jadi potret buram bagi penegakan hukum, tetapi juga pencoreng kinerja pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) secara umum. Yang membuatnya tambah pelik adalah, kritik tersebut terus mengalir hingga ke tahun Pemilu, sehingga bisa mempengaruhi ikhtiar Jokowi untuk kembali bertahta sebagai presiden.
Kasus yang Menuai Kritik
Gelap. Seperti itulah kata yang dapat digunakan untuk kasus yang menimpa kasus Novel Baswedan. Kata ini, tidak hanya menggambarkan kondisi fisik Novel yang pandangan sebelah matanya menjadi gelap, tetapi menjadi deskripsi bagi perjalanan kasus ini sendiri.
Jika pernyataan media yang menjadi acuannya, pemerintah dan juga kepolisian sebenarnya bukannya sama sekali tak memiliki upaya untuk mengungkap kasus ini. Salah satu usaha teranyar adalah ketika kepolisian membentuk tim gabungan untuk menuntaskan kasus yang berlarut-larut.
Yang menarik, pembentukan tim gabungan tersebut amat berdekatan waktunya dengan debat capres-cawapres episode pertama yang salah satu bahasannya adalah soal hukum dan HAM. Banyak pihak yang mengaitkan bahwa pembentukan tim itu tak lain sebagai tameng jika perkara Novel dibahas dalam debat.
#DuaTahunNovel tapi kasus penyerangan terhadap penyidik KPK,Nove, tidak juga selesai. Ini merupakan salah satu teror terhadap gerakan pemberantasan korupsi Indonesia. pic.twitter.com/FHNgsb0drA
— KPK (@KPK_RI) April 11, 2019
Di luar debat, kasus Novel Baswedan ini memang telah menjadi salah satu catatan hitam bagi pemerintahan Jokowi. Tak hanya menjadi sasaran kritik pada saat Pemilu, kasus ini juga memberikan peluang kepada Jokowi untuk mengalami penurunan suara.
Kasus tersebut lama-lama telah menjelma bak kerikil di kaki pemerintahan Jokowi. Kerikil ini bahkan berpotensi menjadi batu yang lebih besar mengingat kasus Novel Baswedan ini terus menjadi bahan kritik di musim Pemilu yang krusial seperti saat ini.
Bagaimana tidak, Jokowi yang di tahun 2014 membawa angin tentang perubahan terutama di bidang penegakan hukum dan HAM, ternyata tak berdaya saat disodori kasus Novel. Pada titik ini, ada potensi bahwa masyarakat yang semula berharap Jokowi bisa menegakkan HAM, tak lagi akan memilihnya di Pilpres mendatang.
Menyerang Pribadi
Bagi beberapa pihak, kasus yang berpotensi merusak peluang kemenangan ini tentu harus bisa diredam seminimal mungkin. Ada indikasi dari upaya peredaman kasus Novel ini melalui serangan isu miring kepada pribadi Novel.
Beberapa waktu lalu misalnya, sempat beredar kabar bahwa Novel terafiliasi dengan Gerindra, partai yang beroposisi dengan pemerintahan Jokowi. Kabar tersebut kemudian dibantah oleh Novel sendiri.
Tak hanya itu, di media sosial juga sempat beredar meme yang menggambarkan kabinet yang akan dibentuk oleh Prabowo Subianto, lawan Jokowi di Pilpres 2019. Di sana, ada sosok Novel yang disebutkan akan mengisi pos Jaksa Agung. Di daftar tersebut, Novel disejajarkan dengan tokoh-tokoh yang kerap menjadi sasaran kritik bahkan olok-olok dari netizen.
Jika hal itu belum cukup, di peringatan dua tahun kasus Novel di Gedung KPK juga sempat diwarnai unjuk rasa. Serupa dengan hal-hal di atas, merujuk pada laporan Tempo, orasi dari unjuk rasa itu menuding Novel tengah berpolitik.
Tentu, sulit untuk menuduh siapa yang benar-benar paling bertanggung jawab dari serangan kepada pribadi Novel tersebut. Meski demikian, terlepas dari hal tersebut, terlihat bahwa ada semacam upaya mendiskreditkan Novel secara pribadi. Layaknya dalam sebuah adu argumentasi, ada semacam langkah ad hominem dari penyebar isu tersebut kepada sosok Novel.
Alih-alih mencoba menjawab kritik kasus Novel dengan argumen yang tepat, para penyebar isu ini justru menyerang pribadi Novel dan seperti merendahkannya dengan tudingan afiliasi politiknya. Melalui tudingan ini, boleh jadi ada intensi untuk mengurangi kepercayaan masyarakat kepada sosok Novel.
Pada titik ini, para penyebar isu ini tengah melakukan praktik diskredit kepada sosok Novel. Menurut Lee Staples dalam Roots to Power: A Manual for Grassroots Organizing, taktik diskredit ini memang dapat menjadi tantangan bagi validitas dari sosok yang disasar.
Lagi-lagi, tentu menuduh siapa yang bertanggung jawab paling awal pada serangan pribadi ini bukanlah hal yang mudah. Meski demikian, sulit untuk tidak melihat bahwa serangan pribadi ini dapat memiliki dampak berupa peredaman wacana kasus Novel yang tengah menggerogoti pemerintahan Jokowi.
Bagi beberapa orang, mungkin serangan kepada pribadi dan afiliasi politik Novel ini bisa membuat mereka teralih perhatiannya dari kasus yang berlarut, ke Novel dan politik. Meski demikian, sulit untuk bisa mengatakan bahwa hal ini akan benar-benar menyelamatkan Jokowi dari kritik dan potensi penurunan dukungan akibat kasus Novel yang tersendat selama dua tahun.
Solusi Paling Nyata
Pada titik ini, idealnya cara paling jelas untuk meredakan kritik kepada Jokowi adalah ungkap kasus Novel seterang-terangnya. Formula ini sebenarnya bisa ditempuh sejak dua tahun yang lalu dan berpotensi menyelamatkan pemerintahan ini dari kritik bertubi-tubi.
Perlu diakui, bahwa penyelesaian kasus ini boleh jadi tidak mudah. Dugaan keterlibatan banyak pihak termasuk penegak hukum di tingkat elite kerap dihembuskan termasuk oleh Novel sendiri. Dalam kadar tertentu, boleh jadi ada dampak politik tersendiri jika kasus ini benar-benar diungkap secara transparan.
Secara umum, persinggungan antara penegakan hukum dan politik terkadang memang tak terhindarkan. Hal ini misalnya diungkapkan oleh Bruce Smith. Ia menyebut bahwa kontrol populer terhadap institusi hukum mulai hilang dan digantikan oleh kontrol politik. Hal ini membuat terkadang para politisi dapat mempengaruhi proses penegakan hukum.
#DuaTahunNovel end game bagi kita semua? pic.twitter.com/NCMXZGpoTy
— Aksi Kamisan (@AksiKamisan) April 11, 2019
Novel dan KPK secara umum sendiri memang lazimnya berkutat dengan kasus-kasus korupsi yang bersinggungan dengan aktor-aktor politik. Pada titik ini, merujuk pada pendapat Smith, penegakan hukum yang sempurna pada kasus Novel secara alamiah memang bisa saja terhambat. Ada potensi bahwa institusi penegak hukum dapat bersinggungan dengan perkara politik.
Meski demikian, jika memang serius dengan penegakan hukum dan HAM serta pemberantasan korupsi, jalan seterjal apapun idealnya sudah ditempuh sejak dua tahun lalu. Jika sejak dua tahun lalu perhatian serius telah diambil, boleh jadi hujaman kritik yang terjadi beberapa saat jelang Pemilu ini tidak akan hadir.
Tentu untuk saat ini, jika Pemilu jadi acuannya, waktu yang diperlukan untuk mengungkap kasus Novel boleh jadi terlampau singkat. Tim Gabungan Pencari Fakta independen sebagaimana direkomendasikan oleh Komnas HAM dapat menjadi salah satu jalan untuk menuntaskan kritik ini, sekaligus juga menyelamatkan pemerintahan dari coreng dalam penegakan HAM.
Tak ada solusi lain bagi Jokowi jika ingin lepas dari kritik tentang kasus Novel Baswedan selain menuntaskan kasusnya. Share on XSelain itu, tindakan spesifik dari seorang presiden kepada institusi kepolisian juga dapat diambil jika serius ingin menuntaskan kasus yang mengancam pemberantasan korupsi ini.
Perlu keberanian dan kemauan tinggi dari presiden jika ingin menuntaskan kasus Novel yang merongrong pemerintahannya dan agenda pemberantasan korupsi secara umum. Kritik kepada Jokowi jelang Pemilu ini tak akan hilang hanya dengan mendiskreditkan Novel melalui tudingan afiliasi politiknya.
Tentu, idealnya tindakan yang diambil tidak terburu-buru hanya demi menyelamatkan muka di bilik suara. Terlepas dari hal itu, mengungkap kasus ini boleh jadi hanya jadi satu-satunya harapan untuk mengembalikan harapan tentang pemberantasan korupsi di negeri ini di era Jokowi. (H33)