Site icon PinterPolitik.com

Menunggu Aksi Rocky Cs Selamatkan Indonesia

Menunggu Aksi Rocky Cs Selamatkan Indonesia

Pengamat politik Rocky Gerung dalam suatu kegiatan. (Foto: Media Indonesia)

Sejumlah tokoh nasional – seperti Rocky Gerung dan Din Syamsuddin – membentuk Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) dan menganggap pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) telah melenceng. Benarkah KAMI mampu selamatkan Indonesia?


PinterPolitik.com

“Hard to be progressin’ through recession and oppression” – Joey Bada$, penyanyi rap asal Amerika Serikat (AS)

Siapa yang belum menonton film Avengers: Endgame (2019)? Dalam film produksi Marvel Studio tersebut, dikisahkan seseorang yang memiliki kekuatan yang sangat hebat, yakni Thanos.

Sayangnya, Thanos ini memiliki tujuan yang tidak semua pihak setuju, yaitu untuk menghapus separuh populasi alam semesta guna mengembalikan keseimbangan alam. Sontak saja, banyak orang akhirnya tiba-tiba sirna secara sekejap dengan batu-batu ajaib yang dikumpulkan oleh Thanos.

Hilangnya separuh populasi alam semesta ini tentunya tidak membuat para pahlawan super diam dan menyerah. Para pahlawan super – seperti Iron Man, Captain America, Captain Marvel, Black Panther, Thor, Hulk, Spider-Man, Ant-Man, Black Widow, dan kawan-kawan lainnya – akhirnya menyatukan kekuatan untuk mengalahkan Thanos yang hampir tidak terkalahkan itu.

Pertempuran besar pun akhirnya terjadi guna melindungi orang-orang yang tersayang agar tidak secara tiba-tiba sirna kembali. Alhasil, Thanos berhasil dikalahkan.

Meski Thanos akhirnya dikalahkan oleh jentikan jari Iron Man, kerja sama tim Avengers yang terdiri dari berbagai pahlawan dan kelompok ini tentu bukan tanpa kontribusi. Pengumpulan kekuatan mereka lah yang mampu membuat Thanos menjadi kewalahan.

Mungkin, cerita dari Avengers inilah yang turut menginspirasi banyak orang, termasuk Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Bagaimana tidak? Secara tiba-tiba, sekumpulan tokoh dan akademisi melakukan pra-deklarasi terhadap organisasi baru tersebut.

Beberapa di antara mereka adalah Rocky Gerung, Din Syamsuddin, Sri Bintang Pamungkas, Adhie Massardi, dan lain-lain. Selain tokoh-tokoh tersebut, nama-nama lain yang dikabarkan juga mendukung KAMI adalah Gatot Nurmantyo, Rizal Ramli, dan Rachmawati Soekarnoputri.

Layaknya Avengers yang ingin menyelamatkan dunia, KAMI ini bertujuan untuk menyelamatkan Indonesia dari pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yang dianggap telah melenceng. Bahkan, Rocky sendiri menyebutkan bahwa sang presiden telah melakukan “prostitusi” politik dengan menjalankan politik transaksional.  

Terbentuknya KAMI tentu juga bukan tanpa komentar dari pihak-pihak lain. Pegiat media sosial, Denny Siregar, misalnya, mengatakan bahwa KAMI adalah koalisi yang berisikan orang-orang sakit hati.

Meski begitu, sejumlah partai politik malah menyambut kemunculan KAMI. Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani, misalnya, menganggap bahwa munculnya pandangan yang mampu mengingatkan jalannya pemerintahan merupakan hal yang bagus.

Namun, terlepas dari pro dan kontra akan kemunculan KAMI ini, sejumlah pertanyaan pun tetap muncul di benak masyarakat. Mengapa organisasi semacam KAMI ini bisa muncul? Lantas, apa pengaruhnya terhadap dinamika politik Indonesia?

Organisasi Masyarakat Sipil?

Boleh jadi, kemunculan KAMI ini merupakan bentuk peran yang diisi oleh elemen-elemen masyarakat di luar cabang pemerintahan eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Pasalnya, kelompok-kelompok seperti ini bisa saja tidak memiliki kekuatan politik yang cukup seperti aktor-aktor politik di pemerintahan.

Asumsi seperti ini juga diutarakan oleh Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon. Bagi mantan Wakil Ketua DPR tersebut, KAMI merupakan bentuk pemenuhan peran dan tanggung jawab masyarakat di tengah penanganan pandemi Covid-19.

Pasalnya, pemerintah sendiri dianggap mengalami kemunduran dan tengah kewalahan dalam menangani pandemi Covid-19. Selain itu, kemunculan KAMI merupakan tanda bahwa pemerintah tidak dapat memenuhi harapan masyarakat.

Burim Mexhuani dan F. Rrahmani dalam tulisannya yang berjudul The Relationship between Political Parties and Civil Society menjelaskan bahwa civil society organizations (CSO) atau organisasi masyarakat sipil dapat menjadi penantang bagi partai-partai politik akibat ketidakmampuan mereka untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada.

Bahkan, Mexhuani dan Rrahmani menyebutkan bahwa CSO memiliki kontribusi yang besar dalam proses politik dan demokrasi. Setidaknya, CSO memberikan wadah bagi masyarakat yang ingin berpartisipasi dalam proses politik.

Mungkin, kemunculan KAMI ini adalah pertanda bahwa masyarakat merasa resah dengan penanganan pandemi Covid-19 yang dijalankan oleh pemerintahan Jokowi. Belum lagi, dampak dan resesi ekonomi akibat pandemi terus menghantui masyarakat Indonesia.

Boleh jadi, kemunculan CSO seperti KAMI adalah bentuk penantang bagi partai-partai politik di Indonesia. Pasalnya, perpolitikan Indonesia sendiri dikenal memiliki pola yang disebut sebagai kartelisasi politik.

Dan Slater dalam tulisannya yang berjudul Party Cartelization, Indonesian Style menyebutkan bahwa presiden di Indonesia memiliki pola pembagian kekuasaan dengan partai-partai politik untuk memperoleh dukungan. Hal ini bisa jadi juga dilakukan oleh Presiden Jokowi yang mengumpulkan dukungan partai politik meski sebelumnya berada di kubu berbeda – seperti Partai Gerindra dengan menjadikan Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan.

Alhasil, partai politik yang benar-benar menempatkan diri sebagai oposisi hanyalah tersisa PKS. Hingga kini, jumlah kursi partai ini di DPR juga terpaut jauh dibandingkan total kursi yang dimiliki oleh partai-partai politik yang berada dalam Kabinet Indonesia Maju.

Meski begitu, asumsi ini tetap menyisakan sejumlah pertanyaan. Apakah mungkin terdapat motif politik lain yang ingin diraih oleh CSO seperti KAMI? Keuntungan politik apa yang dapat diraih oleh KAMI di tengah pandemi Covid-19 ini?

Meski peran CSO seperti KAMI bisa dianggap penting di tengah pandemi Covid-19, bukan tidak mungkin kehadiran koalisi tersebut memengaruhi dinamika politik ke depan hingga Pemilu 2024. Pasalnya, kritik dari KAMI yang dilontarkan kepada pemerintah bisa saja memengaruhi opini publik.

Tokoh dan akademisi yang berada di barisan KAMI merupakan nama-nama yang dikenal kritis terhadap pemerintahan Jokowi. Dengan menghimpun kekuatan dalam bentuk CSO, bukan tidak mungkin opini publik turut terpengaruhi.

Masyarakat sendiri bisa saja memiliki bias kognitif yang mendukung hal tersebut. Bias kognitif ini dikenal dengan negativity bias (bias negatif).

Amrisha Vaish dan rekan-rekan penulisnya dalam tulisan mereka yang berjudul Not All Emotions are Created Equal menjelaskan bahwa bias kognitif ini membuat seseorang memiliki kecenderungan untuk mempertimbangkan informasi-informasi negatif. Dengan mendasarkan pada informasi-informasi tersebut, bukan tidak mungkin keputusan politik – seperti dukungan dan pilihan dalam Pemilu – dapat terpengaruhi.

Bias kognitif inilah yang dapat dimanfaatkan oleh KAMI. Dengan kritik terhadap pemerintahan Jokowi, bisa saja opini dan persepsi publik turut terpengaruhi. Apalagi, momen pandemi ini menjadi momentum yang pas dengan pemerintah yang kewalahan.

Dengan momentum politik ini, KAMI bisa saja memengaruhi dinamika perpolitikan pada 2024 nanti. Katakanlah, mendukung calon tertentu dalam Pilpres 2024 nanti.

Seperti apa yang dibilang Mexhuani dan Rrahmani, CSO mulai mengisi peran sosio-politik yang biasa dimiliki oleh partai politik. Salah satunya ialah dengan mengartikulasikan dan mewakili kepentingan masyarakat.

Boleh jadi, KAMI bisa juga memiliki aktor politik yang dapat terlibat sebagai kandidat dalam Pilpres 2024. Aditya Perdana dalam tulisannya yang berjudul  The Politics of Civil Society Organizations menjelaskan bahwa aktor-aktor CSO dapat memberikan dukungan atau terlibat dalam Pemilu.

Bukan tidak mungkin, salah satu aktor pendukung KAMI menjadi kandidat tersebut. Gatot Nurmantyo, misalnya, merupakan salah satu aktor KAMI yang beberapa kali masuk dalam bursa calon potensial Piplres 2024.

Selain itu, Gatot bukanlah sosok yang tidak memiliki modal politik. Boleh jadi, mantan Panglima TNI itu memiliki modal politik berupa modal sosial melalui relasi sosialnya di kalangan militer.

Namun, tentu saja, semua gambaran kemungkinan yang telah dijelaskan ini belum pasti benar adanya. Yang jelas, KAMI sebagai CSO bukan tidak mungkin akan memiliki pengaruh politik di masyarakat Indonesia, entah hingga pandemi Covid-19 berakhir atau hingga 2024. Menarik untuk disaksikan kelanjutannya. (A43)

Exit mobile version