“Anda tidak akan bisa lari dari tanggung jawab pada hari esok dengan menghindarinya pada hari ini,” – Abraham Lincoln.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]R[/dropcap]iuh rendahnya kemenangan Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Salahuddin Uno sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta masih begitu terasa sekaligus sebagai fragmen penutup masa Pilkada serentak 2017.
Hal ini menandakan bahwa perhelatan kompetisi politik di Jakarta telah usai, namun sesungguhnya Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang baru akan menjadi bulan- bulanan warga DKI untuk melepas dahaganya terhadap janji politik.
Komitmen dan konsistensi yang dibangun oleh Anies – Sandi tentunya akan mengantarkan kepemimpinan yang berorientasi pada kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh warga Jakarta.
Lalu, dalam mengarungi perjalanannya memimpin Jakarta, Anies – Sandi akan dipertemukan pada dua jalan terjal dengan risiko yang sepadan. Konsisten atau inkonsisten?
Janji Tinggal(ah) Janji
Ombak terealisasinya program yang digagas Anies – Sandi kian surut dan seolah meluruhkan konsistensi keduanya saat bernyanyi dalam panggung kampanye untuk memperjuangkan keadilan kesejahteraan bagi warga Jakarta.
Aroma inkonsistensi Anies – Sandi sudah terendus oleh sebagian warga yang memandang program Gubernur dan Wakil Gubernur hanya memenangkan pertarungan dari segi kontroversinya saja, namun dari segi rasionalisasi sulit masuk ke dalam nalar.
Mengapa demikian?
Ditinjau dari 23 janji kerja yang diterjemahkan menjadi 167 program dan 527 kegiatan terbagi ke dalam 14 bidang initermuat berbagai hal kontroversial dan diperdebatkan banyak pihak.
Terlebih rencana program akan dibatalkan seperti program penyatuan KJP dan KIP. Sempat digulirkan dalam diskursus menarik saat debat kandidat. Namun, penggabungan KJP dan KIP resmi dibatalkan Tim Sinkronisasi Anies – Sandi.
Mosi tak percaya terhadap kepala daerah yang bernyanyi saat kampanye menjadi hal lumrah. Janjinya hanyalah janji manis di bibir saja. Mengritik janji manis kepala daerah sudah menjadi hal usang bahkan rakyat sendiri bisa memperkirakan janji kepala daerah hanya sebuah isapan jempol belaka.
Pasca dilantik Senin (16/10) kemarin, berbagai pihak lantang menagih janji Anies – Sandi, termasuk para pelatah yang sekadar ikut-ikutan dalam konstelasi politik di Jakartapun turut menyumbang tagihannya.
Janji yang ditagih terdiri dari berbagai program mutakhir nan inovatif. Namun, program yang digagas Anies – Sandi masih mengadopsi program Gubernur periode sebelumnya. Bahkan, muncul pertimbangan berbagai pihak tentang program Anies – Sandi yang terkesan utopis dan irasional.
Program yang menjadi sorotan banyak pihak diantaranya sikap penolakan reklamasi Teluk Jakarta, OKEOCE (One Kecamatan One Centre of Entrepreneurship), Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus, Kartu Jakarta Sehat (KJS) Plus, OK OTrip (One Karcis One Trip), DP Rumah 0 persen dan penutupan Hotel Alexis.
Dari 7 program yang sarat kontroversi ini seolah menayangkan dagelan politik Ibukota. Hujan inovasi yang seakan menabrak nalar.
Hubungan kausalitas dari 7 program ini saja dapat dampak yang bertabrakan regulasi, friksi dengan Pemerintah Pusat, dan rentetan kemacetan yang meluas. Selain itu, memiliki rumah dan benturan kekuatan antara Pemprov DKI Jakarta dengan para pengembang.
Dari ketujuh program diatas diperkirakan akan berpotensi melemahkan kekuasaan eksekutif yang berdampak pada realisasi yang terhambat.
Janji pemimpin, hanyalah janji yang lagi – lagi tak dapat digenggam oleh masyarakat. Menjadi pemimpin bukan hanya bernyanyi dengan suara merdu di panggung kampanye, namun juga menjadi orang yang paling berani menentang ketidakadilan dan kesalahan yang mengemuka di depan mata.
Anies, Gentar Nan Retoris
“Kerja tanpa kata-kata adalah kerja tanpa makna” ujar Anies saat berpidato dalam perayaan Sumpah Pemuda.
Kecakapan Anies dalam beretorika kerap menuai pujian dan tak jarang juga menjadi senjata Anies menginterpretasikan gagasan kepada warga.
Namun, lama kelamaan secara substansi pernyataan retoris Anies kerap juga dipermasalahkan karena bermuatan harapan yang utopis.
Terdapat berbagai tudingan pihak – pihak tertentu yang menaruh keraguan kepada Anies tentang berani tidaknya mengeksekusi sebuah kebijakan sebagai Gubernur Jakarta, terkhusus program yang kontroversial.
Warga Jakarta sempat mendapat angin segar yang ‘merasa’ terwakili aspirasinya tentang wacana perjuangan Anies – Sandi menolak reklamasi dan penutupan Hotel Alexis.
Selain itu, potret wajah baru kepemimpinan Anies – Sandi memberikan persepsi bahwa pemimpin yang baru diwarnai kesantunan dan persahabatan. Jika Soe Hok Gie dulu pernah turun ke jalan dan menuliskan semua kegelisahan melalui buku, rasanya ungkapan Gie satu ini tepat untuk memberikan spirit bagi Anies – Sandi.
“Saya tak mau jadi pohon bambu, saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin.” – Soe Hok Gie.
Kepandaiannya menata susunan kata-kata apa berbanding lurus dengan keberaniannya melawan arus? Bagaimana realisasinya?
Agus yg minim rekam jejak, Ahok yg menjengkelkan, Anies yg retoris. Mungkin tulisan paling tak bias ttg pilkada DKI. https://t.co/v09Xy9ZT6B pic.twitter.com/KdKXJhH8Cx
— PENGABDI SETAN Film (@jokoanwar) January 17, 2017
Anies harus menampakkan diri dengan pengenalan sebagai pemimpin yang berani dibandingkan dengan citra pemimpin yang retoris. Beranikah Anies menjadi sosok yang tak gentar dan pengambil risiko?
Faktanya, untuk perihal reklamasi, Anies – Sandi tidak kooperatif berkomunikasi dengan Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementerian Koordinator Kemaritiman. Selain itu, ia juga terkesan ragu pasca menanggapi dicabutnya moratorium reklamasi yang menjadikan Anies – Sandi pemimpin yang kebingungan dan putus langkah.
Bad Exit Djarot
Purnatugasnya Djarot Saiful Hidayat dari kursi Gubernur DKI Jakarta memberi potret tak elok secara etika yang ditandai dengan ketidakhadirannya dalam Pelantikan dan Serah Terima Jabatan Gubernur DKI Jakarta beberapa waktu lalu.
Justru, Djarot bersama keluarganya lebih memilih berlibur dengan keluarganya ke Labuan Bajo, NTT. Djarot Sudah Meninggalkan Apa?
Selain itu, berikut sekelumit indikasi Djarot berulah untuk menjadi ‘penghalang’ kesuksesan Anies – Sandi lima tahun ke depan.
Fragmen Friksi Berlanjut
DKI Jakarta, daerah yang strategis sebagai miniatur konstelasi politik nasional. Kekhususan Jakarta memberikan dampak meluas terhadap menguatnya peran Pemerintah Daerah terhadap Pemerintah Pusat.
Sebagai Ibukota Indonesia, Jakarta juga memiliki daya tawar lebih dalam penguatan stabilitas politik. Bahkan, kabar berhembus Gubernur DKI Jakarta merupakan RI 3 sebab posisinya yang strategis.
Dalam menjalankan kewenangan antara Pemerintah daerah dan Pemerintah Pusat tentu ada batasan kewenangan sehingga tidak ada tumpang tindih antara kepolisian dengan kejaksaan atau lembaga terkait lain.
Semisal, perihal reklamasi Teluk Jakarta. Bila dirujuk pada Keputusan Presiden Nomor 52/1995tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta, bahwa kewenangan dan tanggungjawab reklamasi berada di tangan Gubernur DKI Jakarta.
Hal senada dilakukan Basuki Tjahaja Purnama saat menjabat sebagai Gubernur, dengan tegas menyatakan bahwa reklamasi merupakan domain-nya yang diperoleh dari pendelegasian Pemerintah Pusat kepada Gubernur. Hal ini terkonfirmasi melalui Sekretaris Kabinet, Pramono Anung, 2016 lalu.
Namun, Beda Gubernur, Beda Cerita.
Pasca dilantiknya Anies dan Sandi sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta, keduanya mendapatkan kejutan perihal reklamasi.
Kejutan berisi pencabutan moratorium reklamasi teluk Jakarta yang dikeluarkan Menko Maritim era Rizal Ramli dan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Nomor S-78-001/02/Menko/Maritim/X/2017.
Hal yang terasa kontras ialah adanya tarikmenarik antara pengambilan wewenang reklamasi teluk Jakarta. Sebab, Menko Maritim Luhut Binsar Pandjaitan tegas mengatakan bahwa Gubernur Jakarta tidak memiliki kewenangan apa-apa karena reklamasi teluk Jakarta merupakan wewenang Pemerintah Pusat.
Komisi IV Minta Pemerintah Pusat dan Pemprov DKI Bahas Reklamasi – https://t.co/AsmZUYzRxo
— BeritaSatu TV (@BeritasatuTV) October 19, 2017
Sehingga, tidak ada pihak manapun yang berhak membatalkan pelaksanaannya, termasuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dari tinjauan demikian saja, terjadi perubahan regulasi yang tarikmenarik antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Namun, Pemerintah Pusat memiliki senjata regulasi lainnya, apabila terdapat Pemerintah Daerah yang tidak tertib dalam melaksanakan Program Strategis Nasional (PSN), maka Pemda dapat dikenakan sanksi sesuai dengan UU Nomor 23/2004 tentang Pemerintah Daerah.
Berkaca pada potret tersebut, Anies – Sandi tidak bisa mencuci tangan terkait persoalan reklamasi agar prosesnya berhenti, ketika semua sudah menjadi orang yang terdampak. Terlebih, berkaitan dengan decision making tentunya Pemprov dan Pemerintah Pusat harus selalu menjaga hubungan.
Apabila Anies masih egois dan tidak kooperatif untuk berkomunikasi dengan Pemerintah Pusat, ia kiranya perlu berkaca mengenai friksi awal dengan Menko Kemaritiman.
Selain itu, langkah Anies – Sandi untuk melakukan penolakan terhadap reklamasi seharusnya tidak hanya disandarkan sebagai pemuas janji kampanye saja, namun langkah Pemprov DKI Jakarta perlu dikaji kembali agar tidak terkesan serampangan dan tabrak-menabrak aturan.
Anies perlu membuka komunikasi, konsolidasi serta berkoordinasi, perihal berbagai persoalan dengan pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden Jokowi.
Namun, tak selamanya hubungan antar lembaga ini akan harmonis. Bagaimana cara penyelesaian konflik diantara keduanya?
Potensi konflik antara Pemprov DKI dan Pemerintah pusat tak bisa dipungkiri. Justru diperlukan adanya batas kewenangan diantara kedua pihak tersebut agar tidak saling menuding siapa yang paling bertanggungjawab.
Luhut Bantah Sengaja Cabut Moratorium Reklamasi karena Anies-Sandi https://t.co/51MlqWNL5v pic.twitter.com/JZlbHpHeNk
— METRO TV (@Metro_TV) October 17, 2017
Potensi konflik dengan pemerintah pusat semakin besar dengan ditandai tidak kooperatifnya Anies – Sandi untuk membangun komunikasi. Mengingat, dalam penyelesian masalah pun tentunya membutuhkan komunikasi antar pimpinan.
Sehingga dapat disimpulkan, Anies – Sandi memiliki peluang untuk ingkar dengan janji-janjinya karena menipisnya keberanian, program yang kontroversial, pembatalan program dan berbagai persoalan lainnya.
Selain itu, komitmen awal Anies – Sandi tergerus dan diperkirakan akan menuju jalan yang menempatkan keduanya pada sosok yang inkonsisten.
(Z19)