Komitmen Jokowi terhadap pemberantasan korupsi terus dipertanyakan pasca disahkannya RUU KPK dan terpilihnya pimpinan KPK bermasalah. Tak heran banyak pihak menilai sang presiden tak lagi punya kuasa penuh dalam pemerintahannya, seiring menguatnya pengaruh politik patron-patron politik di lingkaran kekuasaannya. Faktanya, jika tak mampu menunjukkan sikap tegasnya, kepercayaan masyarakat pada dirinya bisa berkurang dan negara bisa terjebak dalam sistem autopilot yang tak lagi dikuasai Jokowi.
PinterPolitik.com
“Once you’ve built the big machinery of political power, remember you won’t always be the one to run it”.
:: P. J. O’Rourke, komedian asal AS ::
Pasca disahkannya Revisi Undang-Undang (RUU) KPK, banyak pihak memang mempertanyakan kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan komitmennya untuk memberantas korupsi.
Bukan tanpa alasan, Jokowi untuk beberapa waktu memang dikenal sebagai pemimpin yang cukup konsen dalam mendukung pemberantasan korupsi dan menciptakan pemerintahan yang bersih.
Sementara, narasi yang ada dalam RUU KPK cenderung berada pada kutub yang sebaliknya, yaitu terkesan ingin melemahkan lembaga tersebut. Posisi Jokowi yang menyetujui pembahasan RUU tersebut terlihat tidak lagi segaris dengan semangat pemberantasan korupsi ini dan semakin jelas ketika ia meloloskan pimpinan KPK yang bermasalah untuk diproses oleh DPR.
Tak heran, banyak yang menyebut Jokowi seolah tersandera dalam kepentingan politik yang ada di lingkaran kekuasaannya. Hal ini salah satunya diungkapkan oleh Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti yang kecewa terhadap sikap Jokowi yang menyetujui Revisi UU KPK.
Menurutnya, begitu cepatnya Jokowi merespons surat dari DPR yang meloloskan dua RUU, yaitu RUU MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) dan RUU KPK, menunjukkan mulai tidak berdayanya Jokowi di hadapan parpol.
Pernyataan dan kritik yang demikian ini memang menunjukkan bahwa prediksi kekuasaan Jokowi di periode kedua akan didominasi oleh parpol-parpol pendukungnya mulai terlihat. Jika diibaratkan pesawat terbang, Jokowi sebagai pilot seolah mulai tak punya kendali atas kemudi burung besi yang saat ini sedang ia pimpin.
Pemerintahannya dan berbagai kebijakan seolah diambil serta dijalankan secara autopilot – istilah untuk kemudi otomatis – dan dikendalikan bukan oleh sang pilot. Tak heran jika banyak pihak mulai menyebutkan bahwa rezim kekuasaan Jokowi sedang akan mengarah pada titik autopilot tersebut. Pertanyaannya adalah benarkah demikian?
Jokowi Tak Seperti Putin
Jika menggunakan Google untuk mencari kata autopilot, yang umumnya muncul adalah istilah kemudi otomatis pada mobil-mobil pun pesawat dan sejenisnya. Intinya, autopilot memungkinkan kendaraan bisa berjalan sendiri tanpa perlu ada yang memegang kendali.
Walaupun demikian, istilah autopilot dalam politik kekuasaan bukanlah hal yang baru. Pada Maret 2018 lalu, Profesor Daniel Treisman dari University of California, Los Angeles dalam tulisannya di The Washington Post, menggunakan istilah ini ketika ia membahas tentang politik domestik Rusia di era kekuasaan Vladimir Putin.
Putin yang disebut Triesman sebagai geopolitical mastermind alias sosok di belakang benturan-benturan yang terjadi dalam politik internasional, menjalankan dua sistem di kekuasaanya.
Sistem pertama adalah yang disebut Triesman sebagai normal politics atau politik normal. Menariknya, sistem ini disebutnya sebagai autopilot atau yang Putin tak perlu terlibat di dalamnya. Sistem pertama ini melibatkan aktivitas kenegaraan biasa, hingga hal-hal yang cukup besar seperti benturan faksi-faksi dalam birokrasi, hingga aktor-aktor bisnis.
Namun, pada saat-saat tertentu yang membutuhkan political stance atau sikap politik Putin, barulah mantan agen KGB itu menerapkan sistem keduanya, yaitu kontrol manual atau ruchnoe upravlenie dalam bahasa Rusia.
Sistem yang kedua ini biasa dipakai untuk “mendikte” kebijakan atau arah politik yang diinginkannya. Konteks tersebut wajar terjadi mengingat kuatnya posisi politik pria yang dijuluki sebagai The New Tsar itu.
Model sistem kekuasaan Putin ini memang membuat negara berada pada dua level kekuasaan, dengan level ruchnoe upravlenie sebagai yang dominan. Walaupun demikian, level normal politics juga mencakup hal-hal penting, misalnya pengajuan rancangan Undang-Undang, pengajuan amendemen konstitusi, hingga mobilisasi oposisi.
Konsepsi dua level sistem kekuasaan ini mirip dengan analogi dari ilmu psikologi yang diungkapkan oleh Daniel Kahneman. Dalam bukunya yang berjudul Thinking, Fast and Slow, psikolog dan ekonomis keturunan Israel-Amerika ini menyebutkan bahwa pikiran manusia beroperasi dalam dua mode.
Mode pertama adalah yang bersifat spontan dan beroperasi cepat, sementara mode yang kedua adalah yang mengandalkan kemampuan reasoning atau penalaran dalam mengambil keputusan.
Dengan kata lain, dalam konteks kekuasaan – karena berhubungan dengan manusia – dua level ini bisa saja terjadi. Putin adalah contoh analogi dua sistem berpikir ini dipakai dalam kekuasaan.
Lalu, bagaimana dengan Jokowi?
Nyatanya, jika diperhatikan, beberapa bulan terakhir Jokowi hanya ada di mode pertama kekuasaan ala Putin. Bahkan, dalam aktivitas politik normal ini, kekuasaannya sangat terbatas dan semakin tidak terlihat.
Dalam konteks RUU KPK misalnya, Jokowi seolah tak bisa membendung keinginan parpol-parpol yang berupaya melemahkan lembaga anti-rasuah itu.
Bagaimanapun juga, KPK adalah lembaga yang menjadi “musuh” parpol dalam sistem politik Indonesia yang koruptif dan penuh transaksi. Tak terhitung jari berapa banyak kader parpol yang menjadi pesakitan di penjara akibat terciduk KPK.
Sementara dalam mode manual, Jokowi tampaknya tak punya kemampuan “mendikte” kekuasaan. Pasalnya, mantan Wali Kota Solo itu masih sangat bergantung pada kekuatan-kekuatan politik yang ada di sekitarnya dan sekarang terlihat tak mampu lagi mengontrolnya.
Bukan rahasia bahwa sosok seperti Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri, Ketum Partai Nasdem Surya Paloh, Wakil Presiden Jusuf Kalla, mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) A.M. Hendropriyono dan Kepala BIN yang saat ini masih menjabat, Budi Gunawan, adalah elite-elite politik di balik kekuasaannya.
Akibatnya, setiap kebijakan politik akan sangat tergantung pada sosok-sosok tersebut, termasuk dalam persoalan seperti urusan pemberantasan korupsi.
Rezim Jokowi Autopilot, Siapa Berkuasa?
Pertanyaan terbesar dari kondisi yang kini dihadapi Jokowi mungkin adalah apakah rezim autopilot ini berdampak positif atau negatif untuk masyarakat.
Yang jelas, Jokowi bukan Vladimir Putin yang bisa berganti mode kekuasaan sesuai keinginannya. Jokowi tak punya power sebesar Putin karena ia tak punya partai politik dan bukan berlatar belakang militer.
Artinya, autopilot tanpa kemampuan untuk mengambil alih kendali jelas bisa berdampak buruk. Secara harfiah, lihat saja pesawat Boeing 737 Max 8 dalam dua kecelakaan besar terjadi – dalam kasus pesawat JT-610 Lion Air dan Ethipian Airways – ketika sistem autopilot pesawat tak lagi mampu dikendalikan oleh kapten yang saat itu bertugas.
Kondisi serupa sangat mungkin terjadi dalam konteks Indonesia dan pemerintahan Jokowi di dalamnya. Bagaimana pun juga, jika Jokowi sebagai pilot tak lagi mampu mengontrol “pesawat” yang dikemudikannya, jelas negara ini sedang ada dalam titik yang berbahaya, bahkan bukan tidak mungkin akan jatuh dari ketinggian.
Dalam konteks KPK misalnya, elite-elite di lingkaran kekuasaan Jokowi tentu bisa mengendalikan arah pemberantasan korupsi di negara ini. Apalagi, besar kemungkinan kasus-kasus korupsi yang kini tengah diselidiki oleh KPK juga melibatkan elite-elite tersebut.
Ada kasus besar macam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang disebut-sebut berkorelasi dengan kebijakan di era Megawati Soekarnoputri. Begitupun dengan kepentingan patron-patro politik lainnya, termasuk Budi Gunawan yang pernah terkena kasus rekening gendut saat akan menjabat sebagai kapolri.
Artinya, rezim Jokowi memang kemungkinan besar akan bergerak semakin autopilot dan tak mampu dikendalikan oleh sang pemegang kekuasaan tertingginya, yaitu Jokowi sendiri. Jangan heran jika istilah rezim boneka atau petugas partai masih akan terus kuat berhembus.
Pada akhirnya, semuanya akan tergantung pada Jokowi sendiri. Perimbangan kekuasaan yang dimainkannya kini tengah ada di ujung tanduk. Jika tak punya strategi yang tepat, bisa saja kekuasaannya akan berakhir buruk.
Demonstrasi mahasiswa yang muncul di beberapa daerah beberapa hari terakhir tidak muncul begitu saja. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.