Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang Brodjonegoro menyatakan bahwa tidak ada salahnya bila Indonesia dapat meniru strategi perkembangan teknologi ala Korea Selatan (Korsel) yang disebut sebagai From Imitation to Innovation. Apakah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) mampu mengikuti jejak Korsel tersebut?
PinterPolitik.com
“Things we will never learn soon in the era where we wanna earn soon” – Kendrick Lamar, penyanyi rap asal Amerika Serikat
Peluit kick-off periode kedua pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) memang banyak diwarnai oleh berbagai ambisi. Salah satunya adalah pengembangan teknologi yang telah digembar-gemborkan Jokowi sejak sebelum dilantik pada Oktober lalu.
Berbagai rencana kebijakan dan keputusan disebut-sebut akan dilakukan guna mewujudkan visi itu. Beberapa regulasi mulai dipersiapkan Airlangga Hartarto – kala itu menjabat sebagai Menteri Perindustrian – agar dapat menyediakan insentif bagi perusahaan-perusahaan yang bersedia untuk berinvestasi, khususnya dalam bidang penelitan dan pengembangan (litbang).
Penyusunan komposisi kabinet baru juga disebut-sebut mencerminkan fokus Jokowi pada kebijakan-kebijakan ekonomi dan sumber daya manusia (SDM). Penunjukan mantan CEO Gojek Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) misalnya, menjadi salah satu upaya presiden untuk mewujudkan individu-individu yang memiliki kemampuan yang sesuai dengan perkembangan pasar kerja – disebut Jokowi sebagai link-and-match.
Menristek mengatakan kita dapat memberikan inovasi seperti Korea Selatan yang memiliki prinsip from imitation to innovation #newsinsideindonesia
— #Se7enline Radio UB (@Se7enline_radio) November 12, 2019
Mimpi akan ekonomi Indonesia yang diwarnai dengan teknologi dan SDM yang mumpuni ini juga diharapkan dapat tertuang dalam pembangunan ibu kota baru di Kalimantan. Kabarnya, Presiden Jokowi ingin ibu kota baru nantinya dapat menjadi kota cerdas yang disertai dengan berbagai teknologi digital – bahkan diharapkan dapat menjadi kota yang lebih maju dibandingkan Dubai, Uni Emirat Arab.
Dengan mimpi-mimpi kemajuan ekonomi dan teknologi Indonesia tersebut, Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro berharap agar dirinya dapat menginspirasi para mahasiswa, seperti di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Bambang menyarankan bahwa, untuk mewujudkan kemajuan teknologi, Indonesia bisa meniru strategi yang dilakukan oleh Korea Selatan (Korsel), yakni From Imitation to Innovation.
Menurutnya, negara Ginseng ini sebelumnya merupakan salah satu negara yang berpendapatan rendah di Asia. Namun, kini, negara tersebut menjadi salah satu negara yang dikenal dengan produk elektronik yang berkualitas.
Pertanyaannya, bagaimana Korsel dapat menjalankan strategi From Imitation to Innovation itu? Lantas, apakah pemerintah Indonesia dapat mengikuti jejak Korsel tersebut?
Melirik Strategi ala Korsel
Korea Selatan (Korsel) sebelumnya memang merupakan sebuah negara yang berpendapatan rendah pada pertengahan abad ke-20. Namun, negara ini akhirnya mampu menerapkan strategi From Imitation to Innovation dan menjadi salah satu negara yang memiliki teknologi yang paling mumpuni di Asia.
Strategi pengembangan teknologi Korsel ini setidaknya pernah ditulis oleh Aouatif El Fakir dari Dauphine University, Paris, dalam tulisannya yang berjudul South Korean System of Innovation. El Fakir berusaha menjelaskan bagaimana negara-negara yang sebelumnya merupakan negara berkembang dapat memiliki teknologi yang dapat dibilang maju.
Dalam kasus Korsel, El Fakir menjelaskan bahwa salah satu faktor yang penting agar negara berkembang dapat memajukan teknologinya adalah adanya ruang belajar interaktif (interactive learning spaces) atau ILS. ILS inilah yang menjadi wadah bagi upaya transfer teknologi yang dapat dipelajari oleh negara berkembang guna memproduksi barang, jasa, dan teknologi baru – atau berinovasi.
Setidaknya, Korsel melewati empat tahapan agar negara ini dapat mewujudkan inovasi dalam industri teknologi tingkat tinggi. Tahapan pertama terjadi pada tahun 1960-an, yakni ketika negara Ginseng itu mulai menggeser orientasi perdagangannya dari yang mulanya berfokus pada substitusi impor ke promosi ekspor.
Pada dekade tersebut, perusahaan-perusahaan Korsel menikmati insentif dan dorongan pemerintah untuk terlibat dalam ILS – melalui investasi dan bantuan teknis asing di Korsel. Selain itu, perusahaan-perusahaan di negara ini juga menikmati fenomena melimpahnya tenaga ahli yang dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang baru.
Tahapan kedua yang dilalui oleh Korsel pada tahun 1970-an adalah peningkatan ekspor dan penguatan kemampuan teknologi. Pada dekade ini, kemampuan teknologi dan desain produk Korsel meningkat tajam. Interaksi dengan konsumen-konsumen asing mulai dilakukan pada tahapan ini.
Pada tahun 1980-an, perusahaan-perusahaan teknologi Korsel harus menghadapi proteksionisme dari negara-negara Eropa dan Amerika Utara. Pemerintah Korsel akhirnya turun tangan dengan menyediakan insentif dan bantuan finansial bagi perusahaan-perusahaan teknologinya.
Salah satu faktor penting agar negara berkembang dapat memajukan teknologinya adalah adanya ruang belajar interaktif (interactive learning spaces) atau ILS. Share on XAdanya hukum hak kekayaan intelektual juga menggeser fokus perusahaan-perusahaan teknologi pada industri teknologi tingkat tinggi lainnya, seperti serat optik, robotika, komputer, dan sebagainya. Namun, Korsel juga menghadapi kekurangan tenaga ahli yang mumpuni dalam bidang-bidang baru.
Akibatnya, banyak perusahaan – seperti Samsung dan LG – secara proaktif mengadakan kegiatan-kegiatan litbang dengan perusahaan-perusahaan teknologi di negara-negara lain. Selain itu, ekspatriat-ekspatriat Korsel di negara-negara lain juga dibujuk agar kembali guna mengisi kekurangan tenaga ahli tersebut.
Tahapan terakhir – pada tahun 1990-an – bisa dibilang menjadi puncak kejayaan industri teknologi Korsel. Meski terdampak oleh Krisis Finansial Asia pada tahun 1997, restabilisasi mata uang, kembalinya kepercayaan investor asing, dan tingginya permintaan global atas produk teknologi informasi dapat kembali mendorong ekspansi industri teknologi Korsel ke berbagai belahan dunia.
Dalam beberapa tahapan tersebut, Korsel melibatkan diri dalam ILS agar mampu mengembangkan kapabilitas teknologinya. Berkaca pada pengalaman Korsel ini, apakah Indonesia mampu mengikuti jejak negara tersebut?
Mampukah Indonesia?
Sebenarnya, strategi ini tidak hanya dilakukan oleh Korsel. Banyak negara-negara Asia yang kini dikenal dengan kemampuan teknologinya yang maju setidaknya pernah menerapkan strategi serupa, seperti Jepang dan Tiongkok.
Tiongkok misalnya – mirip dengan langkah Korsel – mengadakan joint venture dengan berbagai perasahaan multinasional dan melibatkan diri ke dalam ILS agar dapat menyerap keahlian manufaktur dasar dan kemampuan adaptif lainnya.
Namun, meski Tiongkok, Jepang, dan Korsel dianggap berhasil menerapkan strategi tersebut, El Fakir menyebutkan bahwa terdapat negara-negara berkembang lainnya yang gagal mengikuti jejak negara-negara Asia Timur itu.
Lantas, apa rahasia sukses negara-negara Asia Timur tersebut?
Pada intinya, mengacu pada tulisan El Fakir, terdapat dua kunci utama agar negara-negara ini mampu mengembangkan teknologinya, yakni kemampuan perusahaan-perusahaan untuk berintegrasi dan berevolusi melalui ILS, serta kerangka institusional dan orgasiasional yang mendukung. Kurangnya ILS dan ketiadaan faktor-faktor pendukung ini menyebabkan negara-negara berkembang lainnya gagal.
Jika Indonesia memang ingin mengikuti jejak Korsel dan negara-negara Asia Timur itu, ILS dan insentif pendukung lainnya bisa jadi juga perlu disediakan. Namun, apakah Indonesia kini memiliki dua kunci utama itu?
ILS misalnya, banyak tersedia apabila investasi asing dan kerja sama dengan perusahaan-perusahaan asing turut dilakukan. Upaya untuk memunculkan ILS ini yang mungkin tengah distimulasi oleh pemerintahan Jokowi melalui insentif atas investasi-investasi di bidang litbang dan teknologi.
Namun, seperti yang kerap dikeluhkan oleh Presiden Jokowi, regulasi dan proses investasi yang rumit bisa saja menghambat masuknya investasi-investasi penyedia ILS. Mungkin, pemerintah juga perlu memerhatikan persoalan ini guna memungkinkan adanya ILS bagi perusahaan-perusahaan teknologi domestik.
Agar perusahaan teknologi Indonesia bisa menyerap kapabilitas teknologi perusahaan asing, boleh jadi pemerintah perlu mendorong regulasi yang menjamin adanya transfer teknologi tersebut. El Fakir dalam tulisannya menjelaskan bahwa insentif dan dorongan pemerintah juga diperlukan untuk mewujudkan integrase melalui ILS.
Meski begitu, seperti yang dijelaskan oleh El Fakir, pelaku-pelaku industri teknologi bisa saja tidak dapat berintegrasi dan berevolusi melalui ILS akibat adanya beberapa faktor. Salah satunya adalah kapabilitas teknologi yang minim dan kompetensi yang terbatas.
Boleh jadi, di sinilah Indonesia harus menghadapi tantangannya. Pasalnya, jika dibandingkan dengan negara lain yang kini tengah mengembangkan teknologinya – yakni Tiongkok, jumlah lulusan bergelar pendidikan tinggi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) sangat terpaut jauh.
Dalam data milik World Economic Forum, jumlah lulusan pendidikan tinggi di Indonesia pada tahun 2016 hanya berada pada kisaran 17,45 juta sedangkan Tiongkok memiliki jumlah lulusan tersier sebanyak 77,67 juta.
Di bidang IPTEK sendiri, Indonesia hanya memiliki 206.000 lulusan (1,18 persen dari lulusan tersier) pada tahun tersebut. Sementara, Tiongkok meluluskan lulusan IPTEK sebanyak 4,67 juta (6 persen).
Belum lagi, faktor-faktor eksternal lainnya bisa saja menghantui integrasi dan evolusi teknologi Indonesia melalui ILS. Dari sisi pasar misalnya, konsumen domestik Indonesia bisa saja menghambat motivasi inovasi teknologi perusahaan Indonesia.
Kemenperin sendiri mengakui bahwa konsumen Indonesia masih memiliki pemikiran konsumsi yang import-minded. Artinya, kegemaran konsumen terhadap produk impor bisa saja menjadi risiko yang dipertimbangkan oleh pelaku industri teknologi domestik ketika akan berinovasi dan menjual produknya sendiri.
Pada akhirnya, dorongan industri teknologi lokal agar dapat belajar dari industri teknologi asing menjadi minim dan dapat berujung pada, seperti yang dijelaskan El Fakir, kegagalan dalam menerapkan strategi imitasi ke inovasi. Semua kembali lagi pada bagaimana caranya motivasi-motivasi bagi industri domestik memiliki keinginan belajar yang besar.
Mungkin, lirik rapper Kendrick Lamar di awal tulisan dapat menggambarkan visi strategi From Imitation to Innovation ala Indonesia sendiri. Di tengah-tengah visi dan mimpi kemajuan industri dan teknologi Indonesia yang kini digadang-gadang, berbagai tantangan dan hambatan dalam pembelajaran teknologi turut menghantui. Jadi, mampukah hal itu terwujud dalam waktu dekat? (A43)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.