Dengarkan artikel ini:
Relasi Jokowi dan Prabowo diprediksi akan menjadi warna utama politik dalam beberapa bulan ke depan, setidaknya di sisa masa jabatan periode ini. Masing-masing tokoh diprediksi berusaha untuk saling mempengaruhi dalam banyak hal, setidaknya untuk menjamin kepentingan politiknya bisa terwujud. Akankah berdampak positif atau negatif?
Indonesia berada di ambang perubahan politik besar seiring dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Oktober 2024. Pilpres 2024 menjadi sorotan utama, terutama karena persaingan yang melibatkan sosok yang tidak asing lagi dalam kancah politik nasional: Prabowo Subianto.
Meskipun Prabowo dipandang sebagai kandidat kuat yang berpeluang besar menang, relasinya dengan Jokowi menghadirkan dinamika kekuasaan yang kompleks. Pertanyaan utama yang muncul adalah: Seberapa besar pengaruh Jokowi terhadap pemerintahan Prabowo, jika ia terpilih sebagai presiden? Bagaimana tarik-menarik kepentingan ini akan membentuk lanskap politik Indonesia ke depan?
Dual Power: Tarik Menarik Kekuasaan Jokowi dan Prabowo
Sebagai presiden yang akan segera turun takhta, Jokowi tidak hanya memainkan peran pasif. Ia adalah kingmaker yang memiliki pengaruh besar terhadap jalannya Pilpres 2024. Dukungan Jokowi terhadap Prabowo, baik secara tersirat maupun terbuka, dipandang sebagai faktor penentu dalam memenangkan hati pemilih.
Jokowi, dengan popularitas dan capaian program-programnya selama dua periode, memiliki basis massa yang luas dan loyal. Basis ini, jika diarahkan kepada Prabowo, dapat menjadi penentu kemenangan di kontestasi politik yang semakin ketat.
Namun, di balik dukungan ini terdapat perhitungan yang cermat. Jokowi tentu menginginkan adanya kesinambungan pembangunan yang ia rintis selama sepuluh tahun terakhir. Lebih dari itu, Jokowi memerlukan jaminan keamanan dan perlindungan politik pasca-kepemimpinannya.
Inilah yang menempatkan Prabowo dalam posisi yang dilematis; di satu sisi, ia membutuhkan dukungan Jokowi, namun di sisi lain, ia harus bersiap untuk menghadapi potensi belenggu politik yang dapat membatasi ruang geraknya sebagai presiden baru.
Warisan politik Jokowi adalah salah satu aspek krusial yang akan mempengaruhi pemerintahan Prabowo. Kebijakan-kebijakan seperti pembangunan infrastruktur, reformasi birokrasi, dan penguatan ekonomi digital adalah proyek besar yang belum sepenuhnya selesai. Prabowo, jika terpilih, kemungkinan akan menghadapi tekanan untuk melanjutkan program-program ini.
Namun, melanjutkan warisan Jokowi bukanlah tugas mudah. Ada tantangan dalam menyeimbangkan antara mempertahankan warisan Jokowi dan merumuskan agenda politik baru yang sesuai dengan visi Prabowo sendiri.
Di sisi lain, belenggu politik ini juga bisa menjadi pedang bermata dua. Konsep “lame duck” dalam teori politik, seperti yang diuraikan oleh Samuel P. Huntington dalam bukunya “The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century,” menunjukkan bahwa seorang presiden yang masa jabatannya akan segera berakhir seringkali dianggap kehilangan kekuatan.
Namun, dalam kasus Jokowi, posisi “lame duck” ini justru bisa menjadi sarana untuk mempengaruhi penerusnya. Huntington menyoroti bagaimana seorang presiden yang berada di akhir masa jabatan dapat menggunakan kekuatan simbolis dan jaringan politik yang telah dibangun selama bertahun-tahun untuk memengaruhi kebijakan dan arah pemerintahan yang akan datang.
Prabowo dalam Bayang-bayang Jokowi
Setelah terpilih sebagai presiden, Prabowo tentu akan memulai masa jabatannya dengan warisan Jokowi yang masih sangat kuat. Beberapa Indonesianis meramalkan pengaruh Jokowi itu masih akan terasa dalam minimal 1 tahun kekuasaan Prabowo.
Ini berarti, dalam beberapa bulan hingga satu tahun pertama, Prabowo mungkin akan berada dalam situasi di mana ia harus menghormati dan melanjutkan kebijakan-kebijakan Jokowi untuk menjaga stabilitas politik dan sosial. Ini terutama penting mengingat kebutuhan Jokowi akan jaminan keamanan politik pasca-kepemimpinan. Namun, Prabowo juga harus segera menunjukkan otonomi dan visinya sendiri untuk menjauhkan diri dari bayang-bayang Jokowi.
Dalam hal ini, konsep post-tenure politics seperti yang dijelaskan oleh politolog Bruce Bueno de Mesquita dan Alastair Smith dalam bukunya The Dictator’s Handbook: Why Bad Behavior is Almost Always Good Politics, dapat diterapkan. Mereka menjelaskan bahwa pemimpin yang baru berkuasa sering kali terikat oleh janji-janji politik kepada pendahulunya, yang dapat memengaruhi kebijakan mereka.
Prabowo harus menemukan cara untuk menyeimbangkan kepatuhan terhadap warisan Jokowi dengan kebutuhan untuk memperkenalkan kebijakan-kebijakan yang mencerminkan agendanya sendiri.
Untuk mengatasi situasi ini, Prabowo perlu melakukan manuver politik yang cermat. Pertama, ia harus membangun koalisi yang kuat di parlemen untuk mengamankan dukungan bagi agendanya sendiri. Koalisi ini juga akan berguna untuk meredam potensi resistensi dari kelompok-kelompok yang setia kepada Jokowi. Kedua, Prabowo harus memperkuat basis dukungannya di kalangan militer dan birokrasi, dua elemen penting yang dapat memberikan stabilitas dalam masa transisi kekuasaan.
Namun, manuver ini tidak boleh dilakukan secara terburu-buru. Prabowo harus memperhitungkan waktu yang tepat untuk mulai mengimplementasikan kebijakan-kebijakan barunya. Terlalu cepat menunjukkan otonomi bisa dianggap sebagai upaya untuk mendiskreditkan Jokowi, sementara terlalu lama berkompromi bisa merusak kredibilitas Prabowo sebagai pemimpin yang kuat dan independen.
Persoalannya, Jokowi juga sudah melakukan “langkah kuda” untuk memastikan agar dirinya tetap relevan ketika nanti tidak menjabat lagi. Salah satunya adalah dengan memastikan Partai Golkar yang merupakan parpol terbesar kedua saat ini, ada dalam tangannya. Pergantian kepemimpinan Golkar yang kini diketuai oleh Bahlil Lahadalia – sosok yang disebut-sebut sebagai “orangnya” Jokowi – tentu menjadi bukti bahwa partai kuning itu telah berhasil diambil alih.
Pertanyaannya adalah tinggal seberapa imbang perbandingan kekuatan politik antara Jokowi dan Prabowo jika terjadi Tarik menarik pengaruh. Bukan tidak mungkin, dual power atau kekuasaan dengan dua pengaruh di dalamnya akan jadi warna utama pemerintahan Prabowo ke depannya.
Langkah Bijak Prabowo ke Depan
Dual power antara Jokowi dan Prabowo merupakan kenyataan politik yang harus dihadapi oleh Indonesia pasca Pilpres 2024, setidaknya dalam setahun pertama pemerintahan baru. Prabowo berada dalam posisi yang unik, di mana ia harus menyeimbangkan antara penghormatan terhadap warisan Jokowi dan kebutuhan untuk menunjukkan otonomi sebagai presiden baru.
Pengaruh Jokowi, baik secara langsung maupun tidak langsung, akan tetap terasa dalam berbagai aspek pemerintahan, mulai dari kebijakan hingga stabilitas politik.
Untuk menghadapi tantangan ini, Prabowo perlu menerapkan strategi yang matang. Pertama, ia harus menjaga hubungan baik dengan Jokowi untuk memastikan dukungan dan stabilitas politik. Kedua, Prabowo harus secara bertahap menunjukkan visinya sendiri, yang berbeda namun tetap menghormati kontribusi Jokowi. Langkah ini memerlukan kecerdikan politik dan kepekaan terhadap dinamika kekuasaan yang terus berubah.
Pada akhirnya, keberhasilan Prabowo dalam mengelola dual power ini akan menentukan seberapa efektif ia bisa memimpin Indonesia menuju masa depan yang lebih baik. Kesanggupannya untuk menavigasi relasi kompleks ini dengan bijaksana akan menjadi indikator penting bagi stabilitas politik dan keberlanjutan pembangunan di Indonesia pasca-2024. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)