FBI kejar koruptor Malaysia sampai ke ujung dunia, kapan hal yang sama dilakukan buat Indonesia?
PinterPolitik.com
[dropcap]K[/dropcap]apal pesiar mewah bernama Equanimity itu berhasil dibekuk dan diamankan oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) di Bali. Penangkapan ini tentu saja menjadi tamparan keras bagi pemerintahan Perdana Menteri (PM) Malaysia, Najib Razak. Sebab, kapal ini diduga dibeli dari hasil penyelewangan dana pembangunan 1-Malaysia Development Berhad (1MDB).
Di sisi lain, Indonesia berhak bangga. Kinerja Polri patut diacungi jempol karena terlibat dalam investigasi kasus korupsi lintas dunia ini. Kapal mewah seharga 29 triliun tersebut ditangkap Kapolri atas permintaan Biro Investigasi Federal (FBI) melalui sambungan telepon.
FBI menaruh ‘perhatian’ pada kasus ini karena nama-nama selebriti asal Amerika, Leonardo DiCaprio serta Miranda Kerr – model ternama asal Australia yang tersangkut di dalamnya. Setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata nama PM Malaysia Najib Razak juga ikut masuk.
Di saat nama Najib Razak disebut-sebut, nama Jho Low dipastikan mengikuti di belakanganya. Bagaimana tidak? Dialah pemilik kapal pesiar mewah tersebut. Dia pula yang menyebar-nyebar uang hasil korupsi proyek 1MDB menjadi berlian untuk hadiah valentine Miranda Kerr, serta modal membuat film The Wolf of Wallstreet dengan bintang utama Leonardo DiCaprio. Aktor kondang itu bahkan diganjar bayaran sebesar 400 juta dolar.
Artis-artis Hollywood yang dekat dengan Jho Low tak hanya DiCaprio saja. Dalam beberapa foto yang tersebar di dunia maya, tergambar kedekatannya dengan Paris Hilton dan Nicky Hilton di sebuah pesta. Selain keluarga Hilton, Jho Low juga akrab dengan Lindsay Lohan, hingga rapper Usher. Mengingat nama-nama terkenal ini, dapat digambarkan kalau Jho Low bukanlah sembarang orang.
Benar saja, Jho Low lahir dari keluarga pebisnis keturunan Tionghoa. Kakeknya, Low Meng Tak adalah seorang pebisnis kelahiran Tiongkok yang menguasai bisnis properti dan pertambangan. Sementara ayahnya, Low Hock Peng, adalah pendiri dari Frencken Group Limited, perusahaan investasi yang tercatat di bursa saham Singapura.
Sudah punya kelurga tajir, tentu tak aneh bila lingkaran pertemanannya juga dekat dengan tokoh-tokoh penting. Jho Low diketahui berkawan akrab dengan anak angkat PM Najib Razak, Riza Aziz, bahkan sejak keduanya remaja dan bersekolah di Harrow School, London, Inggris. Sekolah yang mengganjar muridnya membayar Rp. 250 juta per level. Di sekolah itu pula, Jho Low bersahabat dengan Pangeran Abu Dhabi.
Lingkaran sosial elit yang mulai terbangun sejak remaja ini, diakui Jho Low sangatlah berkesan. Dalam media The Star, pria bertubuh tambun tersebut berkata fase sekolah di Harrow adalah fase penting, “Di sana, Anda belajar membangun kepercayaan untuk kepentingan masa depan.”
Selain kedekatan dengan anak Najib Razak, Jho Low secara personal juga dekat dengan bapaknya yang terkenal gemar mengkonsumsi quinoa tersebut. Dalam laporan Tempo, Najib meminta Jho Low menjadi penasihat proyek 1MDB selepas lulus dari University of Pennsylvania.
Saat 1MDB diputuskan mendukung pendirian perusahaan PetroSaudi JV, Jho Low terlihat menelepon Najib setelahnya. Setelah ditelusuri, dukungan kepada perusahaan PetroSaudi sebesar 700 juta dolar ternyata malah masuk ke kantong pribadi Jho Low.
Kasus korupsi besar dan hangat dibahas di Malaysia ini, tentu saja menjadi objek ‘gorengan’ pihak oposisi Najib Razak. Seperti yang diketahui, Malaysia akan mengadakan Pemilu pada Agustus mendatang. Najib harus pintar menangkal dan kuat mengadapi ‘serangan’ yang bertubi-tubi dari pihak oposisi atas isu ini.
Bulan-Bulanan Najib Razak
Penemuan kapal Equanimity milik Jho Low, sudah pasti menjadi sumber kampanye hitam yang ‘segar’ menyambut Pemilu Malaysia Agustus mendatang. Sebab dari sana, serangan kepada Najib Razak makin mudah dilancarkan.
Walau skandal korupsi 1MDB sudah tercium sejak 2008, tetapi publik Malaysia baru ‘peduli’ saat laporan investigasi The Wall Steet Journal dan Sarawak Report menurunkannya pada 2015. Partai oposisi seperti Partai Aksi Demokratik dan Partai Pakatan Harapan pun sudah mulai memainkan isu tersebut hingga hari ini.
Najib sendiri juga tak tinggal diam. Selain sibuk berkilah dan mengklaim tak terlibat korupsi apapun, ia lincah memecat siapa pun yang mencoba mengusut indikasi korupsi yang dilakukannya. Najib pernah memecat Jaksa Agung Abdul Gani Patail, serta Wakil Perdana Menteri Muhyiddn Yassin, dan empat menterinya karena menanyakan aliran dana 1MDB.
Koalisi anti rasuah (korupsi) Malaysia, Malaysian Anti Corruption Commision (MACC) yang berada di bawah Najib pun sudah bisa ditebak arahnya. Mereka menolak menelusuri kasus yang menjerat PM tersebut. MACC kompak berkata bahwa kasus korupsi akan diserahkan kepada polisi, Bank Negara, dan Komite Keuangan Publik.
Walau begitu, rasanya tetap akan sulit merubuhkan Najib. Walau diterpa kasus korupsi besar, elektabilitasnya masih kuat berada di atas para calon lain, salah satunya adalah Mahathir Mohammad yang masih berambisi menjadi PM di usia 92 tahun.
Kenaikan gaji yang dialami oleh pekerja manufaktur sebesar 9 persen per bulan, membuat elektabilitas Najib makin kokoh. Selain itu, dirinya juga mendapat dukungan dari Partai Islam Malaysia (PAS). Sebuah partai yang banyak menaungi suara melayu Muslim, serta di mana wacana kebangkitan pribumi dan Islam terus digelorakan.
Melihat hal ini, campur tangan FBI bisa saja memainkan hal yang signifikan untuk menurunkan pamor Najib. FBI tahu, selain Jho Low, tokoh berpengaruh dan kuat di belakang Najib adalah Donald Trump. Kedekatan Perdana Menteri Malaysia dengan presiden kontroversial asal Amerika Serikat tersebut adalah rahasia umum. Trump pernah mengundang Najib hanya untuk bermain golf bersamanya. Dalam beberapa kesempatan, keduanya pun pernah sibuk melempar pujian sebagai ‘teman terbaik’.
Kedekatan dengan Trump inilah yang bisa saja menjadi alasan mengapa Najib dikejar oleh kasus korupsi sampai ke ujung dunia. FBI barangkali merasa harus merontokkan teman-teman Trump yang bertengger sebagai pemimpin, sebab pihaknya sejak awal Februari 2018 lalu, resmi mengibarkan “bendera perang” terhadap Trump. FBI tak terima bila disebut Trump memainkan bias dan tak adil saat menurunkan investigasi soal keterlibatan Rusia dalam Pemilu Amerika Serikat.
Menilik andil FBI dalam kasus korupsi besar Malaysia ini, mau tak mau membuat sebuah pertanyaan muncul. Akankah FBI melakukan hal yang sama bila kasus seperti Najib terjadi di Indonesia?
Indonesia Dilindung FBI?
“In politics, nothing happened by accident. If it happens, you can bet it was planned that way” (dalam politik, tak ada yang namanya kebetulan. Jika sesuatu terjadi, maka itu sudah direncanakan demikian).
Ungkapan klasik Franklin D. Roosevelt seakan mewanti-wanti siapa pun untuk tak perlu lagi terkejut dengan apa yang terjadi dalam politik. Jika di Malaysia PM Najib kini menjadi bulan-bulanan segar soal kasus korupsinya, bisa saja hal itu memang hal yang diinginkan FBI untuk menyisihkan teman Trump, lawan FBI saat ini. Hal itu sudah direncanakan sedemikian rupa.
Di sisi lain, sulit pula untuk tak bertanya-tanya, mengapa hal sama tak dilakukan FBI kepada Indonesia? Jika melihat begitu banyaknya korupsi besar yang terjadi, Indonesia punya daftar yang panjang, mulai dari penimbunan harta oleh dinasti keluarga Soeharto, kasus BLBI, hingga E-KTP. Jika FBI tak ikut campur, seperti halnya yang terjadi pada Malaysia, barangkali memang itulah yang direncanakan FBI sejak awal.
Alih-alih diserang FBI, pemimpin Indonesia justru berhubungan baik – bila tidak bisa dibilang akrab, dengan mereka. Salah satu yang paling kentara adalah bagaimana FBI dan CIA mulai ‘gemar’ masuk ke Indonesia sejak Perang Dingin dimulai. Dari sana, kantor-kantor FBI dan CIA bebas berdiri dengan kedok toko buku di Indonesia.
Perlindungan FBI atau perlindungan pihak asing, mau tak mau terasa pula dengan bagaimana ‘amannya’ harta benda dan peninggalan para koruptor besar di luar negeri. Walau deretan besaran harta dan nama sudah dipaparkan, ini ternyata tak membuat FBI – apalagi kepolisian Indonesia –beranjak mengejar pelaku atau menyita harta koruptor sampai ke ujung dunia.
Salah satu keterlibatan asing yang pernah dirasakan Indonesia – selain lengsernya Soekarno dan Soeharto – adalah keluarnya Timor Timur dalam peta. Tetapi, daripada ‘membantu’, justru keputusan sulit yang dikeluarkan BJ. Habibie tersebut keluar karena ditekan oleh PM John Howard, mantan Perdana Menteri Australia. Hal ini secara gamblang diutarakan sendiri oleh Habibie dalam ABC.
Dengan demikian, Indonesia barangkali butuh satu saja tokoh yang dikenal dekat dan akrab dengan Trump. Tak hanya itu, ia pun harus duduk di kursi penting pemerintahan. Dari sana, bukan sebuah kemustahilan, FBI akan mengejar dan melucuti harta orang yang bersangkutan.
Kapan dan siapa targetnya? Hanya FBI yang bisa rencanakan. (A27)