Mencuatnya kasus korupsi bantuan sosial Covid-19 yang menjerat Mensos Juliari P Batubara tak lama setelah KPK menangkap eks MenKP Edhy Prabowo menambah preseden buruk terhadap citra kabinet bentukan Presiden Jokowi. Indikasi apa sebenarnya yang tengah melanda pemerintahan Jokowi saat ini?
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) panen besar. Mungkin itulah kalimat yang pantas menggambarkan keadaan komisi antirasuah saat ini.
Bagaimana tidak, hanya dalam waktu tak genap dua minggu, institusi pimpinan Firli Bahuri itu berhasil membongkar praktik culas yang dilakukan dua bawahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di pemerintahan.
Setelah sebelumnya KPK menangkap tangan Menteri Kelautan dan Perikanan (MenKP) Edhy Prabowo dalam perkara rasuah ekspor benih lobster, kini giliran Menteri Sosial (Mensos) Juliari P Batubara yang tersangkut perkara korupsi.
Tak main-main, politikus PDIP itu diduga kuat terlibat dalam penyelewengan dana bantuan sosial bagi masyarakat yang kini tengah berjuang mati-matian dalam menghadapi situasi sulit di tengah pandemi Covid-19.
Tertangkapnya dua menteri di waktu yang terbilang sangat singkat ini mau tak mau berimbas kepada citra Presiden Jokowi sendiri.
Sejumlah pihak mempertanyakan rekrutmen para menteri Jokowi yang terbukti belum mampu mencegah hal semacam ini terjadi. Ahli Hukum Tata Negara, Relfy Harun, misalnya, menilai penangkapan menteri ini menandakan kalau komitmen anti-korupsi Jokowi memang lemah.
Senada, pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin mengatakan kasus korupsi dua menteri ini melukai integritas pemerintahan Jokowi. Terlebih lagi dua menteri itu berasal dari parpol motor koalisi Jokowi, yakni PDIP dan Gerindra.
Ujang pun memahami bahwa Jokowi tidak terlibat dalam kasus-kasus korupsi itu. Namun, menurutnya mantan Wali Kota Solo itu punya tanggung jawab moral sebagai orang yang memberi kepercayaan bagi Juliari dan Edhy untuk menjabat menteri.
Ia juga menyoroti respons Jokowi yang seolah lepas tangan dengan mengklaim telah mengingatkan para menteri. Menurutnya menjadi wajar jika kemudian publik kecewa dengan respons itu lantaran saat pemilu, masyarakat memilih presiden, bukan menteri.
Di sisi lain, pengamat politik Rocky Gerung memberikan komentar yang lebih blak-blakan lagi. Ia turut menyoroti pernyataan yang berulang-ulang disampaikan presiden bahwa tak ada visi misi para menteri, yang ada visi misi presiden. Jika berkaca pada pernyataan itu, menurut Rocky, maka semua tindak tanduk menteri adalah perintah presiden.
Meski kita ketahui pasti bahwa Rocky merupakan pengamat politik yang memiliki tendensi negatif terhadap Presiden Jokowi, namun logikanya merespons fenomena ini tetaplah menarik untuk didalami.
Apakah memang ada kemungkinan bahwa Presiden Jokowi sebenarnya mengetahui tindakan korupsi yang dilakukan bawahannya itu? Jika iya, mengapa Ia diam saja dan justru terkesan ‘lepas tangan’ seperti yang disebut Ujang Komarudin?
Grease Wheel Hypothesis
Kurang lebih lima tahun lalu, politikus Partai Gerindra, Fadli Zon pernah membuat geger publik dengan pernyataannya yang seolah memaklumi praktik korupsi. Dalam pernyataan yang Ia sampaikan secara terbuka itu, Fadli menyebut bahwa korupsi merupakan ‘oli’ pembangunan.
Kendati tak juga membenarkan praktik tersebut, namun Ia menilai, dengan adanya korupsi menunjukkan bahwa pembangunan di suatu negara berjalan.
Konteks pernyataan Fadli ini nyatanya masih membekas di ingatan publik. Tak lama setelah penangkapan Edhy Prabowo oleh KPK, sejumlah pihak kembali mengungkit-ngungkit pernyataan Fadli yang kebetulan merupakan rekan separtai Edhy.
Meski terdengar konyol dan bertentangan dengan pemahaman umum publik terkait korupsi, namun nyatanya apa yang disampaikan Fadli tersebut merupakan hipotesis yang sudah sejak lama diteliti oleh pakar dan ekonom dunia. Asumsi ini dikenal dengan sebutan grease wheel hypothesis.
Pierre-Guillaumemeon dan Khalid Sekkat dalam tulisan mereka yang berjudul Does Corruption Grease or Sand The Wheels of Growth? mengatakan bahwa hipotesis grease wheel menyatakan bahwa fungsi birokrasi yang buruk dianggap sebagai inefisiensi paling menonjol yang dapat dilumasi oleh korupsi.
Mengutip pernyataan Samuel P. Huntington, keduanya menyebut dalam konteks pertumbuhan ekonomi, satu-satunya hal yang lebih buruk dari masyarakat dengan birokrasi yang kaku, terlalu terpusat, dan tidak jujur adalah masyarakat dengan birokrasi yang kaku, terlalu terpusat, dan ‘terlalu’ jujur.
Hipotesis ini menyebut bahwa ada berbagai aspek dari tidak berfungsinya birokrasi yang dapat dikompensasikan dengan korupsi, terutama yang menyangkut kelambatan birokrasi.
Selain itu, Huntington dalam bukunya yang berjudul Political Order in Changing Societies berpendapat bahwa korupsi dapat membantu mengatasi peraturan birokrasi yang kaku dan mendorong pertumbuhan. Menurutnya, fenomena seperti itu telah diamati pada tahun 1870 dan 1880 di Amerika Serikat (AS), di mana korupsi oleh perusahaan kereta api, utilitas dan industri menghasilkan pertumbuhan yang lebih cepat.
Di dalam negeri, ekonom dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Rimawan juga pernah membahas hipotesis ini. Menurutnya, hipotesis grease wheel bertumpu pada asumsi bahwa praktik rasuah bisa meningkatkan efisiensi birokrasi.
Ia mencontohkan seorang pekerja administrasi di negara berkembang dengan birokrasi lambat tidak segera mengerjakan permohonan izin yang diajukan warga karena memiliki banyak pekerjaan lain, sementara gajinya tidak terlalu tinggi. Maka ketika dia disogok, permohonan izin tersebut segera dikerjakan.
Ihwal Jokowi, Richard Javad Heydarian dalam tulisannya yang berjudul A Revolution Betrayed: The Tragedy of Indonesia’s Jokowi mengatakan bahwa dari sudut pandang Jokowi, pemberantasan korupsi dapat memperlambat laju pembangunan infrastruktur. Sebab, di sejumlah negara berkembang, di mana beberapa oligarki dengan mitra asing mendominasi sektor bisnis, kontrak besar pasti melibatkan unsur korupsi.
Dengan kata lain, Heydarian ingin mengatakan bahwa Jokowi tampaknya telah menerima gagasan ‘efficient corruption’, yang menyebut bahwa korupsi tidak dapat dihindari untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi yang pesat.
Berangkat dari sini, maka dapat dikatakan kecurigaan Rocky Gerung bahwa presiden sebenarnya mengetahui tindakan korupsi yang dilakukan bawahannya bisa saja benar adanya. Dengan asumsi bahwa presiden berpegang teguh pada grease wheel hypothesis yang pernah diungkapkan Fadli Zon, maka bukan tak mungkin Jokowi sebenarnya “membiarkan” praktik rasuah, terutama yang berkaitan dengan proses birokrasi seperti perkara Edhy Prabowo.
Lantas sekarang pertanyaan pentingnya, apakah memang korupsi dapat berkontribusi positif terhadap pembangunan sebagaimana diyakini oleh Fadli Zon dan mungkin saja, Jokowi?
End Doesn’t Justify the Means
Ekonom UGM, Rimawan tak memungkiri bahwa grease wheel hypothesis dapat diaplikasikan di negara berkembang terutama di Afrika dan Asia. Akan tetapi, hipotesis tersebut nyatanya tetap memiliki banyak kelemahan mendasar.
Di antaranya, dampak korupsi diasumsikan hanya terbatas di bidang ekonomi. Kemudian kelancaran birokrasi akibat korupsi hanya menguntungkan individu atau kelompok berpendapatan menengah ke atas.
Sementara individu atau kelompok berpendapatan menengah ke bawah akan menjadi korban dari sistem tersebut. Akibatnya, sekalipun hipotesis ini berhasil diterapkan, maka dapat dipastikan kesenjangan ekonomi di negara tersebut cenderung meningkat.
Selain itu, Guillaumemeon dan Sekkat sendiri juga menegaskan bahwa grease wheel hypothesis belum tentu bisa diaplikasikan dalam semua kondisi. Mereka mengatakan di negara yang penegakan hukumnya lemah, korupsi justru memberikan lebih banyak dampak negatif dalam pembangunan ketimbang dampak positif.
Sekalipun grease wheel hypothesis benar-benar bisa diterapkan di dalam negeri, namun menggenjot pembangunan ekonomi melalui korupsi tetap bukanlah prospek yang baik untuk ditempuh. Sebab, meski di satu sisi dapat bermanfaat untuk satu tujuan tertentu, namun cara itu tetap melangkahi segudang asas-asas lain, seperti keadilan, kepastian hukum, hingga moralitas yang tentunya dapat memiliki backlash tersendiri bagi pemerintah.
James Schroeder dalam tulisannya yang berjudul Why the End Doesn’t Justify the Means, But the Means Can Always Justify the End mengatakan bahwa hasil positif bukanlah hal yang baik jika metode yang digunakan untuk mencapainya tidak jujur atau merugikan orang lain.
Hal ini dikarenakan dalam kehidupan sehari-hari, sejumlah pekerjaan sebenarnya tidak memerlukan tingkat keahlian tertentu, namun bergantung dengan cara bagaimana kita menyelesaikan pekerjaan tersebut. Jika kita menggunakan cara yang sesuai dengan pedoman, maka tidak peduli seberapa buruk hasilnya, cara tersebut tetap akan membenarkan hasil akhir.
Bagaimana pun, perlu digarisbawahi bahwa asumsi yang menyebut bahwa Presiden Jokowi membiarkan praktik korupsi yang dilakukan para menterinya karena berpegang pada grease wheel hypothesis tetaplah sulit dibuktikan kebenarannya. Apalagi, Presiden sendiri sudah berulang kali mengingatkan para menterinya untuk tak melakukan korupsi dan juga menegaskan tak akan melindungi para pembantunya yang tetap terjerat perkara rasuah.
Kendati demikian, tak dapat dipungkiri bahwa penangkapan dua orang menteri dalam waktu yang sangat berdekatan haruslah mendapatkan perhatian lebih Presiden Jokowi. Kepala negara perlu mengambil langkah yang lebih dari sekadar pernyataan untuk dapat mengembalikan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Bagaimana nantinya Jokowi dapat menyelesaikan persoalan ini tetaplah menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.