pinterpolitik.com
Proses revisi Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 atau UU Migas rasanya seperti menunggang siput: sedari awal sudah lambat dan oleh banyak pihak sengaja makin diperlambat. Buat kamu yang belum tahu, siput adalah jenis molusca atau binatang berlendir dengan nama Latin Pomacea canaliculata dan berjalan sangat lambat – sekedar mengingat kembali pelajaran Biologi di sekolahan.
Tarik menarik kepentingan politik dan bisnis menyebabkan proses revisi UU Migas tidak kunjung selesai dan membuahkan hasil. Ngomongin tarik ulur revisi UU Migas itu seolah seperti mencoba menghitung jumlah ayunan pendulum yang tak kunjung berhenti: bikin ngantuk dan bikin capek. Ibarat tarian, revisi UU Migas seperti Waltz: satu langkah ke kiri, satu langkah ke kanan, satu langkah ke depan dan satu langkah ke belakang. Ya, satu langkah!
Sejak pertama kali disahkan, Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi ini menyisakan perdebatan yang tak kunjung selesai. Mulai dari soal tumpang tindih pengelolaan industri hulu dan hilir, kepentingan-kepentingan yang berseliweran di seputaran industri ini, hingga persoalan hak untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi cadangan minyak yang makin lama makin menipis. Berbagai kepentingan yang saling bersinggungan di dalamnya juga menyebabkan revisi UU tersebut selalu terlihat alot setiap kali dibahas di DPR.
Sebagian pihak mengatakan bahwa UU Nomor 22 tahun 2001 merampas hak masyarakat atas sumber daya minyak yang terkandung di dalam perut bumi Indonesia. UU Migas ini juga diklaim berlawanan dengan Pasal 33 UUD 1945. Loh kok bisa Undang-Undang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi di atasnya? Mari kita telisik lebih jauh.
Sebelum Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 disahkan, Indonesia menggunakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 44 tahun 1960 dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1971. Pergantian dari kedua Undang-Undang tersebut menjadi Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam pengelolaan industri migas nasional, salah satunya adalah terhadap kedudukan Pertamina.
Sebelumnya, Pertamina yang adalah perusahaan plat merah (milik pemerintah) menjadi perusahaan yang berhak melakukan pengelolaan terhadap industri migas secara penuh. Namun, Undang-Undang baru memposisikan Badan Pengelolaan Migas (BP Migas) – yang belakangan dibubarkan dan diganti dengan SKK Migas – sebagai lembaga pemerintah yang berhak melakukan pengelolaan terhadap sumber daya minyak.
Sementara itu, kontrak untuk eksplorasi dan eksploitasi diberikan kepada perusahaan-perusahaan, baik dalam negeri maupun perusahaan asing melalui sistem penunjukan langsung atau pun tender proyek. Perubahan ini selain membuka peluang bagi perusahan-perusahan asing untuk ikut bersaing dalam pengelolaan sumber minyak dan gas di dalam negeri, namun juga menyebabkan terjadinya peningkatan potensi kebocoran kekayaan negara. Siapa saja bisa menjadi pengelola kekayaan minyak dan gas di Indonesia. Hal ini juga menyebabkan peningkatan potensi terjadinya kecurangan dan permaianan mafia minyak.
Masih ingat kampanye Pak Prabowo menjelang pemilu tahun 2014? Beliau pernah mengatakan bahwa penguasaan perusahaan asing atas migas Indonesia mencapai 84%. Wow, bagaimana mungkin kekayaan minyak dan gas di negara ini dikuasai oleh perusahaan asing dengan persentase yang begitu tinggi? Di sektor hulu, mayoritas blok migas di Indonesia dikuasai oleh perusahan asing.
Cheveron misalnya menguasai 44 % blok migas di Indonesia. Bandingkan dengan Pertamina yang hanya 16 %. Kondisi ini tentu sangat bertentangan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 bahwa bumi dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dikuasai oleh negara. Situasi yang kontradiktif ini terjadi karena UU Migas yang saat ini berlaku membuka peluang agar hal tersebut bisa terjadi.
Jika sebelumnya perusahaan kontraktor pengelolaan berada di bawah Pertamina dan dengan demikian bisa sepenuhnya dikontrol, maka saat ini posisi perusahaan kontraktor berada sejajar dengan SKK Migas yang nota bene adalah pemerintah. Posisi ini berpengaruh terhadap jumlah keuntungan dan kewenangan dalam negosiasi kontrak, ujung-ujungnya berpengaruh terhadap besaran keuntungan yang dibagi.
Ide revisi UU Migas sudah bergulir sejak lama, namun tidak juga terealisasikan. Tarik ulur kepentingan politik di DPR menjadi salah satu faktor penyebab revisi UU ini terus menggantung. Sebagian faksi di DPR menginginkan penegakkan amanat konstitusi, sementara sebagaian lain seolah tidak ingin hal tersebut terjadi.
Tentu saja tarik ulur pembahasan revisi UU Migas bisa berdampak terhadap masa depan energi di negara ini. Cadangan minyak Indonesia makin menipis dan diprediksi akan habis dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun. Oleh karena itu, tanpa pengelolaan yang baik dengan payung hukum yang jelas dan pasti, niscaya kedaulatan energi di masa depan akan terancam.
Selain itu, semakin lama revisi UU Migas digantung, maka potensi kebocoran keuangan negara akan tetap terjadi. Nah lo! Permainan pihak-pihak yang merasa kepentingannya terancam lewat revisi UU migas ini tentu saja juga mempengaruhi proses revisi Undang-Undang tersebut di DPR.
Revisi UU Migas merupakan kebutuhan yang mendesak, bukan hanya untuk mencegah terjadinya kebocoran kekayaan negara, tetapi juga untuk menjaga kelangsungan tercukupinya kebutuhan energi minyak di masa depan. DPR seperti menunggang siput dalam pembahasan revisi UU Migas ini. Makin lama terlihat seolah makin lambat jalannya. Entah sampai kapan pembahasan revisi UU Migas ini akan selesai.
Selama masih ada kepentingan yang saling berseberangan, hanya Tuhan dan DPR yang tahu kapan revisi UU Migas dapat selesai. Yang jelas, UU Migas yang berlaku saat ini merugikan negara dan menyalahi konstitusi. Ketimbang pusing memikirkannya, lebih baik memeriksa halaman belakang rumah. Siapa tahu banyak siput di sana, mumpung musim hujan. (S13)