HomeNalar PolitikMenteri Pertanian Lakukan Blunder Besar?

Menteri Pertanian Lakukan Blunder Besar?

Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL) sebut harga mi instan akan naik tiga kali lipat dalam waktu dekat akibat terhambatnya ekspor gandum Ukraina. Sudah tepatkah kekhawatiran ini?


PinterPolitik.com

Seluruh negara di dunia kini dicemaskan dengan ancaman krisis pangan. Serangan yang dilakukan Rusia ke Ukraina semenjak 24 Februari silam dianggap telah mengganggu rantai pasokan makanan, khususnya Gandum, yang memang jadi salah satu komoditas ekspor utama Ukraina dan Rusia.

Karena perang ini, jutaan ton gandum yang tadinya selalu diimpor banyak negara dari tahun ke tahun kini tertahan di dua negara bekas Uni Soviet tersebut.

Kekhawatiran ini yang membuat Menteri Pertanian (Mentan), Syahrul Yasin Limpo (SYL) melemparkan sebuah pernyataan yang menarik. Katanya, Indonesia adalah negara yang sangat bergantung pada impor gandum, dan karena kini ada 180 juta gandum yang tertahan di Ukraina, maka harga gandum di Indonesia juga akan turut naik.

Dramatisnya, SYL juga menyebutkan bahwa harga mi instan, yakni salah satu makanan favorit masyarakat Indonesia, kemungkinan akan naik tiga kali lipat dalam waktu dekat.

Sontak pernyataan SYL mengundang beragam respon dari masyarakat. Direktur IndoFood, Fransiscus Welirang justru membantah bahwa harga mi instan akan naik secara signifikan. Menurutnya, harga mi memang masih mungkin akan naik, tapi tidak akan sampai tiga kali lipat seperti yang disebutkan SYL.

Ia juga mengatakan perang Rusia-Ukraina bukanlah faktor tunggal yang perlu diperhatikan soal gandum, ada juga permasalahan lain, seperti kesuburan panen, misalnya.

Respons yang tidak kalah menarik juga disampaikan rekan sesama kabinet SYL, yakni Menteri Perdagangan (Mendag), Zulkifli Hasan (Zulhas). Ia dengan tegas membantah bahwa harga mi instan akan naik tiga kali lipat.

Perbedaan pernyataan antar menteri ini tentu memantik rasa penasaran. Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fraksi Gerindra, Andre Rosiade menyebut seharusnya para menteri (Mentan dan Mendag) menyamakan datanya terlebih dahulu sebelum membuat pernyataan publik. Kalau terjadi seperti ini, akan memunculkan keresahan dari rakyat.

Lantas, sebenarnya siapa yang benar dalam perseteruan soal harga gandum dan mi instan ini?

image 43

Gandum Kita Masih Aman?

Tidak dipungkiri bahwa Indonesia merupakan salah satu importir terbesar gandum di dunia.

Menurut data dari Departemen Agrikultur Amerika Serikat (USDA) yang diperoleh lembaga pengepul data, Statista, Indonesia merupakan negara pengimpor gandum terbesar ketiga di dunia periode 2021-2022 (10.750 metrik ton). Sementara, pada periode 2020-2021, Indonesia adalah negara pengimpor gandum terbesar kedua (10.450 metrik ton).

Dan seperti yang sering diberitakan, Ukraina juga merupakan salah satu eksportir gandum terbesar dunia.

Kendati demikian, perlu dipahami bahwa fakta-fakta tersebut tidak mengartikan bahwa Indonesia sepenuhnya bergantungan pada ekspor gandum Ukraina. Menurut data dari impor gandum dan meslin Indonesia periode Badan Pusat Statistik (BPS) periode Januari-Mei 2022, impor gandum terbesar Indonesia bukan dari Ukraina, tapi dari Australia, dengan jumlah 1,57 juta ton.

Baca juga :  “Parcok” Kemunafikan PDIP, What's Next?

Kemudian, kita juga masih memiliki impor gandum yang besar dengan beberapa eksportir gandum utama lainnya, seperti Kanada dan negara-negara Amerika Selatan (Amsel). Ini artinya, mengurangnya ekspor gandum dari Ukraina tidak berarti kita tidak memiliki alternatif lain untuk memenuhi asupan gandum di Indonesia.

Terlebih lagi, seperti yang dikatakan Mendag Zulhas, berbagai negara eksportir gandum kini tengah menyambut musim panen raya. Di Kanada contohnya, sebuah analisis dari Bloomberg bahkan menyebut curah hujan yang kini tinggi akan memperluas areal gandum di sana sebesar 8,7 persen menjadi sekitar 25 juta hektar, level tertinggi semenjak satu dekade terakhir.

Faktor panen subur ini yang kemudian membuat harga gandum global kini mulai mengalami tren yang membaik. Menurut data dari USDA dan Bank Dunia, harga gandum global yang tadinya mencapai level tertinggi di Bulan Mei senilai US$ 522,29, telah turun menjadi US$ 459,59 pada Bulan Juni.

Dan satu hal penting lain yang tidak bisa kita lupakan adalah sejak awal Agustus ini Ukraina pun sudah mulai kembali mengekspor hasil panen gandumnya. Meski disebutkan baru memulai ekspor gandum sekitar 370.000 metrik ton, seperti yang diungkapkan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), António Guterres sendiri, ini adalah permulaan yang baik dalam mengatasi naiknya harga gandum dunia.

Nah, berdasarkan-data yang sudah disebutkan tadi, bisa dikatakan bahwa keadaan pasokan gandum kita terkait ekspor Ukraina mungkin tidak separah yang dikatakan Mentan SYL. Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo), Ratna Sari Loppies bahkan mengatakan bahwa keadaan gandum Indonesia sebenarnya masih relatif aman.

Selain itu, jikalau ekspor gandum Ukraina kembali terhambat dan tiba-tiba saja harga gandum kembali naik, dampaknya pada harga mi di Indonesia tidak akan meningkat secara signifikan. Hal ini karena komponen gandum dalam mi instan sendiri hanya 20 persen, sehingga butuh kenaikan harga dari komponen-komponen lain, seperti sayuran dan minyak goreng, untuk terjadi kenaikan harga yang berkali-kali lipat.

Oleh karena itu, kalau para produsen mi dan tepung di Indonesia saja merasa masih aman atas pasokan gandum dan harga makanan berbahan gandum di Indonesia, mungkin “horor” yang disampaikan Mentan SYL kurang tepat dengan kenyataan yang terjadi.

Lantas, kenapa pernyataan tersebut bisa dilontarkan SYL?

image 44

SYL Kurang Objektif?

Dalam studi politik, berkembang suatu teori menarik yang percaya bahwa sebagian perseteruan besar dalam politik terjadi karena para politisi seringkali menyampaikan sesuatu sebelum memiliki informasi ataupun kalkulasi yang tepat. Teori ini disebut more information hypothesis.

Namun, Dan Kahan, profesor dari Yale Law School dalam penelitiannya berjudul Science Curiosity and Political Information Processing, mengoreksi anggapan tersebut. Kahan menjelaskan bahwa sekalipun ada seorang pejabat yang pandai melakukan kalkulasi matematis, ia berkemungkinan besar akan menyampaikan hasil perhitungan yang tidak tepat ketika dirinya terjun ke dalam politik.

Baca juga :  Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Hal ini bisa terjadi karena politik mampu menciptakan pola pikir yang begitu bias dalam proses kognitif seorang politisi. Melalui sebuah teori yang disebut teori identity–protective cognition, Kahan menjelaskan bahwa pola pikir seseorang yang sudah tenggelam dalam politik umumnya termotivasi oleh satu insting, yakni insting untuk membuktikan bahwa apa yang disampaikannya adalah benar dan harus diperjuangkan meski data yang mendukungnya tidak sesuai dengan keadaan terkini.

Karena politik adalah dunia yang melatih terlatih untuk memperjuangkan apa yang diyakininya, orang tersebut cenderung akan mengumpulkan bukti-bukti atau data-data yang hanya digunakan untuk membenarkan argumennya, bukan untuk menjelaskan keadaan yang sebenarnya terjadi.

Pola pikir seperti ini, menurut Kahan, sangat umum terjadi pada pejabat-pejabat politik. Sebagai dampak buruknya, karena berposisi sebagai pemerintah, orang yang menyampaikan sebuah pernyataan keliru terkait suatu krisis juga kemungkinan justru akan memberi kesadaran yang salah pada masyarakat.

Akibatnya, banalitas terjadi. Kita memaklumi apa yang dinarasikan oleh pejabat tersebut sebagai faktor tunggal dalam suatu krisis, apalagi bila pihak internasional bisa disalahkan sepenuhnya. Padahal, mungkin justru krisis tersebut terjadi akibat variabel lain yang tidak pernah dibahas dan akibat permasalahan dalam negeri.

Berangkat dari pemikiran ini, maka permasalahannya sesungguhnya bisa jauh lebih rumit. Sekarang ini, kita sudah rasakan sendiri bahwa sepertinya memang ada sebuah gejolak ekonomi yang terjadi. Mulai dari harga tarif ojek online (ojol) yang meningkat, harga bahan pokok yang sulit turun, hingga beberapa hal lainnya yang tidak sempat disebut satu per satu.

Nah, belajar dari kekeliruan menyampaikan masalah pasokan gandum oleh seorang pejabat, bukan tidak mungkin bila pemerintah dan para pegiat ekonomi kini luput mengidentifikasi ataupun menyuarakan masalah yang sebenarnya dari gejala-gejala permasalahan ekonomi di Indonesia.

Padahal, Nassim Nicholas Taleb, penulis buku The Black Swan, menegaskan bahwa sejarah mengajarkan kita suatu krisis seringkali terjadi akibat pemerintah dan para pegiat ekonomi “kecolongan” memprioritaskan permasalahan-permasalahan ekonomi kecil, yang kemudian terakumulasi menjadi sebuah permasalahan besar.

Akhir kata, kita tentu berharap ke depannya pemerintah dapat menghindari kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi ini, karena pada akhirnya “buah” dari politik, entah itu baik atau buruk, akan selalu dikembalikan pada masyarakat. (D74)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Hasil tidak memuaskan yang diperoleh pasangan Ridwan Kamil-Suswono (RIDO) dalam versi quick count Pemilihan Gubernur Jakarta 2024 (Pilgub Jakarta 2024) menjadi pertanyaan besar. Mengapa calon yang didukung koalisi besar tidak tampil dominan?